Saturday, February 26, 2022

Dipercaya Bisa

SAYA merasa aneh tiap kali membaca artikel di media massa yang mengetengahkan obat tradisional atau jamu atau makanan/minuman tertentu yang berfungsi sebagai suplemen. Pasalnya, penulis artikel selalu menyisipkan kalimat “dipercaya bisa” terkait khasiat obat tradisional atau jamu tersebut. Seolah tidak berani memastikan bahwa obat tradisional tersebut memang berefek baik bagi kesehatan atau penyembuhan sakit.

Contohnya, seperti baru-baru ini saya googling tentang khasiat Qust Al Hindi, yang terdapat di antara sejumlah suplemen kesehatan bantuan sebuah organisasi massa, yang saya terima tatkala istri saya dinyatakan positif Covid-19 tahun 2021 lalu. Beberapa artikel yang mengulas tentang Qust Al Hindi, semuanya menyatakan “dipercaya bisa menyembuhkan pasien Covid-19”. Jangankan obat tradisional, obat medis kimiawi saja belum ada yang bisa dianggap sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang ditimbulkan SARS-CoV-2.

Berbeda dengan tulisan yang mengangkat tema obat kimia yang digunakan dalam kedokteran modern. Dengan adanya rekomendasi dokter atau lembaga medis, penulis tidak mencantumkan “dipercaya bisa”, seakan obat kimia memang dijamin bisa menyembuhkan.

Percaya adalah suatu sikap yang berdampak baik maupun buruk bagi kita. Sekalinya kita percaya sesuatu itu baik maka dampaknya akan baik. Sebaliknya, jika percaya sesuatu itu buruk maka akan berakibat buruk.

Kepercayaan (bahasa Inggris: belief) adalah suatu sikap yang kita tunjukkan saat kita merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa diri kita telah mencapai kebenaran. Karena kepercayaan merupakan suatu sikap, maka kepercayaan kita tidak selalu benar atau kepercayaan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa, manusia pernah mempercayai bahwa bumi merupakan pusat tata surya, namun belakangan disadari bahwa kepercayaan itu keliru.

Sikap percaya dibangun oleh informasi yang bertubi-tubi disampaikan ke kita. Pikiran kita sedemikian rupa sehingga mudah mempercayai kebenaran sesuatu yang informasi mengenainya dikomunikasikan begitu gencar dan berulang-ulang. Itulah yang disebut meme (dibaca: mim). Menurut teori memetika, sebuah gagasan yang tidak benar bisa saja diyakini sebagai kebenaran mutlak bila banyak orang yang mempercayainya dan dikomunikasikan berulang-ulang selama periode waktu yang panjang.

Dalam kejiwaan, pikiran tidak menjadi acuan utama untuk percaya. Rasalah yang utama. Saya mengalaminya sendiri, betapa bergantung sepenuhnya pada pikiran malah memberi saya celaka. Kecuali pikiran yang memang terbimbing oleh jiwa. Pikiran selalu mengganggu kemurnian rasa dengan penilaian-penilaian (judgment) yang belum tentu benar, sedangkan rasa yang murni selalu benar. Jadi, berpikirlah tapi biarkan jiwa yang memimpin.

Kebenaran melalui rasa seringnya memang tidak bisa disampaikan, apalagi dipublikkan. Sifatnya esoteris (berasal dari kata Yunani kuno esōterikós yang berarti suatu hal yang diajarkan atau dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu dan khusus, dapat juga berarti suatu hal yang susah untuk dipahami). Seorang saudara Subud bercerita ke saya, bahwa para helper usia lanjut di cabang asalnya tidak ada yang percaya bahwa Covid-19 itu benar-benar ada. Mereka, karena itu, juga menghindari media massa dan sosial yang membombardir publik dengan aneka informasi seputar Covid-19.

Selain karena alasan gagap teknologi sehingga mereka tidak dapat mengakses media sosial, juga karena menyadari betapa pikiran mudah terpengaruh oleh informasi apa pun, yang belum tentu benar, yang dapat membuat seseorang benar-benar terkena penyakit yang tengah digaungkan. Dan nyatanya, para helper sepuh tersebut tidak ada yang pernah menderita Covid-19.

Yang (tidak) dipercaya oleh para helper usia lanjut tersebut bersifat esoteris, yaitu hanya terbatas di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan karena toh sulit dipahami oleh masyarakat umum—yang telanjur terlena oleh bombardir informasi mengenai Covid-19. Satu-satunya cara untuk memahami tindakan mereka atau apa yang mereka percayai atau tidak percayai adalah dengan berada pada frekuensi yang sama dengan mereka, yaitu menyambungkan rasa kita dengan rasa mereka. Karena rasa tidak dipercaya bisa, melainkan bisa dipercaya.
©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Februari 2022 

No comments: