Monday, August 12, 2013

Jalan Tengah


“Hidup itu memberikan pilihan. Tetapi, jika engkau bingung untuk memilih di antara dua pilihan, pilihlah kedua-duanya.”
—Anonim



PUTRA dari salah seorang kenalan saya, sebut saja Ali, suatu ketika menelepon saya. Ia menuturkan bahwa untuk tugas presentasi yang harus dilakukannya sebagai salah satu syarat dari program pertukaran pelajar, yang mengirimnya ke Amerika Serikat, ia hendak membahas perihal pertumbuhan ekonomi. Ayahnya malah menyarankan dia agar membahas masalah lingkungan hidup, karena untuk itu ia bisa meminta bantuan saya lantaran saya memiliki banyak referensi, terutama setelah dua tahun terakhir saya terlibat dalam penulisan buku tentang program pemeringkatan perusahaan (PROPER) dalam sistem manajemen lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Si Ali pun menghubungi saya, dan meminta pendapat saya, apakah ia harus membahas subyek pertumbuhan ekonomi atau lingkungan hidup. Saya malah memberi dia usul: “Bagaimana kalau kamu membahas keduanya, dengan premis bahwa pelestarian lingkungan hidup akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?”

Sudah lazim kita dengar atau baca tentang kearifan bahwa hidup itu memberikan pilihan; apa pun yang Anda pilih akan ada konsekuensi yang mesti Anda pertanggungjawabkan. Tetapi, bagaimana kalau Anda memilih kedua-duanya di antara dua pilihan? Yang jelas, akan menghasilkan keseimbangan yang baik dengan landasan berpijak yang kokoh. Itulah “jalan tengah” yang dianjurkan para guru bijak di masa lalu. Jika kita menempuh jalan tengah itu berarti kita menyelaraskan dua hal yang bertentangan menjadi satu kesatuan yang kuat, sebagaimana keselarasan Yin dan Yang, pria dan wanita, sakit dan sehat, gagal dan sukses, gelap dan terang, dan lain-lain sifat-sifat berlawanan yang dipersatukan melalui Jalan Tengah.

Kerjasama tim (teamwork), idealnya, bukanlah tentang mempersatukan orang-orang yang sama, melainkan menggabungkan orang-orang yang berbeda watak dan keahlian untuk satu tujuan. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang sama. Masing-masing manusia diciptakan berbeda satu sama lain, memiliki pandangan dan jalan hidup yang berbeda, serta berkebutuhan yang berbeda pula. Adalah menyalahi kodrat jika semua manusia diseragamkan menurut tolok ukur yang dianut satu orang atau satu kelompok. Kebenaran bagi satu orang belum tentu kebenaran bagi yang lainnya. Ketika hal ini dilanggar, di situlah terjadi ketidakseimbangan yang membuyarkan seluruh tatanan semesta!

Kekuatan kita justru terletak pada kemampuan kita untuk menerima perbedaan dan menempatkan diri kita di Jalan Tengah yang dapat menggabungkan beberapa hal yang berbeda secara selaras. Hal ini tidak sulit dan bukan sesuatu yang tidak mungkin, kecuali Anda selalu menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang merusak tatanan. Penyelarasan, atau Jalan Tengah, menghasilkan kekuatan yang membangun, dan bukan merusak. Apabila amarah Anda lontarkan dengan muatan emosi atau ego, maka amarah itu akan merusak. Tetapi bila amarah diluapkan dengan muatan kasih-sayang, maka amarah itu akan menghasilkan perbaikan dan perdamaian yang berkelanjutan.

Inti dari Jalan Tengah ini adalah keseimbangan. Apa pun, apakah itu negatif atau positif, jika tidak seimbang bukan kebaikan yang dibawanya, melainkan kerusakan. Anak yang disayang terus-menerus sehingga mengarah pada pemanjaan, akan membuat si anak tumbuh menjadi manusia yang lemah. Sebaliknya, jika ia dikasari terus-menerus ia akan menjadi pribadi yang kejam. Laksana air, yang dalam jumlah yang cukup akan dapat mengenyahkan rasa haus dan kepanasan, tetapi dalam jumlah yang berlebihan akan bisa menenggelamkan dan membunuh kita!

Saya teringat pada kisah yang diceritakan kawan saya, seorang guru sekolah menengah atas yang mempunyai masalah dengan muridnya yang prestasi belajarnya tidak memuaskan lantaran si murid hanya suka bermain papan luncur atau skateboard. Orang tua si murid sudah melarang anak mereka bermain skateboard, bahkan membuang papan luncur yang mereka anggap sebagai biang anak mereka tidak mau belajar. Bukannya prestasi belajarnya meningkat, si anak malah semakin tidak mau belajar.

Akhirnya, kawan saya itu menempuh Jalan Tengah: Ia membangun sarana bermain papan luncur yang keren di halaman sekolah dan ia memberi keleluasaan pada muridnya itu untuk bermain skateboard sepuasnya, dengan satu syarat—dia harus merebut kesempatan itu lewat setiap nilai bagus dalam pelajaran sekolahnya. Si murid sepakat dengan perjanjian tersebut. Alhasil, nilai pelajarannya melonjak tinggi, setinggi ia melesat ke udara dengan papan luncurnya. Dan semua orang terpuaskan. Nah, adakah pilihan yang lebih baik daripada memilih Jalan Tengah?©



Pondok Jaya, Jakarta Selatan, 12 Agustus 2013

No comments: