Saturday, February 20, 2021

Kurang Dari Setengah Kebenaran

BULAN Mei 2009, saya dan seorang saudara Subud dari Cabang Jakarta Selatan yang berprofesi fotografer dan desainer grafis terbang ke Sentani di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kami menumpang pesawat Garuda Indonesia dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, yang berangkat jam 21.30 WIB.

Sambil menunggu boarding, kami bersantai di Garuda Executive Lounge (GEL), Terminal 1 Bandara Soetta. Sebuah televisi besar berlayar datar berada dalam jangkauan mata kami. Tidak ada yang istimewa yang ditayangkan di layar televisi tersebut, namun ketika kami hendak meninggalkan GEL, tertangkap oleh penglihatan kami breaking news dari sebuah stasiun televisi yang memberitakan keadaan Sentani yang mencekam dengan adanya tembak-menembak antara pasukan TNI Angkatan Darat dan Brigade Mobil Polri di barak TNI AD di dekat Bandara Sentani. Tampak kebakaran di tengah gelap malam yang membuat tayangan tersebut makin menyeramkan.

Berkomentarlah rekan seperjalanan saya, “Wah, Sentani mencekam! Apa kita batalkan saja ke sananya?”

Saya sempat dihinggapi kebingungan, tapi segera teringat pada Subud: Latihan Kejiwaan atau testing. Saya menenangkan diri sejenak dan mohon petunjuk Tuhan. Saya menerima bahwa keadaan sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan dalam tayangan berita tersebut. Dengan bersemangat saya merespons rekan saya, “Ah, saya kira nggak ada apa-apa. Biasalah itu berita, kalau nggak pakai kata yang seram siapa yang akan nonton?”

Kami pun melenggang santai dan rileks menuju ruang tunggu boarding. Tak terpikir lagi, sama sekali, keseraman seperti apa, seandainya pun benar, yang akan kami hadapi di Sentani.

Mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, pada pukul tujuh pagi Waktu Indonesia Timur, kami menjumpai keadaan yang sama sekali berbeda dengan yang diberitakan di breaking news tadi malam. Di pelataran parkir Bandara Sentani memang tampak banyak tentara berjaga-jaga, tetapi rupanya bukan karena adanya aksi tembak-menembak TNI AD versus Brimob, melainkan dalam rangka ketibaan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Cendrawasih yang memang bermarkas di Sentani.

Perjalanan kami dengan mobil jemputan ke Hotel Sentani Indah, sekitar dua kilometer ke arah timur bandara juga tidak terkendala apa pun. Saya pribadi menikmati pemandangan alam Papua dengan perbukitan dari Pegunungan Cyclops yang berada di utara jalan raya Sentani-Abepura, yang dilalui mobil jemputan yang membawa kami ke hotel.

Yang saya dan rekan saya alami pada 2009 itu mirip sekali dengan keadaan yang kerap saya hadapi belakangan ini. Seperti ketika akan mengunjungi saudara-saudara Subud di Cimahi dan Bandung pada 13-14 Februari 2021 lalu. Sementara tiga saudara Subud yang menyertai saya rileks saja menghadapi momen perjalanan kami, tidak demikian halnya dengan keluarga masing-masing dan teman-teman non-Subud kami. Mereka semua mengkhawatirkan apa-apa yang diberitakan di media massa dan media sosial—razia, pos pemeriksaan pendatang, zona warna yang menunjukkan keparahan level positif COVID, penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau pembatasan sosial berskala besar (PPSB) dan lain-lain “suasana mencekam” yang dipersepsikan akibat pemberlakuan beragam peraturan dalam rangka pemutusan mata rantai penyebaran COVID—akan menghambat perjalanan kami. Nyatanya, semua itu tidak terjadi!

Soal berita tidak selalu sama dengan kenyataan sebenarnya seolah telah menjadi bagian integral dalam kehidupan modern kita. Kita hanya harus mengandalkan rasa kita untuk bisa sintas dari “hantaman” kepalsuan yang dilempar berita-berita di media arus utama maupun media sosial. Saya rasa, penyebab utama penyakit-penyakit fisik dewasa ini adalah stres yang ditimbulkan oleh pemberitaan yang berlebihan, yang menyampaikan kurang dari setengah kebenaran.

Seperti saat ini, sejak pandemi COVID-19 merebak di seluruh dunia, tidak sedikit pemberitaan yang telah mengakibatkan penderitaan pada audiens media massa dan sosial. Hal ini diperparah oleh keadaan akal pikiran kita yang lebih suka di zona nyaman, tidak mau mencari tahu lebih banyak. Sedikit sekali orang modern yang (mau) mengandalkan rasa mereka untuk mengetahui yang sebenarnya. Jadi, jangan heran kalau saya berkali-kali menyatakan bahwa saya tidak percaya COVID. Bukan tidak percaya eksistensi virusnya, melainkan tidak percaya apa pun yang diberitakan mengenainya. Pikiran memang sering tertipu, tapi, jangan lupa, kita punya rasa.
Ó2021


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Februari 202

No comments: