Tuesday, June 29, 2010

Posisi Pangkal Prestasi (?)

Semasa masih sekolah, utamanya sejak di bangku sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi, sebagaimana sejumlah teman-teman saya, saya suka nyontek saat menghadapi ulangan atau ujian. Terutama pada mata-mata pelajaran/kuliah yang tergolong sulit. Berbagai macam cara saya tempuh, mulai dari membuat catatan-catatan di kertas kecil, dengan tulisan diperkecil hingga ukuran yang kalau sekarang, di mana saya sudah mengenakan kacamata minus dua, sudah sulit terbaca; sampai duduk di sebelah teman yang dianggap jago dalam pelajaran tertentu. (Hanya dalam pelajaran Bahasa Inggris saya tidak mencontek, malah sebaliknya menjadi sumber contekan.)

Apa pun caranya, yang menentukan keberhasilan misi pencontekan adalah posisi duduk. “Posisi pangkal prestasi,” demikian bunyi motto pembangkit semangat para pencontek; posisi diatur sedemikian rupa agar aksi pencontekan dapat berlangsung tanpa terlihat oleh guru atau pengawas ujian.

Pada kebanyakan umat beragama, dan bahkan para pejalan spiritual (yang selalu mengklaim telah menemukan kebenaran hakiki) tampaknya berlaku motto para pencontek tersebut. Hanya saja, mereka tampaknya tidak menyadari bahwa Sang Pengawas dapat melihat, mendengar, dan mencium ketidakberesan hidup mereka, menembus batas-batas tempat dan masa, walau disembunyikan di relung-relung batin sekalipun.

Tanggal 13 Juni 2010 lalu, saya ikut rombongan Duta Besar (Dubes) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. (Monsignor) Leopoldo Girelli, yang sedang melakukan lawatan pastoral (pastoral trip) ke gereja-gereja dan kalangan umat Katolik di Kabupaten Jayapura, Papua. Rombongan dimaksud terdiri dari delapan belas pastor dan tiga suster, sang Dubes sendiri, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura), saya dan mitra saya yang fotografer. Kami berdua ditugasi oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk meliput perjalanan sang Dubes yang kelak akan dijadikan buklet.

Kami mengunjungi Pantai Amai, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Pantai itu terkenal lantaran keindahan alamnya, ketenangannya, dan posisinya yang memungkinkan para wisatawan dapat menyaksikan matahari terbenam dengan sempurna. Saat tiba di Pantai Amai, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam menumpang perahu motor cepat dari dermaga pelabuhan rakyat di Depapre, kami menjumpai sejumlah wisatawan, domestik maupun mancanegara, sedang berenang, berjalan menyusuri bibir pantai, atau sekadar duduk-duduk di bawah homai (pondok beratap daun tanpa dinding).

Namun cuaca sedang tidak mendukung; awan mendung tiba-tiba bergulung ke arah pantai. Karena itu, Pak Dubes hanya duduk di bawah homai ditemani Uskup Jayapura dan para suster yang sibuk menghidangkan makanan dan kudapan, juga saya yang sengaja mendekat pada beliau untuk mewawancarai beliau.

Senyum senantiasa mengembang di wajah sang Dubes yang hari itu melepas ‘pakaian dinas’ kepastorannya. Saya perhatikan, bahwa sesekali beliau menundukkan kepala, berucap sesuatu secara pelan dan hening, lalu mencium salib yang tergantung pada kalung rantai yang melingkari lehernya. Begitu khidmat. Bagaimanapun, beliau tetap dapat membaur dengan suasana sekitar, di mana para pastor dan suster bergurau di antara mereka dalam suasana yang meriah. Sikap beliau mengingatkan saya pada amalan Tarekat Sufi Naqshbandiyyah yang disebut khalwat dar anjuman (menyepi dalam keramaian).

Beberapa saat kemudian, beliau beranjak ke homai di sebelah yang sebelumnya beliau berada. Di homai satunya lagi, beliau membuka-buka Alkitab, sesekali memandang ke laut, lalu berdoa, dan menggerakkan tangan dari kening ke dada kanan dan kiri. Saat itulah, saya mencuri dengar dua orang pastor dan satu suster membahas keheranan mereka atas kebisaan sang Dubes untuk berdoa demikian khidmatnya di mana saja, tak peduli tempat. Si suster kemudian berujar, “Seharusnya kan kita memang bisa berdoa di mana saja.”

Saya kaget mendengar perkataan suster itu maupun kebingungan mereka, lantaran selama ini, paling tidak, saya sendiri semadi di mana saja, karena demikian yang diajarkan Sang Buddha. Bukankah para utusan Tuhan lainnya juga demikian: Berdoa di mana saja, seiring menjalani hidup – tidak harus berhenti sejenak, mencari tempat tertentu, untuk berkhidmat kepada Sang Kuasa? Berspiritualitas juga begitu; dapat dilakukan di mana saja, tanpa batas waktu, tempat, wadah (organisasi) dan bahasa.

Kenyataannya, masih ada pejalan spiritual yang memerlukan waktu, tempat, wadah dan bahasa khusus untuk bisa berkhidmat kepada yang mereka yakini sebagai Tuhan. Di Subud saja, misalnya, masih cukup banyak anggotanya yang merasa perlu datang ke Hall (ruang besar dan cukup luas tempat Latihan Kejiwaan Subud dilakukan secara sendiri atau beramai-ramai) pada hari-hari yang telah dijadwalkan. Akibatnya, banyak dari orang-orang ini tidak merasakan manfaat yang berarti dari Latihan Kejiwaan dalam kehidupan mereka sehari-hari (di luar batas-batas tembok Hall).

Spiritualitas adalah ranah ‘tiada’ yang untuk ‘mengada’ harus dimanifestasi lewat perkataan dan perbuatan. Sejauh yang saya tahu, semua ajaran agama memanifestasi kekuasaan di balik kehidupan kita lewat berbagai praktik kehidupan yang melibatkan kesadaran tertinggi akan kehadiran Sang Kuasa. Jika kita mampu menerapkan hal itu, itulah momen di mana kita ‘mendatangkan’ Terang, yang sejatinya ada di mana saja, dan bisa dijangkau kapan pun kita mau. Kenyataan ini sesungguhnya membatalkan hukum bahwa dalam praktik keberagamaan dan spiritualitas posisi adalah pangkal prestasi.©


Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 14 Juni 2010, pukul 21.59 WIT

No comments: