Sunday, June 9, 2019

One Step At a Time


“One step at a time
There’s no need to rush
It’s like learning to fly
Or falling in love
It’s gonna happen and it’s
Supposed to happen that we
Find the reasons why...”
—Jordin Sparks, dari lirik lagu “One Step At a Time” (2008)


TAHUN 2001, saya dan rekan sekantor saya di Surabaya, seorang pengarah seni (art director) di sebuah biro iklan papan atas di Kota Pahlawan, ditugasi bos kami untuk pergi ke Yogya. Misi kami adalah untuk membicarakan kerjasama antara biro iklan tempat kami bekerja dengan sebuah griya produksi (production house) yang berbasis di Yogya. Rekan saya, sang pengarah seni, bernama Andri, sangat mengenal Yogya, karena walaupun ia asal Pekalongan, ia menimba ilmu desain grafis di Institut Seni Indonesia (ISI) yang memang berlokasi di ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Saat itu merupakan kali kedua saya berkunjung ke Kota Yogya. Yang pertama adalah pada tahun 1992, dalam rangka liburan akhir semester. Tetapi, kali kedua inilah yang berkesan, karena mematri sebuah pelajaran yang bertahun-tahun kemudian masih saya ingat dan menjadi cara saya menjalani hidup.

Pada hari saya dan Andri tiba di Kota Yogya, yang perjalanannya dari Surabaya kami tempuh dengan bus, kami diajak dua teman Andri semasa kuliah, yang tampaknya enggan meninggalkan kota itu meskipun sudah lama tamat pendidikannya di ISI, menikmati bakmi godog khas Yogya (sebutan lazimnya “bakmi Jawa” untuk membedakannya dengan bakmi Cina yang pengolahan dan racikan bumbunya memang berbeda). Ada satu pedagang kakilima bakmi godog di dekat tempat saya dan Andri menginap (yaitu kamar kos yang pernah dihuni Andri semasa kuliah dahulu) di Jl. HOS Cokroaminoto.

Kami berempat dan masing-masing dari kami memesan menu yang sama: Bakmi godog nyemek. Setelah menerima pesanan kami, si pedagang mulai menyiapkan menu tersebut. Nah, di sinilah saya menyaksikan sesuatu yang unik. Meskipun kami berempat memesan menu yang sama, si pedagang memasaknya satu per satu—porsi per porsi, bukan sekaligus banyak, yang menurut saya bisa dia lakukan dengan menakar terlebih dahulu bumbu dan bahannya dengan standar untuk empat porsi. Bagaimanapun, hal mudah itu tidak dia lakukan; dia tetap memasak empat porsi bakmi godog nyemek satu demi satu.

Saya tidak memprotes pendekatan si pedagang bakmi godog itu. Saya pikir, biarlah, mungkin itu memang caranya, meskipun saya sama sekali tidak paham mengapa begitu cara dia. Andri, yang menangkap kegelisahan saya dengan cara si pedagang bakmi godog kakilima itu menyajikan pesanan pembelinya, berujar, “Jangan heran, Mas. Memang begitu cara penjual makanan di Yogya.”

Tetapi, si Andri tidak menjelaskan mengapa begitu. Saya rasa, dia juga tidak mengerti mengapa, dan hanya nrimo saja kenyataan itu, seakan hal itu merupakan suatu adat warisan leluhur yang tidak patut dipertanyakan. Saya pun segera lupa dengan kegelisahan dan tanya di benak saya ketika piring bermuatan bakmi godog nyemek beraroma mengundang selera telah dihidangkan di hadapan saya. Hanya setelah masuk SUBUD bertahun-tahun kemudian saya menerima, melalui pengalaman saya, pengertian mengapa segala sesuatu harus dilakukan atau disikapi satu per satu. One step at a time, istilahnya dalam bahasa Inggris.

Saya teringat ketika masih aktif di industri periklanan Surabaya, yang minim sumber daya manusianya untuk sejumlah profesi praktisi periklanan. Sebagai copywriter, yang tugasnya adalah menemukan ide, mengonsepkan sebuah iklan berdasarkan ide tersebut, dan menuangkannya dalam wujud naskah atau teks, saya juga melakukan tugas ganda (multitasking) dengan menjadi perencana strategi (strategic planner), dan pembina usaha (account executive). Saat itu, saya bangga dengan kemampuan saya melakukan tugas ganda, tetapi lama kelamaan saya menyadari kualitas hasil pekerjaan saya tidaklah layak dibanggakan. Kualitasnya sedang-sedang saja untuk ketiga pekerjaan itu.

Di SUBUD, dari beberapa ceramah Bapak Subuh yang pernah saya baca atau dengarkan, saya mendapat pengertian bahwa segala sesuatu jangan dilekaskan, jangan dipercepat dari proses normalnya, atau jangan melakukan banyak hal sekaligus, karena kita akan kehilangan momen “melatih rasa” atau perasaan nikmat dari prosesnya. “Ingin lekas bisa itu malah memperkosa jiwa,” demikian Bapak mengatakan. Saya merenungkan beberapa pengalaman saya di masa lalu, di mana suatu pencapaian yang instan tidak menghidupkan intelektualitas saya, dibandingkan dengan pencapaian melalui proses panjang, yang memberi saya kesempatan untuk belajar, mengobservasi, coba-salah (trial-and-error), dan pengertian berangsur-angsur.

Baru-baru ini, pada hari Lebaran pertama tahun 2019/1440 Hijriyah, saya berlebaran ke rumah sepupu saya. Sepupu saya menghidangkan menu beragam, dari bakso sampai ketupat dan lauk-pauknya. Alih-alih bingung memilih mana dulu yang harus saya makan, saya sejak dari rumah sudah mendapat bimbingan dari dalam untuk makan dua jenis makanan yang berbeda dengan jeda dari satu ke yang lainnya satu hingga satu setengah jam. Saya makan bakso terlebih dahulu. Benar-benar terasa lezatnya, apalagi saya makannya perlahan, mengunyah dengan baik, merasakan setiap jengkal makanan yang masuk ke mulut saya. Lalu, saya istirahat satu jam dari makan apa pun lainnya, hanya minum air mineral. Sejam kemudian, barulah saya mencicipi ketupat bersama lauk-pauknya. Nikmatnya tiada tara dan tidak membuat saya kekenyangan. Saya bersyukur Tuhan telah membimbing saya dalam cara mengonsumsi makanan di hari raya Idul Fitri yang sarat hidangan istimewa itu.

Melakukan berbagai kegiatan atau memikirkan berbagai hal secara bersamaan dalam satu waktu menghilangkan kenikmatan yang seharusnya kita rasakan dalam melakoni hidup ini. Nikmat itu ada dalam proses, dari tahap ke tahap, waktu ke waktu, dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Proses yang kita lalui menghidupkan kesadaran penuh pada diri kita sendiri dan pada peristiwa-peristiwa yang melengkapi proses tersebut. Dalam proses itu, kita menyaksikan bekerjanya bimbingan Tuhan Yang Maha Tak Terbatas. Suka menjalani prosesnya adalah tanda bahwa kita sukses. Sukses adalah “SUKa berproSES.©2019
                                                            


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 9 Juni 2019

No comments: