TANGGAL 15 Februari 2022 lalu, saat lagi asik menonton televisi, tiba-tiba saya disergap rasa kantuk yang teramat sangat, disusul demam. Tidak ada batuk (kecuali akibat kebanyakan merokok di kafe milik saudara Subud Jakarta Selatan pada 12 Februari 2022), tapi pilek. Istri saya langsung memvonis saya terkena Covid-19 varian Omicron – sesuatu yang sejak awal pandemi tidak saya percayai; Latihan Kejiwaan mengarahkan perhatian saya terhadap pola-pola tertentu, yang sulit saya jelaskan secara runut, tapi itulah dasar dari ketidakpercayaan saya.
Karena itulah, saya harus menjalani isolasi mandiri (isoman) selama dua minggu. Istri saya tidak mau ambil risiko, karena ada anak kecil (anak saya) di rumah, sehingga meskipun masa dua minggu isoman itu sudah terlewati saya masih harus membatasi kegiatan-kegiatan saya yang melibatkan kerumunan.
Lantaran menjadi “tahanan rumah”, yang termasuk menghindarkan saya dari Latihan bersama rutin tiap Selasa malam di Cuko Coffee & Eatery – kafe milik saudara Subud di Jl. Kebagusan, Pasarminggu, dan Kamis malam di Wisma Subud Cilandak, saya menjadi amat bosan. Bermedia sosial lewat ponsel cerdas saya menjadi salah satu hiburan saya, selain mendengarkan MP3 Gambang Bapak dan ceramah-ceramah Bapak. Latihan Kejiwaan saya lakukan di kamar isolasi saya “bersama” alam semesta pada hari-hari Latihan yang reguler di Cabang Surabaya, cabang asal saya, yaitu Senin dan Kamis.
Pada 7 Maret, saya merasa sangat bosan dengan kenyataan saya terkurung dan terbelenggu oleh pembatasan kegiatan oleh istri saya. Saya lalu curhat kepada Jiwa saya, “Kalau di rumah terus dan tidak ada teman bicara dari kalangan saudara Subud, bagaimana saya bisa memperoleh pengalaman kejiwaan?”
Saya menerima kemudian bahwa saya harus salat lima waktu, salat sunah sebelum salat Subuh dan sesudah salat Magrib, serta salat Tahajud di sepertiga malam. Saya tentu saja mendebat Jiwa saya: Kalau untuk menyembah Tuhan saya emoh melalui salat, karena salat hanya untuk orang yang beragama Islam.
Dijawab oleh si Jiwa: “Salat bukan
untuk menyembah Tuhan, melainkan untuk terjalinnya hubungan saya dengan diri
sendiri. Menyembah Tuhan hanya bisa, dan satu-satunya, melalui Latihan
Kejiwaan. Hakikat salat, yaitu untuk berhubungan dengan diri sendiri, bisa
dicapai bila tidak menjadikan salat
sebagai kewajiban, melainkan sebagai kebutuhan. Salat yang khusyuk didapat oleh
mereka yang menjadikan salat sebagai kebutuhan. Dan sejatinya salat adalah
untuk semua umat manusia, tidak pandang apa agamanya, karena salat sebagai
kebutuhan merupakan hak semua orang.”
Si Jiwa juga memberi tahu saya bahwa
pengalaman-pengalaman kejiwaan akan saya dapatkan bila saya salat sebagai
kebutuhan.
Sejak hari itu, saya pun menunaikan salat lima waktu, salat sunah sebelum salat Subuh dan sesudah salat Magrib serta salat Tahajud di sepertiga malam. Karena saya (atau Jiwa saya) membutuhkannya. Dan, benar saja, begitu banyak pengalaman dan pemahaman kejiwaan yang saya peroleh dari salat-salat itu. Semuanya terasa khusyuk!
Karena sifatnya kebutuhan, semua salat yang saya lakukan selalu diiringi perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas, masuklah Latihan, mengisi gerak salat saya. Puji Tuhan!
Ketika pada 12 Maret 2022, malam,
saya ceritakan pengalaman ini kepada Pak Harris Roberts, pembantu pelatih
senior Subud Jakarta Selatan, di Cuko Coffee & Eatery, beliau berkomentar
bahwa untuk memanifestasikan penerimaan Latihan Kejiwaan kita memang harus
berbuat sesuatu. Jika malas-malasan, jiwa kita akan tertidur, akan menjadi
tumpul dan hidup pun akan terasa membosankan. Jadi, kita harus berbuat sesuatu
untuk membuat Latihan kita lebih berarti dalam hidup di dunia ini.©2022
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 13 Maret 2022
No comments:
Post a Comment