Monday, June 17, 2019

Kepribadian Adaptif


“Bukan yang paling kuat yang dapat sintas, bukan pula yang paling cerdas yang dapat sintas. Tapi hanya dia yang paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”
—Charles Darwin


TAHUN 2009, saat saya—yang baru menerima kepercayaan untuk menjadi Wakil Sekretaris Nasional di Pengurus Nasional (Pengnas) Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) SUBUD Indonesia untuk masa bakti 2009-2011—sowan ke Ibu Rahayu Wiryohudoyo selaku pemimpin kejiwaan SUBUD, bersama jajaran Pengnas lainnya, saya berjumpa dengan Kohar Sillem, seorang anggota SUBUD Belgia asal Belanda yang telah lama bermukim di Indonesia. Saya tergolong baru mengenal Kohar saat itu, melalui proyek branding Rungan Sari Meeting Center and Resort (RSMCR), yang saya tangani bersama saudara SUBUD saya, Toni Sri Agustono, yang menjadi fotografer dan desainer grafis untuk materi branding-nya. Kohar mewakili pemilik RSMCR dalam pertemuan-pertemuan dengan saya dan Pak Toni selaku konsultan branding untuk RSMCR.

Usai acara ramah-tamah dengan Ibu Rahayu di rumah beliau di Wisma Barata, Pamulang, Tangerang Selatan, para tetamu pun menikmati hidangan makan malam yang disediakan. Saat itulah, saya melihat Kohar. Saya menghampirinya dan kami mengobrol. Saya bertanya padanya, bagaimana ia bisa masuk SUBUD. Dalam bahasa Inggris beraksen Belanda, Kohar menuturkan bahwa ia berasal dari keluarga SUBUD, karena itu ia dibuka saat usianya memasuki 17 tahun. Tetapi Kohar tidak menganggap serius pengalaman itu maupun SUBUD. Ia pun menjadi malas melakukan Latihan Kejiwaan dengan rutin dan tekun.

Sampai suatu ketika ia bergabung dengan Peace Corps—program relawan yang dikelola oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membantu pembangunan sosial dan ekonomi di luar negeri. Sebagai relawan, Kohar dikirim ke sebuah negara Afrika, sebuah negeri yang amat berbeda dari tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Sebagai seseorang dengan latar belakang budaya Barat yang maju, Kohar merasa terasing di sebuah negara berkembang. Ia segera merasa tidak betah, karena tidak suka dengan cuacanya yang panas, makanannya yang berminyak, dan orang-orangnya yang angkuh. Karena tidak betah, Kohar pun menelepon ibunya, untuk memberitahunya bahwa ia akan pulang ke Belgia dan mencari pekerjaan yang lebih baik, yang memberinya kenyamanan hidup.

Alih-alih gembira menerima kabar dari putranya, ibunda dari Kohar malah menyuruhnya untuk bertahan dengan semua keadaan yang membuatnya tidak nyaman itu. Ibunya menyampaikan nasihat Bapak Subuh untuk selalu sabar, tawakal, dan ikhlas menghadapi keadaan seberat apa pun. Dipesan seperti itu oleh ibunya, Kohar pun mencoba untuk tekun berlatih kejiwaan, dan melalui semua tantangan serta derita hidup di negeri asing dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Kenyataan yang didapat Kohar sungguh membuatnya terkejut: Tiba-tiba cuacanya tidak lagi terasa panas, tiba-tiba makanan setempat berasa lezat, dan tiba-tiba semua orang lokal bersikap ramah padanya.

Sejak itu, Kohar pun menyikapi SUBUD dengan serius; ia rajin dan tekun melakukan Latihan Kejiwaan. Alhasil, ia berhasil menyelesaikan masa tugasnya sebagai relawan Peace Corps.

Kisah pengalaman SUBUD dari Kohar Sillem ini benar-benar terpatri di ingatan saya sekaligus menginspirasi saya. Menurut saya, apalagi setelah saya alami sendiri, Latihan Kejiwaan memudahkan kita memperoleh pribadi yang adaptif dengan segala situasi dan kondisi. 

Sebelum saya masuk SUBUD, saya sulit sekali beradaptasi, sementara lingkungan baru dan perubahan adalah sesuatu yang harus saya hadapi setiap saat dalam hidup saya. Saya kira, bahkan dalam hidup semua orang.

Beradaptasi dengan lingkungan baru tidak selalu merupakan cara yang mudah, apalagi untuk mereka yang minder atau introvert seperti saya. Ketika kecil, terutama semasa sekolah dasar hingga menengah atas, saya adalah pribadi yang amat pemalu. Di sekolah, saya tidak bergaul; tiap jam istirahat saya isi dengan duduk sendirian di dalam kelas atau di depan pintu kelas, diam memperhatikan teman-teman saya bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya. Saya merasa tidak mampu memerangi rasa malu dan takut saya akan penolakan dari rekan-rekan sebaya atau lingkungan baru di mana saya masuk ke dalamnya. Di setiap keadaan atau lingkungan yang baru, perasaan saya amat terusik oleh ketakutan melampaui batas yang wajar. Saya gamang dengan keadaan atau lingkungan yang baru.

Latihan Kejiwaan seakan mengulurkan tangan Tuhan ke saya untuk saya gandeng, sementara Dia membimbing saya menuju keadaan atau lingkungan yang baru dengan santai dan gembira. Sejak saya menerima Latihan Kejiwaan, beradaptasi dengan keadaan dan/atau lingkungan yang baru atau terasa asing bagi saya semudah membalikkan tangan. Paling lambat, menurut pengalaman saya selama ini, saya dapat beradaptasi dengan keadaan atau lingkungan baru dalam waktu kurang dari tiga hari.

Latihan Kejiwaan memercik sesuatu di dalam diri saya, yang berhasil mengalahkan tekanan ketakutan saya, dan menjadikan saya pribadi yang adaptif. Saya menjadi percaya diri dan berani, tapi bukan nekat. Kepercayaan diri dan keberanian di dalam diri saya ini sepertinya dikontrol oleh suatu kekuatan yang berada di luar kendali pikiran saya. Ia akan sewaktu-waktu muncul untuk memberi saya bantuan menjadi pribadi yang adaptif.©2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Juni 2019

1 comment:

Unknown said...

Saya Juga sudah buktikan dengan Latihan KeJiwaan banyak yg terjadi dalam hidup Saya.
Miracle