“Jangan biarkan egomu terlalu dekat dengan posisimu, sehingga jika posisimu dijatuhkan, egomu tidak ikut-ikutan.”
~Colin Powell
BARU-baru ini, satu yunior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra/FS (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia (UI) mengirimkan via WhatsApp screenshot postingan dan komentar-komentar atasnya di sebuah grup Facebook, yang mengolok-olok para alumni Universitas Indonesia terkait suatu kasus plagiasi atau peniruan karya orang lain tanpa izinnya. Almamater kami diserang habis-habisan oleh sejumlah orang yang bukan alumni UI.
“Sudah tidak terkontrol,” tulis yunior saya di pesan WhatsApp-nya, mengiringi screenshot tersebut.
“Ngotori diri aja mbaca yang gitu-gitu,” jawab saya. “Nggak usah tersinggung kalau almamater kita dijelek-jelekin. Almamater, pekerjaan, profesi, komunitas, gelar, pangkat, keahlian, dan lain-lain, di Titik Nol sudah nggak bersisa.”
Kita ini kan bukan pekerjaan kita, bukan gelar sarjana yang kita sandang, bukan pangkat yang terpasang di kedua bahu kita, bukan profesi kita. Semua itu bukan identitas kita, bukan jati diri kita. Semua itu didapat ketika kita terlahir di dunia, tumbuh dewasa dan memerlukan semua itu untuk hal-hal yang sejatinya hanya kita lakukan tidak sepenuh waktu kita.
Sejak kecil, kita sering dibingkai untuk menjalani kehidupan dengan sasaran-sasaran tertentu pada setiap periode, mulai dari taman kanak-kanak, pendidikan dasar dan menengah, perguruan tinggi, lulus lalu bekerja, menikah, punya anak, membangun keluarga, membangun karir, lalu pensiun dan menanti tiba waktunya untuk “pulang”.
Karena budaya sudah sedemikian rupa menanamkan sasaran-sasaran seperti itu, akhirnya kita menjadi melekat pada atribut-atribut “luar diri” itu. Melekatnya demikian ketat, bahkan berjumbuh dengan diri kita, larut dalam kepribadian kita, membuat kita tersakiti bila atribut-atribut itu dilecehkan orang lain.
Tidak ada yang salah dengan melekatkan dengan erat diri kita dengan apa pun yang berada di luar diri. Tetapi, kalau kita biarkan, hal itu dapat membuat kita mengalami kondisi “keterikatan”, yang memburamkan batas antara kepribadian kita dan unsur-unsur dari luar itu. Ketika unsur-unsur luar yang melekat pada diri kita itu dianggap buruk atau direndahkan, ada potensi kita mengalami tekanan atau stres karena merasa makna atau nilai diri kita diinjak-injak atau hilang.
Kecenderungan yang sudah sangat umum inilah yang menjelaskan mengapa banyak orang ketika mereka pensiun akan mengalami depresi. Hal itu disebabkan karena kebanyak orang sudah kelewat lama melekat (attached) pada pekerjaan atau jabatan mereka, yang membuat mereka tidak punya kehidupan lain atau keterampilan lain di luar dunia pekerjaannya.
Bagaimana mengatasi kemelekatan tersebut? Kalau saya pribadi, saya kikis habis dengan keinsafan bahwa saya bukanlah pekerjaan, profesi, almamater, gelar sarjana, dan lain-lain yang sejatinya bukan bagian dari kepribadian saya. Dengan keinsafan ini juga saya jadi mampu melakukan banyak hal yang melampaui batas-batas yang sebelumnya saya persepsikan saya memilikinya—padahal tidak.©2023
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 11 Mei 2023
No comments:
Post a Comment