“Yang sekonyong-konyong
itulah yang dari jiwa.”
—Muhammad Subuh
AWAL Desember 2009, saya dan satu saudara Subud saya yang berprofesi fotografer berangkat ke Papua atas undangan Bupati Jayapura saat itu, Habel Melkias Suwae. Kami diajak Pak Bupati dalam kunjungan beliau ke distrik paling terpencil di wilayah yang beliau pimpin, yang untuk mencapainya kami harus menumpang perahu kayu bermotor tempel menyusuri daerah aliran sungai (DAS) Nawa, salah satu aliran dari Sungai Mamberamo, sungai terpanjang di Papua (670 km). Perjalanan itu memakan waktu sembilan jam melalui kawasan hutan hujan Mamberamo.
Dalam rombongan terdapat sejumlah anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia (Brimob Polri), yang bersenjata senapan serbu namun berpakaian sipil. Di antaranya ada Pak Yulius, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) berpangkat sersan mayor, yang menjadi penunjuk jalan. Berpostur kecil, berewokan, bermata nyalang, Sersan Yulius selalu tampak memanggul atau siaga menghunus senapan serbu M-16.
Rekan saya ingin sekali dapat memotret rusa bertanduk cabang enam yang kabarnya masih ada di kawasan hutan itu, meskipun langka. Pak Yulius bilang, jumlahnya masih cukup banyak tapi rusa-rusa itu malu memperlihatkan wajah mereka di hadapan manusia.
Sehari sesudah kami tiba di salah satu kampung di Distrik Airu yang terpencil, pagi-pagi saya dan rekan saya ikut di satu perahu berisi anggota TNI AD dan Brimob, termasuk Pak Yulius, mencari keberadaan hewan-hewan langka yang di Jakarta sebagian dapat dijumpai hanya di kebun binatang.
Menurut Pak Yulius, di kawasan itu juga terdapat gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tidak menyukai orang-orang dari Jakarta, sehingga perjalanan kami kemarin dan hari ini ketika hunting foto hewan langka harus dikawal TNI dan Polri.
Menjelang siang, rombongan satu perahu itu kembali ke kampung yang menjadi base camp kami selama di Distrik Airu. Dalam perjalanan kembali ke kampung itu, Pak Yulius tiba-tiba berteriak, “Itu! Itu! Rusa tanduk cabang enam!”
Atas permintaan rekan saya, pengemudi perahu membalikkan arah perahu, kembali ke titik di mana Pak Yulius melihat rusa bertanduk cabang enam. Namun, tanpa sepengetahuan saya dan rekan saya, saat rekan saya membidikkan lensa kameranya, rupanya Pak Yulius juga membidikkan M-16-nya. Rekan saya kalah cepat; sebelum ia sempat memotret si rusa, Sersan Mayor Yulius telah keburu menembak si rusa. Dengan tenang ia melompat ke pinggir sungai, berjalan dengan gagah laksana pejuang yang telah berhasil membunuh musuhnya, memenggal kepala si rusa dan membawa badannya saja untuk ia masak dagingnya. Dengan gaya yang menyebalkan ia bahkan menawarkan kepala rusa kepada rekan saya, seandainya rekan saya masih mau memotret tanduknya.
“Dasar tentara, nggak bisa ya kalau nggak nembak?!” gerutu rekan saya, amat menyesali penembakan rusa tersebut. Orang seperti Sersan Yulius itu bertindak atas dasar mekanikal; terbiasa karena dilatih melalui praktik dalam waktu yang lama sehingga menjadi spontan. Dia adalah orang yang mekanikal, yang pikiran dan perasaannya, perkataannya dan perbuatannya digerakkan oleh aturan-aturan artifisial, bukan alami. Orang-orang yang mekanikal bertindak tanpa disertai kesadaran atau keinsafan, saking “sudah biasa”-nya.
Kata “mekanikal”
berasal dari bahasa Inggris “mechanical”
yang berarti sifat atau tindakan yang tidak dilakukan tanpa berpikir panjang, namun
polanya sama atau tetap. Seperti petugas yang bertahun-tahun kerjanya hanya memberi
stempel pada dokumen, dia melakukannya dengan pola yang sama, seolah gerakannya
telah menjadi bagian yang terpadu dari dirinya.
Dapat melihat atau menyaksikan perbuatan atau perkataan tidak menjamin
seseorang benar-benar menyadari apa yang ia perbuat atau katakan. Tidak ada
perhatian (mindfulness) atau upaya
me-niteni diri ketika berbuat atau
berkata, yang sebaliknya menjadikan perbuatan dan perkataannya terasa hidup.
Hidup tanpa kesadaran sama sekali bukan hidup.
Seorang yang tidak mekanikal adalah dia yang pikiran dan perasaannya, perkataan
dan perbuatannya senantiasa berasal dari bimbingan kekuasaan Tuhan. Makanya
dalam Latihan Kejiwaan, tidak ada anggota Subud yang bergerak dan/atau bersuara
yang sama polanya terus-menerus dalam jangka waktu lama (bertahun-tahun). Bila
sama polanya terus-terusan tiap kali si anggota Latihan, bisa dipastikan dia
melakukannya karena nafsunya untuk menghibur dirinya, karena penerimaan gerak
dan/atau suaranya terasa enak.
Bapak Subuh pernah menyatakan dalam salah satu ceramah beliau tentang “Latihan
yang sudah usang”, yaitu Latihan yang diulang-ulang oleh pelakunya karena
merasa penerimaannya “bagus” atau enak. Seorang anggota, yang saya kenal sejak
2016, melakukan Latihan dengan gerak dan suara yang sama persis, sejak saya
mengenalnya hingga hari ini. Seorang pembantu pelatih berkomentar tentang si
anggota, “Dia sedang menghibur dirinya.”
Dengan begitu, si anggota menerima Latihan yang mekanikal, dengan pola yang
tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, bukan sekonyong-konyong atau
spontan dengan pola yang berubah-ubah. Itu yang harus dihindari, karena bila
tidak, jiwa kita takkan pernah bisa hidup, meski berlatih kejiwaan
bertahun-tahun.©2021
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Juli 2021
No comments:
Post a Comment