Wednesday, November 21, 2018

Ketika Tidak Mempercayai Tuhan



PADA suatu ketika, belasan tahun yang lalu, saya berhenti percaya pada eksistensi suatu Tuhan. Saat itu pula, saya berhenti beragama. Saya benar-benar memutuskan hubungan dengan apa pun yang umumnya dipercaya sebagai Tuhan. Hal itu ketika saya belum menemukan Latihan Kejiwaan. Dasarnya adalah kekecewaan saya terhadap Tuhan, karena apa pun yang saya minta melalui doa kepadaNya tidak dikabulkanNya.

Tetapi, dalam proses yang saya lalui setelah saya dibuka di SUBUD, saya juga pernah berhenti percaya pada Tuhan. Kejadiannya antara tahun 2009 dan 2011, dan saat itu saya tengah menjalankan tugas sebagai Wakil Sekretaris Nasional dalam Pengurus Nasional Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Indonesia. Jadi, hal itu di mata para anggota SUBUD menjadi suatu ironi, sehingga saya pun di-bully. Ada yang melontarkan sinisme langsung ke saya: “Pengurus perkumpulan yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa kok tidak percaya Tuhan?”

Saya, tentu saja, mengabaikan kritik dan cercaan tersebut. Percuma saya memberikan keterangan apa pun, karena toh mereka tidak mengalami apa yang sedang saya lalui. Hal itu bahkan membuat saya sendiri syok. Saya tekun melakukan Latihan Kejiwaan dua-tiga kali seminggu, sedangkan Latihan Kejiwaan dikatakan Bapak Subuh sebagai “kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa”, tetapi pada saat yang sama saya tidak percaya pada Tuhan.

Bedanya dengan yang sebelum masuk SUBUD—di mana saya menjadi ateis karena kecewa pada Tuhan, ketika sudah menerima Latihan Kejiwaan ketidakpercayaan saya pada eksistensi Tuhan merupakan suatu proses pembersihan dari Tuhan yang terbentuk di pikiran saya oleh ajaran-ajaran lama (dari orang tua, guru agama, dan ustad). Seorang saudara SUBUD yang mempelajari memetika, menyebut keilahian hasil pengajaran turun-temurun itu sebagai “Tuhan meme*”, sedangkan yang dialami dalam Latihan Kejiwaan adalah suatu eksistensi gaib, “Tuhan yang bukan meme”, sehingga setiap pelatih (orang yang melakukan Latihan) kejiwaan mendapatkan pengalaman ketuhanan langsung yang berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Tidak ada pemahaman yang sama mengenai Tuhan dan ketuhanan di dalam SUBUD; tiap orang mempercayaiNya sebagaimana yang dia terima dalam Latihan Kejiwaan dan dalam praktik kehidupan sehari-harinya dengan tuntunan Latihan Kejiwaan.

Nah, saya saat itu dibersihkan dari segala sesuatu yang saya ketahui tentang Tuhan hasil dari pelajaran orang lain ke saya. Sebagai pelatih kejiwaan, seharusnya saya mempercayai eksistensi Tuhan berdasarkan pengalaman saya sendiri, karena kepercayaan berdasarkan teori (bukan pengalaman sendiri) hanya akan menghambat keterhubungan saya dengan kekuasaan Tuhan atau zat yang maha kuasa yang meliputi diri dan hidup saya, lahir dan batin. Dalam keadaan tidak percaya Tuhan meme, justru energi Latihan Kejiwaan saya kian kuat, kencang, merasuk diri, dan bimbinganNya pun terasa jernih dan jelas.

Di saat Musyawarah Nasional PPK SUBUD Indonesia di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 5-7 Maret 2010, saya sempat menceritakan yang saya alami pada seorang saudara SUBUD dari Cabang Yogyakarta, yang rupanya mengalami hal serupa pada saat itu. Dia membenarkan bahwa Latihan Kejiwaannya menjadi lebih kuat, lebih dahsyat efeknya, ketika dia tidak mempercayai Tuhan. Kami berdua saat itu tidak memahaminya mengapa bisa begitu.

Ajaran agama tumpat dengan meme tentang Tuhan, lengkap dengan sifat-sifatNya—yang sebanyak yang dapat terpikirkan oleh manusia. Tuhan yang saya alami bersifat tak terbatas, tetapi pikiran kita mengenai Dia membuat Tuhan amat terbatas. Dia ada di sisi yang baik maupun yang buruk; terserah Dia, sedangkan kita hanya bisa berserah diri kepada kehendakNya. Tanpa penyerahan diri, kita malah akan tersesat oleh pengertian-pengertian kita yang amat terbatas. Seperti teman saya, yang suatu ketika datang ke rumah saya untuk mengungkapkan kebingungannya terhadap satu ayat dalam Al Qur’an, yang menyatakan bahwa bila Tuhan menghendaki kita untuk mendapat petunjuk, tetapi juga bisa Dia menyesatkan kita. “Kalau Mas jadi saya, apa yang akan Mas lakukan?” tanya teman saya itu ke saya.

Gue akan berserah diri kepada Tuhan dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Emangnya siapa gue, kok berani-beraninya ngatur-ngatur apa yang Tuhan boleh dan nggak boleh lakukan?” jawab saya dengan santai tetapi pasti.

Pengalaman hidup saya sejak menerima Latihan Kejiwaan menunjukkan bahwa manusia hanya bisa mengikuti bimbingan Tuhan dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Berbeda dengan agama yang berteori bahwa bila kita berbuat baik, maka Tuhan akan membalas kita dengan kebaikan (sering diterjemahkan sebagai rezeki harta yang berlimpah atau kesehatan yang sempurna), ajaran hidup dengan bimbinganNya, sebagai “produk” dari penyerahan diri kita membuat saya menyaksikan bahwa kita tidak bisa menyogok Tuhan lewat perbuatan baik. Bila mau berbuat baik, berbuat baiklah dengan bimbinganNya, bukan dengan nafsu dan kehendak akal pikir kita.

Tuhan itu spirit gaib yang tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat disaksikan oleh panca indera; adalah mustahil mendekati Tuhan dengan daya benda (akal pikir). Kosong adalah satu-satunya jalan untuk tersentuh oleh kekuasaan Tuhan. Dan kosong hanya dapat dicapai apabila saya berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas.©2018


*) Meme (dibaca “mim”) adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya.


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 21 November 2018

No comments: