Tuesday, October 1, 2013

Obat Yang (Tidak) Menyembuhkan Semua Penyakit

Meniru adalah keliru.”
—Moehammad Soeboeh Soemohadiwidjojo 




SUATU ketika, seorang kawan datang mengunjungi saya di kantor tempat saya bekerja sebagai pengarah kreatif, sebuah perusahaan komunikasi pemasaran dan korporat terpadu di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Sambil mengobrol di ruang kerja saya, ia membolak-balik buku saku mengenai strategi ancangan (positioning) karya seorang pakar pemasaran terkemuka Indonesia. Ia memuji buku itu sebagai sebuah acuan pemasaran yang hebat. Tetapi saya berkomentar, Pak, itu buku sejarah, bukan buku strategi pemasaran. Strateginya sudah usang. Nggak ada strategi, sehebat apa pun, yang bisa diterapkan pada dua merek yang berbeda dalam kategori produk yang sama, sama halnya tidak ada obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Saya sebut itu buku sejarah karena masa pakai strateginya sudah lewat dan hanya jitu ketika dipakai untuk satu merek tertentu yang dibahas dalam buku itu.

Kawan saya yang usianya lebih senior daripada saya, penyandang gelar magister dalam bidang manajemen bisnis dari sebuah universitas negeri terkemuka di Amerika Serikat, itu mengangguk-angguk membenarkan pendapat saya. “Betul, nggak ada satu obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit! tandasnya mengafirmasi komentar saya.

Dalam 20 tahun karir saya di bidang pengembangan merek (branding), tidak ada satu pun klien saya yang saya tangani pengembangan mereknya dengan cara atau strategi yang sama dengan klien yang lain walaupun produk yang mereka miliki sama. Saya pernah tiga kali menangani produk rokok dari tiga klien yang berbeda, dua kali produk kendaraan roda empat, dua kali produk semen, empat kali perusahaan minyak dan gas, dan belasan kali produk makanan. Tidak ada satu pun yang saya kembangkan mereknya dengan memakai strategi yang sama. Penyamaan strategi malah akan menghancurkan semuanya, karena masing-masing memiliki sifat, lingkungan, dan nilai yang berbeda.

Ketika saya mulai menapakkan kaki di jalan spiritual, kepada saya disampaikan bahwa di jalan spiritual tertentu itu tidak ada orang yang sama dalam hal penerimaan (receiving), pengalaman maupun pemahamannya terhadap sesuatu. Semakin jauh saya melangkah semakin saya memahami, bahwa bukan hanya khusus di jalan spiritual itu saja, melainkan di semua aspek kehidupan kita tidak ada yang sama dan tidak pula bisa diberlakukan penanganan atau pengobatan dengan cara yang sama. Penyeragaman malah menyalahi kodrat. Satu hal yang sama pada diri manusia adalah bahwa semuanya berbeda!

Yang berhasil pada satu orang belum tentu akan memberi hasil yang sama pada orang lain. Beberapa selebriti baru-baru ini mengumumkan ke publik mengenai keberhasilan dietnya, yang kontan saja ditiru para penggemarnya yang memang sedang ingin menurunkan berat badannya. Cara para selebriti itu melangsingkan tubuh mereka pun ditiru habis-habisan oleh para penggemar. Mereka lupa bahwa setiap karakteristik tubuh dan metabolismenya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain.

Intinya, tidak ada yang mutlak bisa dijadikan patokan. Rekan kerja saya dahulu di Surabaya, seorang wanita paruh baya yang berbadan kurus seperti batang korek api, kerap meledek saya yang berbadan besar dan gemuk. Ia bilang agar saya berhati-hati karena kegemukan berisiko kolesterol tinggi. Saya cuma tertawa menanggapinya. Saya tahu risiko dari kegemukan dan karena itu saya berusaha menjaga agar berat badan saya tidak melampaui batas normal. Ini adalah keuntungan dari berbadan gemuk—kita jadi lebih waspada terhadap apa yang kita makan dan besaran porsinya, berbeda dengan orang yang berbadan kurus yang cenderung mengabaikan. Buktinya, tidak lama setelah ia meledek saya, ia datang ke kantor dengan wajah murung. Ia baru dari laboratorium untuk memeriksakan darahnya atas rujukan dari dokternya. Kolesterolnya tinggi, sehingga ia harus mengatur pola makannya. Pengalaman itulah menandaskan kepada saya, tidak ada yang pasti di dunia ini, sehingga tidak ada yang bisa dijadikan patokan.

Jalaluddin Rumi, seorang sufi mashur asal Turki, pernah berkata bahwa jalan ke Tuhan adalah sebanyak jumlah manusia di muka bumi ini. Penyeragaman cara dalam menghamba kepada Tuhan, karena itu, bukannya mendekatkan umat kepada Sang Pencipta, tetapi malah menjauhkannya dariNya. Kebenaran bisa berubah menjadi kesesatan ketika dipaksakan pada semua orang. Aras pemahaman setiap orang kan berbeda-beda; ada yang bisa menerima bila Tuhan itu Maha Menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, ada yang tidak bisa.

Pemaksaan dalam bentuk apa pun kepada mereka ini malah akan berdampak pada eksodus dari keyakinan atau agama yang mereka anut. Mengenai hal ini, saya tertarik pada ucapan seorang bhikku agama Buddha di Indonesiaseseorang yang sebelumnya bukan Buddhisyang mengatakan bahwa tidak ada agama yang benar; yang ada adalah agama yang cocok. Saya memilih agama Buddha bukan karena agama Buddha itu agama yang paling benar, melainkan karena itu agama yang paling cocok buat saya, ujar sang bhikku, yang menginspirasi dua selebriti negeri ini untuk memeluk agama Buddha.

Yang terbaik adalah menjadi diri sendiri—pilihlah yang cocok untuk Anda, jangan mengambil yang cocok untuk kawan atau bahkan saudara kembar Anda. Karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua penyakit.©


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 1 Oktober 2013 

No comments: