Thursday, January 24, 2019

Virtual Mind Mapping


-->

SEORANG guru penulisan skenario yang saya kenal pertama kali tahun 2009 memperkenalkan ke saya suatu metode yang memudahkan dalam menulis skenario (screenwriting) atau skrip (scriptwriting) untuk film atau video. Metode itu dinamakan “mind-mapping” (pemetaan pikiran). Pemetaan pikiran adalah suatu metode untuk memaksimalkan potensi pikiran manusia dengan menggunakan otak kanan dan otak kirinya, yang dikembangkan Tony Buzan pada tahun 1974.

Dengan pemetaan pikiran, penulis skenario dapat mendata alur (flow) dari plot-plot yang ingin ia rangkai dalam suatu film atau video. Plot mengacu pada sekuens kejadian dalam suatu cerita yang mempengaruhi kejadian-kejadian lain melalui prinsip sebab dan akibat. Dengan bantuan peta pikiran, yang mencatat semua gagasan cerita yang ingin saya tuangkan, alur ceritanya tidak akan loncat ke sana ke mari. Saran dari si guru penulisan skenario tersebut adalah agar saya membuat mind map saya sendiri secara kasatmata dengan peranti lunak yang bisa saya install di komputer saya.

Contoh peta pikiran untuk teknologi pendidikan.

Saat saya mengenal si guru ini, saya memang sengaja menemuinya di kantornya di Jl. Zainul Arifin, Jakarta Pusat, bukan karena saya ingin belajar penulisan skenario, melainkan karena sebagai pengarah kreatif (creative director) saya dibutuhkan oleh mitra bisnisnya yang seorang musisi jazz eksentrik, yang ingin berkonsultasi dalam kaitan penjenamaan pribadi (personal branding). Untuk urusan penulisan skenario atau skrip, saya telah mempelajarinya sekian lama melalui pekerjaan saya sebagai penulis naskah iklan (copywriter) yang tidak jarang menerima order pekerjaan pembuatan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat untuk media audio-visual. Bagaimanapun, saran dari si guru penulisan skenario itu berharga dan memberi wawasan baru bagi saya.

Tetapi, nyatanya, saya tidak pernah menggunakan metode pemetaan pemikiran setiap kali saya ketiban order penulisan skrip untuk film maupun profil video, baik sebelum maupun sesudah saya mengenal si guru penulisan skenario. Hal ini terutama sejak saya sudah menerima Latihan Kejiwaan, di mana penggunaan pikiran yang berlebihan akan terasa sangat mengganggu saya. Seperti “keajaiban” yang baru-baru ini saya alami.

Pada tanggal 23 Januari 2019 lalu, saya bersama seorang sutradara dan seorang produser pergi menghadiri suatu sesi pembadaian otak (brainstorming) dengan seorang coach bisnis di kantornya di lantai 11 Menara Citicon di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Sang coach adalah pendiri dan pemilik firma konsultasi bisnis yang telah membantu banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meraup keuntungan yang besar dengan laju pertumbuhan usaha yang signifikan. Ia ingin membuat film-film pendek yang menampilkan perjalanan usaha dari para kliennya, yaitu pelaku-pelaku UMKM tersebut.

Ada tiga film yang ingin dibuat oleh sang coach, masing-masing mewakili tiga golongan bisnis yang paling sering ia dan timnya bantu kembangkan, yaitu bisnis keluarga, bisnis yang dijalankan oleh suami-istri, dan bisnis yang dirintis melalui pertemanan. Sang coach bertanya kepada kami—saya selaku scriptwriter, dan rekan-rekan saya masing-masing sebagai sutradara dan produser—apakah mungkin jika ketiga golongan bisnis tersebut disatukan dalam satu film, alih-alih membuat tiga film yang berbeda, dengan konsekuensi anggarannya pun akan membengkak. Suara di dalam diri saya menjawab “Bisa!” tetapi saya tak dapat menyuarakannya, seakan tercekat di kerongkongan saya, entah mengapa. Tetapi, sutradara menjawab “Tidak bisa!”, dengan pertimbangan bahwa jalinannya plotnya akan rumit dan, efeknya, akan sulit dicerna oleh pemirsa. Produser mendukung alasan si sutradara.

