Tuesday, June 18, 2019

Belajar Sabar

Di saat saya harus menunggu lama di lobi kantor klien saya, misalkan karena mendadak
klien saya harus rapat, saya manfaatkan momen menunggu itu untuk
menenangkan diri, agar dapat sabar, tawakal, dan ikhlas
dengan kenyataan bahwa saya harus menunggu lama.

SETAHU saya, agama-agama yang berpondasi pada akhlak mengajarkan umatnya untuk senantiasa bersabar. Dahulu, saya menerima mentah-mentah ajaran agama saya untuk bersabar, meskipun hingga lebih dari 15 tahun lalu saya tidak memahami mengapa sabar itu perlu.

Menurut Wikipedia, yang juga merupakan pengertian secara umum, “[S]abar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. Semakin tinggi kesabaran yang seseorang miliki maka semakin kokoh juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan.”

Di luar ajaran agama, sabar juga menjadi kebutuhan manusia yang seringkali tidak disadari. Sabar adalah sikap yang seharusnya dimiliki setiap orang bila ia menginsafi bahwa hidup sejatinya adalah sebuah proses yang tidak bisa dipercepat. Bila kita mengikuti prosesnya dengan berperasaan sabar, maka kita akan tersadar pada jalan yang harus kita lalui atau arah-arah yang harus kita tuju untuk mencapai yang kita inginkan. Bila dipercepat prosesnya akan membuat kita laksana mobil yang melaju sangat kencang di jalan bebas hambatan, yang saking nikmatnya akan membuat kita terlena di belakang setir, lalu jatuh tertidur, dan berakibat mobil kita menjadi tidak terkendali. Akhirnya, kita pun celaka.

Proses perwujudan keinginan kita itu berjalan sesuai kemampuan kita. Sebagaimana diungkapkan oleh YM Bapak Subuh dalam ceramah di Detroit, Michigan—Amerika Serikat pada 6 Agustus 1063: “Sudah tentu pelaksanaannya hal-hal yang saudara inginkan, saudara perlu sabar, perlu percaya kepada Tuhan, perlu mengikhlaskan segala sesuatunya. Karena semua itu diatur dan dikerjakan oleh kekuasaan Tuhan seukur dengan kekuatan saudara, jangan sampai rasa diri saudara atau anggota-anggota saudara baik dalam maupun lahir menjadi terusak karenanya. Dan sebabnya itu pula, ialah dari banyaknya kesalahan-kesalahan, dari banyaknya kekotoran-kekotoran yang telah meresap dalam rasa diri saudara. Tetapi meskipun demikian, saudara sendiri tidak akan dapat mengetahui dan menginsafinya, selain Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, baiklah apabila saudara sekalian menyerahkan segala sesuatunya itu kepada Tuhan. Meskipun agak lama atau lama, saudara perlu percaya kepada kebesaran Tuhan, bahwa Tuhan akan menolongnya.”

Kepahaman bahwa proses yang harus saya (atau kita) lalui tidak bisa dipercepat saya peroleh melalui pengalaman-pengalaman gerak hidup saya yang tertuntun oleh Latihan Kejiwaan. Jika menurut agama sabar adalah suatu sikap menahan keinginan, di SUBUD sebaliknya: Kita boleh berkeinginan, asal kita sabar mengikuti urutan proses yang membawa kita, pada akhirnya, tiba pada apa yang kita inginkan.

Sabar itu bukan hanya sikap menahan diri kita atas keadaan-keadaan atau orang-orang di luar diri kita, tetapi juga terhadap diri kita sendiri. Cara bekerjanya kekuasaan Tuhan dalam mewujudkan keinginan kita seringkali tidak sejalan dengan yang kita pikirkan, apalagi pikiran kita sudah sedemikian terkontaminasi oleh ajaran-ajaran bahwa Tuhan hanyalah kebaikan dan menuntun kita melalui jalan yang baik. Sehingga ketika kita dihadapkan pada keburukan, kita cenderung menjadi tidak sabar dengan keadaan itu dan menjauh atau menghindar.

Saya ingat pada suatu pengalaman beberapa tahun silam. Saat itu, saya dan istri tengah mudik ke Surabaya, dan menginap di rumah mertua saya, di mana juga ada kakak ipar saya, yaitu kakak tertua dari istri saya. Kakak ipar saya, yang sudah pernah mengenyam pendidikan agama di sebuah pondok pesantren di Nganjuk, Jawa Timur, suatu ketika mendatangi saya untuk bertanya-tanya tentang SUBUD dan Latihan Kejiwaan. Ia ingin belajar sabar, dan ia pernah mendengar bahwa di SUBUD orang melakukan Latihan Kejiwaan untuk mampu sabar, tawakal, dan ikhlas.

“Setahu saya, sabar nggak bisa dipelajari, Mas,” komentar saya setelah kakak ipar saya mengutarakan maksudnya mendatangi saya. “Sabar adalah pemberian Tuhan kepada mereka yang Dia kehendaki.”

Kakak ipar saya tetap ngotot ingin ikut saya ke Wisma SUBUD Surabaya untuk ngandidat. Maka, pada suatu malam di hari Kamis, dia dan saya beriring-iringan dua sepeda motor dari rumah mertua di kawasan Perak Barat, Surabaya Utara, ke Wisma SUBUD Cabang Surabaya di Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya Timur. Saya perkenalkan kakak saya ke salah satu pembantu pelatih (PP), yang kebetulan juga seorang ustad. Sang PP mengajak kakak ipar saya ke ruangan kandidat, sebuah ruangan kecil yang menyambung pada sisi selatan bangunan Hall Latihan SUBUD Cabang Surabaya. Saya tidak menemani kakak ipar saya, melainkan tetap duduk lesehan di teras timur Hall Latihan Surabaya, yang memang lazim digunakan sebagai tempat para anggota SUBUD Cabang Surabaya berinteraksi sebelum dan sesudah melakukan Latihan Kejiwaan.

Dari teras itu, saya melihat satu PP sepuh datang dari arah pelataran parkir mobil dan berjalan tertatih-tatih ke arah ruangan kandidat. Saya mengenal beliau sebagai Pak Nardi, mantan PP Nasional Pria untuk Komisariat Wilayah VI Jawa Timur-Bali-Sulawesi. Beberapa saat setelah Pak Nardi memasuki ruangan tersebut, saya melihat kakak ipar saya tergopoh-gopoh keluar dari ruangan dan berjalan dengan tampang cemberut ke arah parkiran sepeda motor, di mana dia menaiki sepeda motornya dan segera berlalu dari pekarangan Wisma SUBUD Surabaya.

Keesokan harinya, kakak ipar saya menemui saya. Dia dengan suara keras bernada jengkel mengatakan bahwa Pak Nardi itu bukan orang yang beragama. “Pasti dia nggak beragama dan nggak punya adab,” kata kakak ipar saya. Usut punya usut, rupanya Pak Nardi, yang baru belakangan nimbrung dengan PP lainnya yang melayani kakak ipar saya, bertanya pada kakak ipar saya apa pekerjaannya. Dijawab oleh kakak ipar saya, “Saya marketing, Pak.” Dikomentari oleh Pak Nardi, “Kamu jangan bohong ya ke saya. Saya bisa melihat kalau kamu bohong. Apa pekerjaan kamu?”

“Saya sudah jelaskan tadi, Pak. Pekerjaan saya di marketing EMKL (ekspedisi muatan kapal laut—ADS),” jawab kakak ipar saya, mulai kesal.

“Bohong kamu!” bentak Pak Nardi. Hal itu membuat kakak ipar saya tersinggung dan segera pergi meninggalkan Wisma SUBUD Surabaya.

Saya terdiam tapi dalam hati saya tertawa dan membatin, “Sukurin!”

Saya kemudian berkata kepada kakak ipar saya, “Kan Mas katanya mau belajar sabar. Naah tuuh, dikasih Tuhan langsung prakteknya. Sabar nggak ada teorinya, Mas. SUBUD juga nggak ada ajaran apalagi teori. Semua serba kenyataan. Mas mau belajar sabar, dikasih Tuhan kesempatan belajar yang bagus, lewat praktek langsung, kok ya malah kabur dari kenyataan?!”

Kakak ipar saya terpana dan diam membisu, tidak berani berkomentar. Tampaknya dia amat malu, karena telah “tertangkap basah” oleh saya bahwa dia tidak mampu bahkan untuk belajar sabar.

“Maaf, Mas, menurut saya malah Mas yang nggak beragama. Buktinya, nggak bisa bersabar dengan kenyataan yang ada,” kata saya dengan rileks.

Setelah hari itu, kakak ipar saya masih empat kali lagi menjalani masa kandidatan di Wisma SUBUD Cabang Surabaya. Selanjutnya, tidak ada kabar beritanya lagi. Tampaknya dia belum memiliki energi yang memadai untuk belajar sabar melalui kenyataan hidup sehari-hari.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 19 Juni 2019


No comments: