DALAM dua minggu ini, entah mengapa, saya “terpaksa” harus mendengarkan keluh-kesah dari para orang tua yang menginginkan anak-anak mereka, yang telah cukup usianya, untuk masuk Subud.
Sekali waktu, seorang anggota dari cabang lain datang bersama istrinya ke Wisma Barata Pamulang untuk memenuhi jadwal Latihan bersama hari Rabu malam. Kepada saya, si anggota bercerita tentang anaknya yang bermasalah, dan untuk mengatasi masalah itu, ibu si anak, yaitu istri si anggota yang juga anggota Subud, memaksa anaknya untuk masuk Subud, dengan rayuan bahwa masa depan si anak akan lebih baik. Suaminya sendiri tidak menghendaki bila anak mereka masuk Subud karena dipaksa kedua orang tuanya.
Si suami pun meminta pendapat saya. Saya katakan padanya bahwa sebaiknya anaknya jangan dipaksa masuk Subud dan supaya dia menasihati istrinya agar jangan memaksa anak mereka. Masuk Subud itu panggilan jiwa, bukan karena propaganda atau iklan, dan tidak bisa diperlakukan seolah Subud itu produk komersial yang memiliki dampak yang sama bagi semua konsumennya.
“Jadi, menurut Mas Arifin, apa yang seharusnya saya dan nyonya lakukan?” tanya si suami.
Saya sampaikan bahwa yang bisa dia lakukan adalah tetap Latihan, tetap berusaha meluruskan jalan anaknya agar terhindar dari masalah yang lebih parah, serta memohon bimbingan Tuhan. Ada satu yang kurang dalam penjelasan saya, tetapi pada saat itu saya tidak tahu apa yang kurang itu.
Ketika berkata begitu, saya tiba-tiba teringat pada satu keponakan saya yang saat ini tinggal bersama saya di rumah saya di Pondok Cabe. Keponakan ini memiliki gaya hidup dan pola pikir yang, tak dia sadari, sebenarnya merugikan dirinya. Sebagai anak dari keluarga yang berantakan (ayah-ibunya bercerai), keponakan saya itu dibesarkan oleh kedua orang tuanya secara material belaka, tanpa dilengkapi dengan tuntunan mental spiritual maupun intelektual yang memadai. Dia malas, mau enaknya saja, terlalu tergantung pada gawai (dia lebih banyak menghabiskan waktu setiap hari dengan memelototi ponselnya, main game), kurang bertanggung jawab, yang tentunya amat merugikan kami sebagai pemilik rumah dimana ia turut menghuninya.
Tugas yang tidak ringan dibebankan ke saya dan istri ketika keponakan itu memutuskan untuk ikut kami. Saya dan istri menuntut agar dia berubah sikap dan perilakunya, agar tidak merepotkan kami dan juga agar dia memiliki masa depan yang cerah. Tetapi, bukan hal mudah untuk mengubah pola pikir seseorang yang sudah terbentuk sedemikian rupa sejak ia kecil. Saya terus bertanya-tanya, bagaimana saya dapat membantu keponakan ini mengubah pola pikir dan gaya hidupnya. Dan jawaban mengenai pertanyaan saya itu bisa pula menjadi jalan keluar bagi si anggota yang menanyakan pendapat saya perihal pola asuh anaknya.
Obrolan saya dengan anggota itu terputus karena kami dan para anggota yang sudah hadir di Wisma Barata Pamulang lainnya dipanggil untuk Latihan bersama di Rumah Besar (kediaman Bapak Subuh di Pamulang). Karena itu hari Rabu, maka adalah giliran anggota pria yang Latihan di Rumah Besar. Saya memfavoriti posisi di ruang depan tengah, tepat di bawah mezanin dimana kamar tidur dan ruang kerja Bapak berada. Entah mengapa, Latihan saya di situ selalu kuat namun selalu dalam gerak dan suara yang harmonis bagaikan orkestra musik Jawa yang meruyak ke tengah lembah yang sejuk.
Ketika Latihan, saya menerima jelas dan jernih sekali “ucapan” Bapak, sebuah nasihat terkait bagaimana kita bisa mengubah pola pikir dan gaya hidup seseorang. “Bicaralah dengan jiwanya!” Pembicaraan dari jiwa ke jiwa. Barulah saya di situ saya tersadar tentang kekurangan dalam penjelasan saya kepada si anggota yang anaknya bermasalah.
Sayang sekali si anggota dan istrinya sudah pulang ketika saya keluar dari Rumah Besar.
Maksud saya, saya mau menyampaikan penerimaan saya tadi: Bicara dengan jiwa.
Ah, tidak apalah, saya pikir. Mungkin memang belum waktunya. Dan hanya itu yang
dapat saya sampaikan dalam tulisan ini; jiwa saya mencegah saya memaparkan
pengalaman praktisnya.©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 20 Juli 2023
No comments:
Post a Comment