Saya me-niteni diri saya saat sesi pembadaian otak dengan pemilik perusahaan dan jenama (brand) yang berlangsung dari pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB di ruang rapat kantor dari firma business coaching and mentoring itu. Biasanya, saya mencatat semua hal penting yang disampaikan klien di ponsel cerdas saya atau buku catatan, atau merekamnya dengan alat perekam. Namun, di momen sesi brainstorming tertanggal 23 Januari 2019 itu, saya tidak mencatat maupun merekam. Saya hanya memotret dengan kamera ponsel saya dinding kaca ruang rapat yang digoresi tulisan sang coach—dan tulisannya tidak banyak, tidak memadai untuk menjadi taklimat yang bisa saya andalkan. Lihat sendiri fotonya di bawah ini.


Bagaimanapun, semua pembicaraan selama berlangsungnya sesi pembadaian otak tersebut bagaikan “terserap” ke diri saya. Saya tidak berusaha memahami atau mengingat setiap bagian yang diutarakan baik oleh coach maupun oleh sutradara dan produser. Terjadi suatu proses menakjubkan—yang tidak bisa saya jelaskan karena kata-kata terlalu dangkal untuk dapat menjabarkannya secara sempurna—yang merangkum keseluruhan pembicaraan sore itu menjadi satu paket pengertian yang ringkas, padat, dan jelas, yang kelak melahirkan sang Gagasan Besar (big idea) cerita yang akan saya paparkan dalam skrip.

Usai brainstorming, tepat pada pukul 17.00 WIB, saya bersama kedua rekan saya mohon diri. Sebelum pulang, kami masih membahas proyek tersebut di sudut belakang gedung Menara Citicon yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin merokok. Sambil menikmati beberapa batang rokok (kecuali sang produser yang mengisap rokok elektrik), kami membahas langkah-langkah menangani proyek tersebut. Sang produser baru bisa menghitung anggarannya bila sudah ada skrip atau storyline dari pihak saya; artinya, saya harus bekerja ekstra cepat, karena pertemuan berikutnya dengan sang coach untuk membahas ide dan alur cerita telah dijadwalkan pada tanggal 30 Januari 2019.

Bagi saya, sebagai copywriter dan scriptwriter yang saat ini telah mengantongi pengalaman selama 24 tahun, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mudah. Yang sulit itu adalah proses menemukan idenya. Sebuah tulisan tanpa ide adalah seperti tubuh tak bernyawa. Nah, sejak aktif melakukan Latihan Kejiwaan, kesulitan menemukan ide relatif berkurang, bahkan menjadi sangat mudah, dikarenakan ide datangnya dari ketiadaan (seorang creative director terkenal asal Australia menyebut, “Ide datang dari langit”). Berpikir keras tidak akan mendekatkan saya atau membantu saya membuka pintu menuju ruang persembunyian ide.

Sejak aktif melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan untuk melakukan proses “berpikir tanpa berpikir”. Seorang desainer grafis muda yang pernah bekerja sama dengan saya pada tahun 2006 menjabarkan kesaksiannya atas proses kreatif saya: “Mas Anto hanya memejamkan mata, tersenyum sendiri, lalu Mas bilang sudah dapat idenya. Tanpa berpikir sama sekali!” (Ia membandingkan dengan dirinya yang perlu nongkrong berjam-jam di kafe, menenggak bir atau minum kopi dan mengisap rokok untuk dapat menggapai gagasan yang cemerlang. Menyaksikan bagaimana saya dengan mudahnya memperoleh ide akhirnya mendorong desainer grafis muda itu masuk SUBUD.)

Keesokan harinya, saya nyalakan komputer portabel (sebutan para penggemar  jenama Apple untuk “laptop” MacBook) saya dan saya buka Microsoft Word. Seperti penulis pada umumnya, saya sempat mengalami sindrom kertas putih (white paper syndrome) atau sindrom halaman kosong (blank page syndrome), yaitu momen ketika kita membuka dokumen kosong dan lupa apa yang akan kita tulis atau tidak bisa mulai menulis karena tidak ada kata-kata di halaman yang baru kita buka. Untuk mengatasi sindrom tersebut, saya pun menyingkir dari depan komputer portabel di meja kerja saya dan pergi keluar rumah, di mana saya duduk bertemankan sebatang rokok, dan menenangkan pikiran. Secara ajaib, muncul peta pikiran tankasat mata atau virtual (virtual mind map) di hadapan saya, yang dengan “ramah” menjelaskan kepada saya setiap detail ide cerita yang harus saya tuliskan dalam storyline.

Pengalaman dengan “virtual mind mapping” bukan sekali itu saya alami. Sejak menerima Latihan Kejiwaan, peta pikiran gaib itu hampir selalu hadir ketika saya dihadapkan pada pekerjaan penulisan naskah. Saya seperti membaca suatu peta pikiran yang lengkap dan detail. Kadang berupa “film jadi” yang saya tonton dari awal hingga akhir, yang menginspirasi saya. Dan selalu ada unsur kebaruan dalam ide cerita yang disajikan Langit kepada saya, sehingga ide itu benar-benar kreatif, mampu mengundang ketakjuban dari klien.

Yang membuat saya takjub terhadap ide cerita yang disuguhi oleh virtual mind mapping itu adalah bahwa ia merangkum ketiga golongan bisnis itu secara logis dalam satu film, dengan kemungkinan untuk dikembangkan menjadi tiga film yang terpisah, sebagai sekuel atau prekuel. Logikanya terletak pada kisah tentang bisnis keluarga yang dijalankan oleh suami-istri dan dua anak mereka. Plotnya berkembang karena masing-masing anak ternyata memiliki niat berbisnis bukan bersama orang tuanya, melainkan satu anak ingin membangun bisnis bersama teman-temannya, dan anak lainnya memiliki masalah kepemimpinan—yang pelatihannya juga disediakan oleh si coach. Jelang akhir cerita, konflik orang tua dan anak membuat bisnis keluarga itu terseret ke ambang kehancuran, sekaligus mengancam keutuhan rumah tangga suami-istri itu, karena sang suami lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan sampai melupakan istri dan anak-anaknya. Meskipun akhirnya bisnisnya berkembang, sang suami dihadapkan pada kesepian akibat hubungannya yang retak dengan istri dan anak-anaknya.

Sang istri dan anak-anak mereka juga mengembangkan kisah sendiri-sendiri, dengan si istri harus berusaha menjaga keutuhan rumah tangga sekaligus bisnis yang ia jalankan bersama suami, sementara anak-anaknya menghadapi problem di bisnisnya masing-masing. Menjelang akhir film, keluarga itu berkumpul kembali di kantor firma konsultasi bisnis milik si coach, lantaran tanpa saling tahu, masing-masing anggota keluarga tertuntun langkahnya untuk menemukan solusi di firma konsultasi bisnis itu.

Ajaib benar sumber gaib di balik penyusunan virtual mind mapping itu! Idenya benar-benar perfect. Masalahnya hanya pada eksekusi; belum tentu sutradara dan awak produksi film mampu menerjemahkan ide tersebut ke dalam visualisasi cerita yang sama memukaunya dengan versi gaib yang saya tonton. Bagaimanapun, kekecewaan saya atas eksekusi sebuah ide yang tidak sepadan dengan nilai idenya seringkali terobati dengan pengalaman virtual mind mapping yang terus saja mengemuka dalam pekerjaan saya menulis naskah audi-visual. Tak jarang peta pikiran gaib itu memberi saya solusi atas masalah-masalah yang sedang saya hadapi sehari-hari.©2019



Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 25 Januari 2019

No comments: