Sunday, September 5, 2010

Puasa Setiap Hari, Selamanya


"Dengan pendisiplinan diri dan pengendalian diri Anda bisa mengembangkan karakter yang hebat."

--Grenville Kleiser



Tanggal 30 Agustus 2010 lalu, saya mendengar keponakan saya bertanya, "Puasa berapa hari lagi, sih?" Mengetahui kemudian bahwa bulan Ramadhan masih tersisa sepuluh hari lagi, ia bersorak, "Horee, puasa udah mau abis!"

Di lain pihak, ada orang-orang, kaum muslim, yang merasa akan merindukan bulan Ramadhan, karena mereka anggap bulan inilah satu-satunya momen di mana spiritualitas mereka menjadi lebih kaya. Di luar Ramadhan, mereka pikir, kerohanian sulit dikembangkan, apalagi dengan godaan duniawi yang demikian gencar lantaran cahaya Ramadhan tidak lagi memancar. Justru dengan 'godaan duniawi' itu puasa menjadi kian bermakna, lantaran kita tertantang untuk mulai mengendalikan diri dan hawa nafsu.

Secara umum, puasa memang dianggap merupakan ritual periodik yang mensyaratkan waktu-waktu tertentu untuk menjalankannya. Tetapi yang kerap dilupakan adalah bahwa puasa bukanlah dominasi Islam. Saya pernah beberapa tahun berturut-turut berpuasa selama seratus hari, yang tak pelak menimbulkan pertanyaan dari sekitar mengenai dalihnya dalam ajaran Islam. Padahal puasa merupakan tradisi asketisme (berzuhud, menjauhkan diri dari keduniaan) yang terdapat pada berbagai agama dan jalan spiritual.

Secara historis, masa berpuasa diadakan, tidak saja dalam agama Islam, tetapi juga pada berbagai agama lainnya, baik yang lahir di Asia Barat maupun Asia Selatan dan Timur, untuk menegakkan latihan pengendalian diri secara fisik, mental dan emosional, yang bukan cuma menahan lapar dan haus, tetapi juga aspek-aspek kebutuhan dasar manusia lainnya. Jadi, esensi puasa bukan terletak pada pengendalian diri agar tidak makan dan minum selama jangka waktu tertentu, melainkan pada pengelolaan nafsu-nafsu, baik pada masa yang ditentukan maupun sebelum dan setelah lewat masa itu.

Tampaknya banyak yang hanya tahu puasa sekadar menahan lapar dan haus, bukannya mengendalikan diri secara mental dan emosional, sehingga Nabi Muhammad pun bersabda bahwa selama bulan Ramadhan banyak yang menahan lapar dan haus, namun sedikit sekali yang sesungguhnya berpuasa. Tak mengherankan, jika ketika waktu berbuka puasa tiba kebanyakan kita tak ubahnya hewan liar yang baru dilepas dari kandangnya.

Puasa seharusnya menjinakkan hewan di dalam diri kita, bukannua mengikatnya untuk dilecuti hingga menjadi kian beringas. Ketika saya tahu bahwa para sufi tak sedikit yang melakoni puasa setiap hari untuk selamanya, saya sempat heran: Lha kok boleh? Kok bisa? Itu lantaran pengetahuan saya tentang puasa hanya terbatas pada upaya menahan lapar dan haus selama kurun waktu tertentu; tidak mengerti bahwa puasa bertujuan untuk melatih pengendalian diri, setiap hari untuk selamanya.

Dan itu yang sesungguhnya dilakoni para sufi, juga para biksu yang hidup selibat di wihara-wihara Buddhis, dan para asketik lainnya: bukan berpuasa sebagaimana pada bulan Ramadhan, yang mensyaratkan makan sahur sebelum waktu subuh tiba, dan menyantap sajian 'yang manis-manis' pada waktu magrib, melainkan mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, yang merugikan orang lain dan, akhirnya, diri sendiri. Makan-minumnya tidak berlebihan, sukanya tidak melampaui dukanya dan sebaliknya, segala sesuatu tidak dilebih-lebihkan sehingga memabukkan diri, membuat diri lupa bahwa 'arah dan tujuan' tindakan dan pemikiran bukanlah tindakan dan pemikiran itu sendiri, melainkan hasil atau kegunaan daripadanya. Dan hal itu melampaui ruang dan waktu; di mana saja dan kapan saja!

Tidak banyak orang yang menjalankan puasa secara hakiki. Banyak yang hanya menahan lapar dan haus belaka, sebagaimana ditandaskan Nabi Muhammad. Secara hakiki, puasa bermakna pengheningan diri, bersahabat dengan kekinian (yang kadang penuh suka, kadang sarat duka), sebagaimana semadi yang bernuansa pembebasan dari kemelekatan terhadap ego, dan (seyogianya) berlangsung sepanjang masa. Tanpa keinsafan akan hal ini, maka puasa akan turun derajatnya, menjadi sekadar ritual tahunan, sebagai 'syarat' untuk sampai pada hari yang penuh fitrah. Jika demikian, Ramadhan akan kehilangan kesyahduannya, kedamaiannya yang khusyuk. Bagi sebagian kita bahkan melewati bulan suci ini (bukan bulannya yang suci, melainkan kitanya yang mesti menyucikan diri selama bulan ini) sekadar sebagai tindakan menggugurkan kewajiban.

Tak mengejutkan, sesungguhnya, apabila di antara mereka yang berpuasa selama bulan Ramadhan masih ada yang suka menzalimi sesamanya, sesama saudara kandung bermusuhan, merendahkan kaum papa, berkata fitnah, bersikap tidak sabar dan tidak ikhlas, mengeluhkan keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya, mencelakakan orang lain, dan lain-lain perbuatan yang tergolong dosa. Kalau Anda mengira mentang-mentang sudah sanggup menahan lapar dan haus maka dosa-dosa Anda bakal diampuni, Anda salah besar! Bila kesalahan kita termasuk menyakiti orang lain, coba renungkan bagaimana doa orang itu terhadap kita. Dan doa orang yang teraniaya senantiasa dikabulkanNya. Tak peduli walaupun kita sudah susah-payah menahan lapar dan haus.(ad)


Cilandak Barat, Jakarta Selatan, 6 September 2010

No comments: