Wednesday, September 8, 2010

Maaf, Nikmatnya Luar Biasa!


“Orang bodoh tidak pernah memaafkan dan melupakan, orang lugu bersedia memaafkan dan melupakan,

orang yang bijak memaafkan tetapi tidak melupakan.”

—Thomas Szasz, The Second Sin (1973), “Personal Conduct”.



Tahun 2009 lalu, saya berselisih dengan salah seorang rekan lantaran sebuah tanggung jawab yang dilalaikannya, tetapi ia tidak terima dipersalahkan karenanya, dan menuduh saya sok kuasa. Parahnya, ia menggalang pendukung dari para anggota seksi dari organisasi di mana kami bernaung, yang dikoordinatorinya, untuk bersama-sama menyerang saya. Kami perang kata-kata di milis, yang makin lama makin menyadarkan saya bahwa itu konyol. Sehingga akhirnya saya meminta maaf kepada rekan ini.


Rupanya itu belum cukup baginya, walaupun ia menyambut baik permintaan maaf saya. Dalam rapat yang digelar kemudian antara seksi itu dengan jajaran pengurus pusat yang menaunginya si koordinator menuntut saya meminta maaf kepada seluruh anggota seksi, karena kata-kata saya dianggap telah menyinggung perasaan mereka. Tentu saja, saya merasa dipermalukan di depan umum, tetapi saya turuti permintaan mereka, demi agar persoalan itu tidak menjadi berkepanjangan dan membuat kami semua tampak konyol. Disaksikan oleh sekian banyak peserta yang berjubel di ruang rapat itu, dengan tegar dan rendah hati saya ucapkan kata-kata maaf. Dampaknya, saya merasakan sesuatu yang luar biasa menyelimuti diri saya. Sesuatu yang sulit digambarkan, tetapi rasanya nikmat sekali. Diri saya serasa membesar, lebih besar dari alam semesta; serasa duduk di singgasana dan orang-orang yang saya hadapi itu mengecil, menjadi tak berarti sama sekali.


Meminta maaf dengan tulus, walaupun kita berada di pihak yang tidak bersalah, ternyata menyejukkan hati kita maupun orang yang kepadanya kita meminta maaf. Permintaan maaf mendudukkan kita di singgasana kemuliaan. Melalui maaf, kita memuliakan orang yang kepadanya kita minta maaf, tetapi sekaligus memuliakan diri kita di atas segalanya. Saya tidak punya teori tentang bagaimana kata maaf dapat berdampak menyehatkan secara fisik maupun emosional, namun pengalaman saya membuktikan demikian adanya.


Bagi kebanyakan orang, ternyata, meminta maaf itu sulit. Dan telah menjadi mitos yang melegenda bahwa permintaan maaf secara tulus merupakan pekerjaan terberat yang pernah ada. Grup musik yang populer di era 1970an hingga 1980an, Chicago, melantunkan dalam tembang mereka “It’s hard for me to say I'm sorry”, juga Elton John bilang “Oh it seems to me, sorry seems to be the hardest word...” dalam salah satu lagunya yang berjudul Sorry Seems to Be the Hardest Word (1976). Apa iya meminta maaf sesulit itu?


Kesulitan itu utamanya disebabkan lantaran kita sukanya merasa di pihak yang benar, tidak sudi disalahkan. Walaupun mungkin kita yang benar, tidak ada salahnya sesekali kita rela untuk mengalah dan merasa diri sebagai yang salah. Di dunia di mana banyak orang mengklaim dirinya benar, menjadi orang yang salah serasa berkuasa atas dunia. "Di negeri orang buta, orang yang bermata satu adalah raja," demikian bunyi sebuah pepatah kuno. Dengan memposisikan diri kita sebagai yang salah, kita punya lebih banyak kesempatan untuk melihat kebenaran yang sejati; kita tak terbutakan oleh kebenaran kita sendiri yang lebih mengacu pada pembenaran. Paling tidak, pengalaman saya menuturkan begitu.


Permintaan maaf tidak kenal waktu dan ruang. Tidak perlu menunggu Lebaran untuk memohon maaf. Kapan saja ada kesempatan mintalah maaf terlebih dahulu apabila Anda sedang terlibat dalam perselisihan dengan orang lain. Mengesampingkan dampak sosialnya, perselisihan berkepanjangan nyatanya menurunkan derajat kesehatan psikis dan, akhirnya, juga fisik kita. Orang-orang yang didera depresi disebabkan oleh prasangka-prasangka berlebihan yang ditimbulkan oleh konflik pribadi yang berkepanjangan dengan orang lain atau acap menyalahkan lingkungan atas derita yang kita terima. Obatnya hanya satu: memaafkan diri sendiri dengan memaafkan orang lain atau lingkungan di mana kita berada, dengan tulus ikhlas, lahir dan batin. Buktikan sendiri, jika tidak di lain waktu ya di saat kita sambut Hari Raya Idul Fitri ini, bahwa meminta maaf nikmatnya luar biasa.©



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, 9 September 2010.

No comments: