“Meniru adalah keliru.”
—Moehammad Soeboeh
Soemohadiwidjojo
SUATU ketika, seorang kawan datang
mengunjungi saya di kantor tempat saya bekerja sebagai pengarah kreatif, sebuah
perusahaan komunikasi pemasaran dan korporat terpadu di kawasan Pancoran,
Jakarta Selatan. Sambil mengobrol di ruang kerja saya, ia membolak-balik buku
saku mengenai strategi ancangan (positioning)
karya seorang pakar pemasaran terkemuka Indonesia. Ia memuji buku itu sebagai
sebuah acuan pemasaran yang hebat. Tetapi saya berkomentar, “Pak, itu buku
sejarah, bukan buku strategi pemasaran. Strateginya sudah usang. Nggak ada strategi, sehebat apa pun,
yang bisa diterapkan pada dua merek yang berbeda dalam kategori produk yang
sama, sama halnya tidak ada obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Saya
sebut itu ‘buku
sejarah’ karena
masa pakai strateginya sudah lewat dan hanya jitu ketika dipakai untuk satu
merek tertentu yang dibahas dalam buku itu.”
Kawan saya yang usianya lebih
senior daripada saya, penyandang gelar magister dalam bidang manajemen bisnis
dari sebuah universitas negeri terkemuka di Amerika Serikat, itu mengangguk-angguk
membenarkan pendapat saya. “Betul, nggak
ada satu obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit!” tandasnya
mengafirmasi komentar saya.
Dalam 20 tahun karir saya di
bidang pengembangan merek (branding),
tidak ada satu pun klien saya yang saya tangani pengembangan mereknya dengan
cara atau strategi yang sama dengan klien yang lain walaupun produk yang mereka
miliki sama. Saya pernah tiga kali menangani produk rokok dari tiga klien yang
berbeda, dua kali produk kendaraan roda empat, dua kali produk semen, empat
kali perusahaan minyak dan gas, dan belasan kali produk makanan. Tidak ada satu
pun yang saya kembangkan mereknya dengan memakai strategi yang sama. Penyamaan
strategi malah akan menghancurkan semuanya, karena masing-masing memiliki
sifat, lingkungan, dan nilai yang berbeda.
Ketika saya mulai menapakkan kaki
di jalan spiritual, kepada saya disampaikan bahwa di jalan spiritual tertentu
itu tidak ada orang yang sama dalam hal penerimaan (receiving), pengalaman maupun pemahamannya terhadap sesuatu.
Semakin jauh saya melangkah semakin saya memahami, bahwa bukan hanya khusus di
jalan spiritual itu saja, melainkan di semua aspek kehidupan kita tidak ada
yang sama dan tidak pula bisa diberlakukan penanganan atau pengobatan dengan
cara yang sama. Penyeragaman malah menyalahi kodrat. Satu hal yang sama pada
diri manusia adalah bahwa semuanya berbeda!
Yang berhasil pada satu orang
belum tentu akan memberi hasil yang sama pada orang lain. Beberapa selebriti
baru-baru ini mengumumkan ke publik mengenai keberhasilan dietnya, yang kontan
saja ditiru para penggemarnya yang memang sedang ingin menurunkan berat
badannya. Cara para selebriti itu melangsingkan tubuh mereka pun ditiru
habis-habisan oleh para penggemar. Mereka lupa bahwa setiap karakteristik tubuh
dan metabolismenya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain.
Intinya, tidak ada yang mutlak
bisa dijadikan patokan. Rekan kerja saya dahulu di Surabaya, seorang wanita
paruh baya yang berbadan kurus seperti batang korek api, kerap meledek saya
yang berbadan besar dan gemuk. Ia bilang agar saya berhati-hati karena
kegemukan berisiko kolesterol tinggi. Saya cuma tertawa menanggapinya. Saya
tahu risiko dari kegemukan dan karena itu saya berusaha menjaga agar berat
badan saya tidak melampaui batas normal. Ini adalah keuntungan dari berbadan
gemuk—kita jadi lebih waspada terhadap apa yang kita makan dan besaran
porsinya, berbeda dengan orang yang berbadan kurus yang cenderung mengabaikan.
Buktinya, tidak lama setelah ia meledek saya, ia datang ke kantor dengan wajah
murung. Ia baru dari laboratorium untuk
memeriksakan darahnya atas rujukan dari dokternya. Kolesterolnya tinggi,
sehingga ia harus mengatur pola makannya. Pengalaman itulah menandaskan kepada
saya, tidak ada yang pasti di dunia ini, sehingga tidak ada yang bisa dijadikan
patokan.
Jalaluddin Rumi, seorang sufi
mashur asal Turki, pernah berkata bahwa jalan ke Tuhan adalah sebanyak jumlah
manusia di muka bumi ini. Penyeragaman cara dalam menghamba kepada Tuhan,
karena itu, bukannya mendekatkan umat kepada Sang Pencipta, tetapi malah
menjauhkannya dariNya. Kebenaran bisa berubah menjadi kesesatan ketika
dipaksakan pada semua orang. Aras pemahaman setiap orang kan berbeda-beda; ada yang bisa menerima bila Tuhan itu Maha
Menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, ada yang tidak bisa.
Pemaksaan dalam bentuk apa pun
kepada mereka ini malah akan berdampak pada eksodus dari keyakinan atau agama
yang mereka anut. Mengenai hal ini, saya tertarik pada ucapan seorang bhikku
agama Buddha di Indonesia—seseorang
yang sebelumnya bukan Buddhis—yang
mengatakan bahwa tidak ada agama yang benar; yang ada adalah agama yang cocok. “Saya memilih
agama Buddha bukan karena agama Buddha itu agama yang paling benar, melainkan
karena itu agama yang paling cocok buat saya,” ujar sang bhikku, yang menginspirasi dua selebriti
negeri ini untuk memeluk agama Buddha.
Yang terbaik adalah menjadi diri
sendiri—pilihlah yang cocok untuk Anda, jangan mengambil yang cocok untuk kawan
atau bahkan saudara kembar Anda. Karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan
semua penyakit.©
Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, 1 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment