Sunday, June 6, 2010

“Lepas Bajumu, Kalau Berani…!”

“Sebagai manusia kita semua ingin bahagia dan bebas dari penderitaan… kita telah belajar bahwa kunci menuju kebahagiaan adalah kedamaian batin. Halangan terbesar atas kedamaian batin adalah emosi-emosi yang mengganggu seperti kemarahan, kemelekatan, ketakutan dan kecurigaan, sementara cinta dan welas asih dan suatu rasa tanggung jawab universal merupakan sumber dari kedamaian dan kebahagiaan.”
—Dalai Lama

“Lebih baik dibenci karena sejatinya dirimu, daripada dicintai karena sesuatu yang bukan dirimu.”
—Andre Zide


Ketika saya masih aktif berlatih sistem pertarungan khas Korea, Taekwondo, menjadi pemegang sabuk hitam adalah impian terbesar saya. Saat itu, tidak terbayang oleh saya betapa besar tanggung jawab yang akan harus saya pikul dengan sabuk hitam yang melingkar di pinggang saya. Yang terbayang justru kepercayaan diri besar yang bakal saya miliki bila saya mencapai derajat itu. Terbayang oleh saya murid-murid saya akan menghormati saya dan orang-orang akan segan serta takut pada saya.

Ketika akhirnya sabuk hitam itu berhasil saya raih, memang benar kepercayaan diri saya luar biasa melambung. Pikiran saya dipenuhi imajinasi, bahwa bila bertemu orang yang mengancam saya di jalan akan saya sikat dengan tendangan-tendangan maut a la Taekwondo serta mengayunkan nunchaku (double-stick, yang saat itu memang menjadi senjata andalan saya) ke kepala mereka.

Tahun 1996, saya mengajar Taekwondo kepada para karyawan di biro iklan tempat saya bekerja. Salah satu murid saya suatu kali menceritakan pengalamannya ditodong pisau oleh seorang preman di kawasan terminal Blok M, Jakarta Selatan. Ia menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berkutik. “Kalau saya pakai dobok (pakaian latihan Taekwondo) pasti saya lawan dia,” kata murid saya itu. Di situ saya mulai merenungkan, benarkah pakaian atau atribut dapat menjamin kemenangan atau kejayaan saya di hadapan orang lain?

Kenyataannya, banyak orang memerlukan atribut untuk membuat diri mereka tampil jaya di muka umum. Mereka tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan selalu membutuhkan sesuatu yang membuat mereka merasa orang akan memandang dirinya, menghaturkan respek pada dirinya, lantaran sesuatu itu. Di kalangan remaja fenomena semacam ini biasa terjadi dan dianggap wajar. Namun, fenomena itu telah pula merambah kalangan orang dewasa. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dewasa ini dan ini memprihatinkan. Orang-orang rela berbuat apa saja asal dirinya dihormati, dihargai dan disegani.

Yang secara finansial terbatas rela berbuat apa saja, berutang sana-sini, agar dirinya bisa ‘eksis’ di mata teman-temannya atau peer group-nya. Di mata kita eksistensi dirinya seolah terwakilkan oleh atribut yang dikenakannya atau barang-barang yang dimilikinya, padahal aslinya ia tersiksa lahir-batin lantaran harus berkorban banyak untuk itu. Dan, alih-alih dihormati serta dihargai, keberadaan dirinya lama kelamaan dipandang negatif. Orang-orang semacam ini layak, sekali-kali, ditantang: “Lepas bajumu, kalau berani!”

Tanpa ‘baju’ itu dijamin, deh, mereka bukan apa-apa atau siapa-siapa. Pengalaman saya bergaul dengan orang-orang semacam itu menuturkan bahwa pada dasarnya jiwa mereka lemah, penakut, dan, yang jelas, bodoh secara intelektual.

Sejatinya kita tidak memerlukan semua yang bukan asli kita; kita tidak dilahirkan dengan baju itu dan tidak akan mengenakannya ketika napas kita berhenti berembus untuk selamanya. Dalam pandangan Buddha, hal-hal semacam ini seringnya merupakan sumber penyebab penderitaan. Baju itu, tanpa diperlakukan secara bijaksana, akan menjadi kemelekatan. Pemiliknya akan merasakan kehilangan sangat besar apabila baju itu raib. Intinya, ketidakbahagiaan menghinggapi apabila dirinya tidak dapat memiliki baju itu. Pikirannya yang berkabut kemelekatan tidak akan tenang apabila baju itu belum menempel pada dirinya.

Buddha mengajarkan bahwa kemelekatanlah yang menyebabkan penderitaan dan melepas adalah penyebab bagi kebahagiaan dan jalan menuju Pencerahan. Bagaimana dapat melepas (let go)? Buddha mengajak kita untuk bermeditasi. Meditasi itu mudah. Bagi Anda yang mengalami kesulitan bermeditasi, itu karena Anda belum belajar untuk melepas dalam meditasi. Mengapa kita begitu menggubris apa yang orang lakukan atau katakan kepada kita? Semakin kita memikirkan hal itu, semakin bodohlah kita. Jika kita melepas dengan segera, kita tidak akan pernah memikirkannya lagi.

Melepas memberi kita kebebasan untuk menjalani hidup dengan mengalir (go with the flow) dengan mudah, tak terkendala baju apa pun. Berani melepas baju itu, saya yakin, akan membuat orang lain terpana terkena pancaran keindahan sejati kita.©

No comments: