Tuesday, January 1, 2019

Berhenti Sejenak


PADA 29 Desember 2018 lalu, saat bersama keluarga jalan-jalan ke Aeon Mall BSD City, Tangerang Selatan, saya mampir di toko buku Gramedia. Saya tidak selalu ada maksud khusus membeli buku bila saya ke toko buku. Seringnya karena kegiatan melacak buku yang menarik merupakan rekreasi tersendiri bagi saya. Serunya mirip perburuan harta karun rampasan bajak laut yang tersembunyi di tempat rahasia di pulau terpencil.

Di Gramedia saya berkeliling di antara rak-rak buku, dengan kedua mata saya melarik sekian banyak buku yang berdesain cover dan berjudul menarik, sampai saya pusing. Ini seperti menghadapi begitu banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari saya yang pencarian solusinya membuat kepala saya sakit. Biasanya, kalau sudah begini, saya teringat kata-kata orang bijak, agar berhenti sejenak, duduk tenang tanpa memikirkan apa pun. “Hanya ketika kita hening, kita dapat mendengar suara Tuhan,” kata orang bijak.

Tapi karena begitu banyak hal menarik di toko buku—berbeda dengan kenyataan sehari-hari yang tidak selalu menarik—saya mengabaikan bisikan di benak saya agar berhenti sejenak untuk dapat memutuskan membeli atau tidak membeli buku, jika ada. Ada satu buku yang menarik perhatian saya, yang dengan membaca sinopsisnya di bagian belakangnya saja saya tahu bahwa itu buku bagus. Namun, deretan buku di sebelah kanan-kiri, dan atas-bawah buku tersebut, serta di rak-rak lainnya, menggoda iman saya dan saya terseret makin jauh dari buku sasaran ketertarikan saya.

“Berhenti sejenak, dan pertimbangkan dengan baik,” kata suara lembut di dalam diri saya. Saya tidak bisa berhenti, dan terus saja berjalan dari rak ke rak, melarik semakin banyak buku yang menawarkan desain kulit dan judul yang menggoda. Kalimat bijak “Jangan menilai isi buku dari kulitnya” seakan tidak berarti bagi saya. Dan terjadilah sesuatu yang memaksa saya harus berhenti sejenak.

Sebelum ke Gramedia, saya dan keluarga menikmati kebersamaan dengan memanjakan selera makan kami di Food Carnival, arena kulinernya Aeon Mall BSD City. Saya makan cukup banyak hingga kekenyangan. Acara jalan-jalan yang saya lanjutkan kemudian, membuat makanan yang telah saya santap terproses dalam pencernaan saya, sehingga ketika berada di Gramedia, perut saya tiba-tiba bergejolak. Sejenak saya terkenang pada obrolan santai saya dengan beberapa teman kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP Negeri Jakarta, tempat saya melanjutkan studi selepas SMA dari tahun 1986 ke 1987, tentang besarnya pengaruh kebelet buang air besar atas jalannya peristiwa sejarah. Ujar salah satu teman saya, "Napoleon aja, gue yakin, rela brentiin Pertempuran Waterloo kalau mendadak kebelet.”

Saya persis Napoleon ketika tiba-tiba diserang rasa kebelet buang air besar di tengah serunya pelacakan buku bagus di Gramedia. Saya pun buru-buru meninggalkan toko buku tersebut, disambut salam ramah dari petugas sekuriti di jalan keluar toko buku, “Terima kasih sudah berbelanja di Gramedia.” Sempat terpikir oleh saya betapa memalukannya bila nanti saya balik ke Gramedia dan bertemu petugas sekuriti yang sama. Pasti dia mengherankan saya yang bolak-balik toko buku dalam waktu yang cukup singkat. Tapi saya tepis pemikiran itu; menemukan toilet terdekat lebih penting saat itu.

Dalam konteks terpaksa, saya berhenti sejenak—di toilet—untuk membuang isi perut saya, namun saat itu juga pikiran saya hening. Dalam keheningan pikiran, terdengar suara Tuhan yang memastikan pilihan saya pada satu buku itu. Semua ketertarikan lainnya menyingkir, menyisakan ruang lapang untuk satu pilihan itu. Ya, saya yakin dengan pilihan itu. Makanya, setelah dari toilet saya melangkah pasti balik ke Gramedia. Laksana mengenakan kacamata kuda, perhatian saya hanya fokus pada buku tersebut. Setelah membayar buku tersebut di kasir, saya kemudian melenggang pergi dengan perasaan yang ringan dan gembira.@2019


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 2 Januari 2019

No comments: