Friday, October 12, 2018

Perjalanan 24 Jam Dengan KA Gaya Baru Malam Selatan


KA Gaya Baru Malam Selatan meninggalkan Kota Surabaya.


SETIAP kali ditanya apa pengalaman paling menarik yang pernah saya lalui sebagai pengguna jasa kereta api, cerita tentang perjalanan 24 jam menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan yang keluar dari mulut saya. Terjadi pada tanggal 23 ke 24 Januari 1994, di era Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA).

Pada hari itu, saya menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan, biasa disingkat GBMS, dari Stasiun Surabaya Kota (SB, +4 mdpl) dengan tujuan Stasiun Pasarsenen Jakarta. Jam keberangkatan pukul 12.00 WIB. Saya mendapat kursi di kereta yang kondisinya buruk: pengap, penerangan rusak, berkipas angin yang tidak dapat berputar ke berbagai arah karena mekanisme pemutarnya rusak, dan semua jendela di tidak berkaca (pecah). Alamat wajah saya akan menghitam terkena asap pembakaran solar dari lokomotif CC201 yang berdinas menarik rangkaian GBMS ke Jakarta.

Sejak diberangkatkan dari SB, saya sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada lokomotifnya. Kecepatannya naik-turun dan jalan kereta tersendat-sendat dengan bunyi mesin lokomotifnya seperti “ngos-ngosan”. Berhenti di Stasiun Mojokerto (MR, +22 mdpl), baru diumumkan bahwa lokomotif mengalami kerusakan dan karena itu seluruh rangkaian GBMS harus menunggu lebih dari satu jam sebelum diberangkatkan kembali. Penantian panjang itu dalam rangka menunggu kedatangan lokomotif pengganti dari Dipo Lokomotif Sidotopo (SDT, +2,5 mdpl), Surabaya.

Meskipun telah mendapatkan lokomotif pengganti yang laik dinas, tidak lantas berarti rangkaian GBMS yang saya tumpangi itu bakal melaju cepat. Saat itu, GBMS merupakan salah satu kereta api kelas Ekonomi yang berstatus “paling menderita” di Lintas Selatan Jawa yang masih berjalur tunggal, lantaran dia harus berhenti di hampir semua stasiun kecil di sepanjang perjalanannya untuk persilangan dan persusulan dengan KA-KA berkelas Eksekutif dan Bisnis. GBMS terkenal sebagai kereta api yang harus mengalah pada kepentingan kelas-kelas di atasnya, dan ia merupakan satu-satunya KA kelas Ekonomi di Lintas Selatan Jawa yang melayani perjalanan Jakarta-Surabaya.

Situasi dalam kereta saat itu seperti bukan dalam kereta kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang—setelah PT KAI direstrukturisasi pada masa kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai direktur utamanya. Saya membayangkannya seperti kabin pesawat pengangkut pasukan pada era Perang Dunia Kedua: gerbong kereta penuh sesak dengan penumpang dan pedagang asongan dan barang-barang bawaan penumpang yang tidak jarang melebihi kapasitas. Toilet yang menebar aroma tidak sedap pun ditempati penumpang di sepanjang perjalanan. Gerbong kereta penuh sesak tanpa pendingin udara, dengan penumpang merokok di dalam gerbong. Pedagang asongan hilir-mudik tiada henti-hentinya dari awal hingga akhir tujuan.

KA Gaya Baru Malam Selatan yang saya tumpangi itu tiba di Stasiun Pasarsenen, Jakarta, pada jam 12.00 siang. Tepat 24 jam sejak keberangkatannya dari Stasiun Surabaya Kota!

Tahun 2009, ketika Jonan menjadi direktur utama PT Kereta Api Indonesia (Persero), secara perlahan namun pasti dunia perkeretaapian Indonesia berubah dan bertransformasi menjadi perusahaan berorientasi layanan pelanggan. Sarana dan prasarana kereta api dibenahi dan menjadi moda transportasi paling diminati masyarakat. Jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api hampir pasti tepat waktu. Semua kereta api, dari kelas Eksekutif sampai Ekonomi sudah berpendingin udara, dan penumpang nyaman karena pedagang asongan dilarang berjualan baik di dalam kereta maupun di areal stasiun.

Transformasi tersebut, tentu saja, juga menyentuh layanan KA Gaya Baru Malam Selatan. Kereta tersebut sekarang menjadi lebih nyaman, dengan harga tiket Rp 110.000 untuk perjalanan Jakarta ke Surabaya pergi-pulang, dengan singgah tidak di semua stasiun yang ada di Lintas Selatan Jawa.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 12 Oktober 2018

No comments: