Monday, September 13, 2010

Bunglon Lingkungan

“Lampu-lampu itu berbeda-beda, tetapi cahayanya sama, berasal dari sumber yang satu.”

—Jalaluddin Rumi

“Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.”

—Peribahasa



Seorang pria Arab bergegas mengambil sajadahnya begitu tetangganya menyambangi rumahnya di Mekah untuk mengajaknya salat Jum'at. Saat itu bulan Ramadan, dan seperti umat Islam lainnya ia pun berpuasa, membayar zakat pada Hari Raya Idul Fitri dan mengerjakan salat sendirian maupun berjamaah. Pokoknya, tidak ada yang janggal atau berbeda pada pria itu kecuali bahwa ia sebenarnya non-muslim. Tanpa sepengetahuan keluarga dan lingkungannya ia telah meninggalkan agamanya semula dan memeluk agama lain. Lantas, mengapa ia mau saja diajak mengerjakan syari'at Islam? Ia lakukan itu dalam rangka harmonisasi dirinya dengan lingkungan di mana ia tinggal. Tetangga, kerabat dan sahabatnya belum tentu akan menerima, bahkan mungkin akan merasa sakit hati bila mengetahui dirinya telah berganti agama, walaupun keimanan dan keyakinan merupakan urusan hati yang hanya Yang Kuasa dapat mengaturnya. Ia menjadi laksana bunglon yang mampu mengharmonisasi warna kulitnya dengan tempat di mana ia hinggap.


Kisah itu diceritakan ke saya oleh saudara Subud saya yang sehari-harinya seorang ustad dan dosen matakuliah akidah akhlak di Universitas Muhammadiyah Jakarta, setelah saya bertanya padanya bilamana saya menyampirkan keyakinan tertentu di hati saya, yang berbeda dari yang dianut keluarga saya. Saya dinasihati agar senantiasa menjadi bunglon lingkungan di tengah kondisi masyarakat yang masih sulit menerima kenyataan bahwa anggotanya telah berganti agama.


Menjadi bunglon lingkungan, menurut hemat saya, bukan cuma untuk urusan agama saja, melainkan untuk berbagai hal lainnya yang berpotensi menimbulkan kesenjangan atau ketidaksesuaian. Memang kesannya menipu diri sendiri, bertentangan dengan hati nurani, tetapi berusaha menjadi bunglon lingkungan merupakan sarana untuk belajar rendah hati dan menghormati orang lain. Jika kita kaya-raya -- setelah sebelumnya miskin -- tak ada salahnya untuk menjadi bunglon di lingkungan tak berpunya di mana kita sebelumnya bersumber, untuk menghindari kedengkian dan kecemburuan sosial. Pada intinya, toh antara kaya dan miskin tidak ada bedanya, kecuali pelakunya merasa harus membedakan dirinya demi gengsi belaka.


Tenggang rasa dan berbagi yang dilandasi respek dan kesediaan untuk menerima perbedaan dengan sabar dan ikhlas merupakan rem yang dapat menjauhkan kita dari kecenderungan untuk membedakan diri secara berlebihan dari lingkungan yang mungkin tidak sesuai dengan cara hidup atau cara pandang kita. Yang kaya dapat menjadikan dirinya tidak kelewat menonjolkan harta benda atau sebaiknya menyamai kedudukannya dengan yang miskin. Yang pandai dapat membagi ilmunya agar yang bodoh tidak tertinggal, dan mengajaknya berdiri sama tinggi dalam bidang keilmuan. Zakat, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad, hakikatnya bermakna mengisi kekurangan orang lain agar kesejahteraan dapat merata. Dan itu bukan hanya menyangkut harta atau bahan pangan, tetapi juga segala sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, sedangkan kita memilikinya secara berlebihan. Bila tetangga kita, misalnya, susah tertawa lantaran mengalami derita batin, kita dapat menzakatinya dengan aksi yang mampu membuatnya tertawa, seperti menceritakan kisah jenaka atau memberinya motivasi.


Yang beragama tertentu dapat menghapus perbedaan dengan penganut agama lainnya dengan tidak memaksakan kebenaran ajaran agamanya dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Kemajemukan dalam keberagamaan bukan soal mendorong kerukunan antar umat beragama, melainkan menciptakan kerukunan antar umat bertuhan yang dilandasi keinsafan bahwa Tuhan esa adanya. Ajaran agama boleh berbeda-beda, tetapi Tuhan tetap satu -- kecuali Anda menganut politeisme.


Ketidaksesuaian pendapat atau pandangan atau sikap yang berdampak pada pergesekan umumnya disebabkan oleh ketidaksudian individu atau kelompok untuk menyesuaikan warna kulit dengan lingkungan di mana ia atau mereka hinggap, dan bersikap rendah hati terhadap perbedaan. Bukannya menjadi berbeda itu dosa atau terlarang, tetapi adakalanya kita perlu bersikap sama atau sesuai dengan lingkungan di mana kita hidup demi terciptanya harmonisasi, yang menguntungkan kedua belah pihak. Toh hanya sementara. Lagipula kesejatian kita terdapatnya di dalam, secara batiniah, dan tidak perlu kita munculkan ke permukaan lahiriah kita. Nurani saya bisa saja berkeyakinan berbeda, tetapi berhubung kerabat dan masyarakat belum sepenuhnya bisa menerima, saya pun memilih menjadi bunglon lingkungan.(AD)



Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, 13 September 2010

No comments: