Wednesday, July 19, 2023

Jurang Pemisah Antar Generasi

DI Subud Indonesia dewasa ini muncul isu terjadinya jurang pemisah (gap) antar generasi yang sudah berlangsung cukup lama. Generasi yang lebih tua merasa prihatin dengan sikap dan perilaku Pemuda Subud (Subud Youth) yang mereka rasa kurang mewakili nilai-nilai susila, budhi, dharma. Generasi yang lebih muda, terlebih yang bergabung dengan Subud dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini, merasa bahwa mereka kurang mendapat perhatian, bahwa yang tua-tua merasa lebih hebat sehingga maunya benar sendiri, dan para pembantu pelatih senior tidak tergerak untuk melayani kebutuhan generasi muda.

Saya baru-baru ini tidak sengaja terseret dalam obrolan seorang anggota Pemuda Subud Jakarta Selatan berusia 29 tahun dengan seorang pembantu pelatih senior, seorang berkebangsaan Amerika yang tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak. Si anggota Pemuda rupanya tertarik dengan permasalahan saya, yang menurutnya menjadi solusi atas permasalahan yang sedang ia hadapi.

Ketika saya hendak bercerita, ia permisi untuk pergi dari tempat kami bertemu, karena merasa bahwa saya ingin bicara empat mata saja dengan si pembantu pelatih. Tetapi saya mempersilakan ia untuk turut mendengarkan, karena mungkin ia akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Ia berpesan agar saya tidak menceritakan masalahnya kepada orang lain di luar lingkaran obrolan kami saat itu. Saya pun berpesan hal yang sama.

Giliran ia menceritakan masalahnya, yang, demi kenyamanan kami bersama, dia lakukan ketika kami telah berada di sebuah kafe di Jl. Cipete Raya, bernama Teh Tarik Aceh, sekitar 2 km dari Wisma Subud Cilandak, saya sempat membatin, “Wah, soal sepele begitu kok menjadi masalah berat bagi dia?”

Tetapi saya segera disentil oleh diri saya sendiri: “Ingatkah kamu ketika kamu berusia 29 tahun? Bukankah kamu saat itu langganan klinik psikiatri?”

Saya tersentak dengan kenangan yang disodorkan oleh jiwa saya itu. Benar, pada tiga bulan pertama tahun 1997 saya dirujuk oleh perusahaan tempat saya bekerja ke psikiater karena saya dipandang menderita depresi berat. Penyebabnya adalah konflik keluarga, antara saya dengan kakak perempuan saya, yang melibatkan berbagai pihak yang mendukung kakak saya dan menekan saya. Pada saat itu, kedua orang tua saya baru meninggal dan saya belum masuk Subud. Anda bisa bayangkan betapa kesepian dan sengsaranya saya.

Dari kacamata saya saat ini, situasi yang menyakiti saya secara psikologis kala itu sebenarnya bisa saya atasi dengan baik, tanpa saya harus menderita depresi dan menjadi pasien klinik psikiatri. Dari kacamata saat ini ya. Tetapi, dari versi diri saya di usia 29 tahun, masalah itu justru terasa amat ekstrem, yang tidak mampu saya hadapi sendiri. Di usia itu saya sudah harus mengonsumsi obat penenang yang diresepkan sang psikiater, yang hanya memberi ketenangan selama 12 jam saja.

Ketika mendapat sentilan dari jiwa saya itu, saya lantas memahami mengapa ada jurang yang cukup lebar di Subud Indonesia, dan di negara-negara lainnya, antara generasi tua dan yang lebih muda. Generasi yang lebih tua, menurut saya, seharusnya menaruh kaki mereka di sepatu anggota Pemuda, menjiwai kehidupan anak muda terutama di era yang penuh tekanan ini.

Menasihati mereka agar Latihan dengan rajin tidaklah cukup; Anda harus benar-benar hadir dalam kehidupan mereka, memandang kehidupan sebagaimana mereka melihatnya melalui mata mereka, dengan tulus mendampingi mereka melalui saat-saat kelam, mendengarkan keluh-kesah maupun harapan-harapan mereka. Beri mereka cinta yang membangunkan kedekatan atau persahabatan.

Pendek kata, jangan merasa, karena lebih tua, lantas Anda selalu benar dan menganggap persoalan Pemuda adalah sesuatu yang sepele saja.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 Juli 2023

No comments: