Thursday, July 22, 2021

Berfokus Pada Apa yang Kita Inginkan

DARI awal tahun 2020 lalu, saya menerima dalam Latihan Kejiwaan saya bahwa saya tidak usah mempercayai Coronavirus Disease (CoviD). Itu untuk kepentingan saya sendiri, kesehatan mental saya, bukan untuk saya sebarkan ke publik agar mengikuti saya.

Semua berita dan informasi berkenaan dengan CoviD saya berangus dari semua platform media sosial dan dari pikiran saya. Sebab saya menyadari bahaya dari terus-menerus membiarkan diri terpapar pada hal-hal yang sengaja maupun tidak sengaja dibuat menakutkan. Saya belajar dari para dokter yang mempraktikkan hipnoterapi pada pasien mereka (salah satunya adalah saya, untuk mengatasi fobia) bahwa ketakutan dan kepanikan eksesif dapat mengacaukan daya tahan tubuh hingga memunculkan penyakit-penyakit yang fatal.

Dari belasan tahun mempelajari memetika dan hukum daya tarik (law of attraction), saya menemukan bahwa apa yang kita fokuskan itulah yang akan bertambah. Bila kita fokus pada ketakutan atau percaya pada suatu hal yang buruk, maka akan bertambah menakutkan hingga ke level yang mematikan.

Tanggal 17 Juli lalu, satu saudara Subud di luar negeri yang berprofesi medis juga menyarankan ke saya, melalui grup WhatsApp dari Asosiasi Kesehatan Internasional Subud atau Subud International Health Association (SIHA) sebagai berikut: “Daripada terus mengonsumsi gambar dan/atau cerita yang distopis atau negatif, mari kita fokus pada dunia yang kita inginkan. Serapkan diri dan investasikan waktu lebih banyak dalam seni dan pemikiran yang berfokus pada solusi dan langkah apa yang perlu kita ambil untuk pulih dan berkembang.”

Dan kemudian, saya menemukan ceramah Bapak Subuh yang semakin mengonfirmasi penerimaan saya, sebagai berikut:

“Bapak dengar, banyak di antara para saudara yang mengeluh karena sakit: ada sakit ini, ada sakit itu. Malah ada yang mengatakan sakit jantung, sakit ini, sakit itu. Walaupun itu sakit yang sebenarnya sakit, janganlah saudara rasakan, pikirkan penyakit itu. Kalau penyakit itu saudara pikirkan malahan penyakit itu menjadi-jadi. Karena semuanya itu dapat sirna, lenyap, karena kebersihan, kesucian hati saudara dan kepercayaan saudara yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sekarang, saudara sekalian, dapat dikatakan orang, biasanya, mungkin kalau dokter itu banyak, mungkin penyakit kurang, karena setiap orang kena penyakit, dokter datang menolong. Justru malah sebaliknya, dokternya tambah banyak, penyakitnya tambah banyak. Dulu, ketika Bapak masih kecil – ya, mungkin belum, dapat dikatakan, belum ada patokan atau formule-formule yang ditemukan – tidak ada penyakit yang semacam sekarang ini, beribu-ribu macam penyakit, dan dokter tambah pula. Jadi, banyak dokter banyak penyakit. Tapi Bapak bukan menyalahkan, nanti jangan dikira yang mendatangkan penyakit itu dokter. Tidak. Tapi memang demikian.

Kalau saudara pernah menanyakan orang-orang yang umurnya panjang-panjang itu seperti di daerah, di atas Turki, Kaukasus, ada orang yang umurnya seratus empat puluh tahun, ada orang yang umurnya seratus tiga puluh lima tahun. Ditanya saudara. “Pak, orang tua, ouwe heer: ouwe heer bisa sampai umur begitu panjang itu obatnya apa, medicijn?”

“Oh, tidak ada.”

“Apa? Kok tidak ada, bisa lama umurnya?”

“Obatnya tenteram, ayem, tidak banyak yang saya perhatikan. Hanya apa yang saya kerjakan saja, dan bakti kepada Tuhan.”

Ini di mana-mana, saudara, di Indonesia ada. Baru saja ini, ada kabar di Bogor, ada orang umurnya seratus dua puluh tiga tahun. Anaknya tujuh puluh lima, kawin empat belas kali, istri yang pertama sudah meninggal, ganti meninggal lagi, ganti meninggal lagi… umurnya terlalu panjang, seratus dua puluh tiga tahun. Ditanyakan apa obatnya, apa medicijn-nya bisa begitu panjang umurnya? “Tidak ada, selain aku percaya pada Tuhan dan tenteram.” Begitu saudara.

Sedangkan orang yang banyak pikirannya, baru-baru ini Bapak juga melihat, mendengar kabar-kabar dari Indonesia banyak orang yang plotseling dood geworden (mendadak meninggal—Red.). Baru bicara, mati. Kembali rapat, mati. Ke belakang, mati. Tidur, terus mati, bagaimana itu? Dokter sampai susah bolehnya cari apa sebab-sebabnya itu.

Karena itu, saudara sekalian, jangan takutlah kepada penyakit, serahkan kepada Tuhan. Karena walaupun saudara pikirkan dalam-dalam penyakit itu, walaupun saudara khawatirkan dalam-dalam penyakit itu, kalau belum waktunya, waktunya melemahkan, mengurangi kekuatan saudara atau mengakhiri hidup saudara, tidak akan menjadikan sebab apa. Inipun telah Bapak alami, saudara. Pernah Bapak alami. Dan juga dialami oleh saudara-saudara lain-lainnya. Karena itu maka Bapak dapat beritahukan kepada sekalian para saudara karena ada kecenderungannya, ada kecocokannya dengan apa-apa yang telah diterima oleh para saudara.”  (Den Haag, Belanda, 9 Agustus 1970 – 70 HAG 3)

Harian Kompas hari ini, 22 Juli 2021, pun menyuarakan apa yang saya terima dalam Latihan Kejiwaan saya awal tahun 2020 lalu. Puji Tuhan.
©2021

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 Juli 2021 





No comments: