Sunday, June 6, 2010

Tak Hirau dengan yang Bikin Risau

“Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi merupakan majikan yang sangat buruk.”
—Osho (Bhagwan Shree Rajneesh, 1931-1990


Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih bekerja pada sebuah biro iklan di kota Surabaya, Jawa Timur, saya melewati pengalaman yang menyadarkan saya bahwa kerisauan berawal dari pikiran. Suatu ketika, saya hendak menunaikan salat di ruangan yang dipakai oleh bagian keuangan dari biro iklan tempat saya bekerja. Sajadah saya gelar tepat di depan lemari yang di atasnya terdapat radio yang suara gemerisiknya sangat mengganggu. Tetapi saya tidak tahu bagaimana memelankan suaranya atau mematikannya lantaran radio tersebut adalah tipe ‘acakadut’ – penuh tambal-sulam yang tidak jelas lagi fungsi tombol-tombolnya. Daripada waktu salatnya terlewat karena saya kelewat sibuk mencari cara bagaimana mematikannya, saya sudahi usaha melawan suara berisiknya dan mengerjakan salat hingga selesai.

Saat itu, saya sudah aktif berlatih kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud), dan karena itu familiar dengan yang namanya ‘menenangkan diri dan pikiran’. Dalam sembahyang Islam saja, menenangkan diri (tuma’ninah) menjadi prioritas, melampaui bacaan dan gerak. Saya pun menenangkan pikiran dan mulai mengerjakan salat. Di luar dugaan, salat saya khusyuk sekali, tak hirau suara radio yang bagi kebanyakan orang justru bikin risau itu. Bahkan pegawai bagian keuangan yang memasuki ruangan merasa heran, lantaran, seperti disaksikannya, saya salat dengan tenang meski radio bersuara nyaring berteriak lantang tepat di sebelah telinga kiri saya ketika saya berdiri tegak. Saya sama sekali tak terusik!

Belakangan, saya baca dalam bukunya Danai Chanchaochai, Dhamma Moments (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006), bahwa para bhiksu Buddhis yang sudah sangat terlatihsamadhi-(meditasi)-nya bahkan dapat melakukannya di tepi jalan raya yang ramai dengan lalu-lalang kendaraan dan orang, tanpa terusik sama sekali. Dalam buku tersebut dikisahkan sang penulis yang terganggu dengan pekerjaan pembangunan gedung di sebelah tempatnya berlatih meditasi. Gurunya malah menyalahkan dirinya, yang tidak mampu mendamaikan pikirannya. “Alih-alih melawan keadaan sekeliling dirimu, lebih baik kamu berdamai dengan dirimu sendiri,” ujar gurunya.

Kebanyakan kita memang lebih suka menyalahkan orang lain atau lingkungan atas derita yang kita alami. Kita terlalu hirau dengan hal-hal yang bikin risau, sementara sumber kerisauan itu adalah pikiran kita sendiri. Saat kita biarkan pikiran berkuasa, memproduksi ketakutan, kemarahan dan penolakan, saat itu pula kebahagiaan yang merupakan ‘anatomi spiritual’ kita yang sejati berhenti mengada.

Dalam Buddhisme, sebagaimana dalam ajaran-ajaran agama serta praktik-praktik spiritual lainnya, musuh terbesar adalah diri sendiri. Dalam Islam diajarkan bahwa jihad (perjuangan) terbesar dan paling utama adalah jihad melawan diri sendiri. Buddhisme mengajarkan bahwa dalam menghadapi godaan-godaan yang merisaukan hati yang berasal dari segala sesuatu selain kita bukanlah dengan melawannya atau menentangnya, melainkan dengan – meminjam istilah Ajahn Brahmavamso dalam buku Hidup Senang, Mati Tenang (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2009) – mengenalinya (acknowledge), memaafkannya (forgive) serta melepasnya (let go). Dengan melakukan semua ini, kita berdamai dengan sumber (yang kita anggap) merisaukan tadi sekaligus berdamai dengan diri sendiri.

A-F-L dapat dilakukan dengan meditasi, yang bukan sekadar duduk dalam posisi teratai atau bersimpuh sambil memejamkan mata, melainkan sejatinya samadhi, yaitu menjalani hidup secara meditatif (sadar dan menyadari), hadir atau mengada sepenuhnya saat ini. Kita berada dalam sadar sepenuhnya apabila dapat meletakkan keseluruhan diri kita dalam apa pun yang kita lakukan. Hanya dengan begitu pikiran dapat didamaikan, tidak menggebyarkan khaos yang menyirnakan kebahagiaan kita.

Ketidakbahagiaan atau penderitaan yang kita alami dalam hidup ini sejatinya bertolak dari keadaan pikiran yang sulit berdamai. Dan kebanyakan kita juga tak mau melepas, sehingga alih-alih terbebaskan (yang menjadi tujuan Buddhisme), kita membiarkan diri melekat. Sang Buddha bahkan menyatakan bahwa kebahagiaan dapat pula menimbulkan kemelekatan, apabila kebahagiaan itu dicari, diburu, atau didamba. Kebahagiaan itu, kata Beliau, datang ketika kita tak lagi hirau dia bakal datang atau tidak. Tak hirau di sini bukan berarti tak peduli atau cuek. Hanya saja, kita tak perlu menantikannya dengan perasaan risau. Berusaha sajalah dengan sabar, menerima dan rendah hati. Inilah sejatinya kondisi pikiran nol (zero mind condition), yaitu pikiran yang tak hirau dengan yang bikin risau. Namaste


Penerimaan spiritual – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Juni 2010, pukul 2.15 dinihari.

No comments: