Sunday, January 1, 2012

Taruhan Dengan Tuhan


Herr Gott wurfelt nicht—Tuhan tidak melempar dadu.”
—Albert Einstein


Bila Anda ingin menjadi anggota Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD), maka berlaku bagi Anda masa orientasi, yang secara populer di kalangan anggota SUBUD disebut masa ngandidat (dari kata “kandidat”, atau calon), yang berlangsung tiga bulan. Ada sedikit perbedaan dalam penerapannya antara cabang yang satu dengan yang lainnya; sebagian besar cabang menerapkannya sebanyak dua belas kali pertemuan, satu kali seminggu, sehingga jika dijumlahkan dalam masa bulan menjadi tiga bulan.

Di cabang tempat saya ngandidat dahulu, yaitu Cabang Surabaya, Jawa Timur, diberlakukan sistem pertemuan dua kali seminggu, yaitu pada setiap hari Senin dan Kamis malam, bersamaan dengan jadwal Latihan Kejiwaan bagi mereka yang sudah “dibuka” (menjadi anggota SUBUD), sehingga walaupun tetap terhitung tiga bulan, dalam praktiknya saya ngandidat sebanyak 30 kali. Soal seberapa banyak Anda menjalankan masa ngandidat tidaklah penting; yang lebih utama adalah pengalaman dan pengetahuan yang bakal Anda peroleh dengan melaluinya dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal.

Tidak sedikit orang yang berhenti di tengah jalan, tidak meneruskan atau mengambil jeda panjang dari masa ngandidat-nya, biasanya lantaran tidak puas dengan layanan dari para helper (“pembantu pelatih”) atau, yang sering terjadi, berbenturan dengan keperluan-keperluan lain yang dianggap lebih penting oleh para kandidat, seperti urusan pekerjaan atau acara keluarga.

Untuk, utamanya, urusan pekerjaan, kebanyakan kandidat tidak mau mengambil risiko dengan menomorduakannya demi menghadiri ngandidat di Wisma SUBUD. Bagi mereka, itu seperti mempertaruhkan pekerjaan mereka untuk sesuatu yang “tidak nyata”. Dengan kata lain, mereka menganggap bersikap sabar, ikhlas dan tawakal kepada kehendak Tuhan sama saja dengan melempar dadu, alias taruhan dengan Tuhan!

Kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Tuhan untuk menyembelih putra kesayangannya sendiri bagi kebanyakan orang dewasa ini tak ubahnya melempar taruhan dengan Tuhan: Apa benar Tuhan memerintahkan begitu? Atau jangan-jangan yang didengar Nabi Ibrahim adalah bisikan setan? Bagaimana kalau salah?

Keadaan dewasa ini tidaklah “separah” yang dialami Nabi Ibrahim, tetapi toh orang zaman sekarang memperlakukan pekerjaan mereka, harta benda mereka, keluarga mereka, teman-teman mereka, jabatan dan gelar mereka, bahkan diri mereka sendiri seperti anak kesayangan yang tidak patut dipertaruhkan dalam rangka bakti kepada Tuhan. Tidak mengherankan, jika dewasa ini sikap menerima dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang dahulu amat dijunjung leluhur kita lantaran besarnya manfaat yang diperoleh darinya, amat tidak populer! Dan tidak mengherankan pula jika banyak orang yang menderita sakit fisik dikarenakan keadaan psikis mereka yang tidak bisa menerima kehilangan pekerjaan, harta benda, keluarga, teman, jabatan atau gelar mereka.

Bagi saya, tolok ukurnya adalah kenyataan yang saya jumpai di SUBUD maupun di dalam kehidupan sehari-hari, di mana orang cenderung meratapi penuh sesal keadaan kehilangan harta, jabatan atau keluarga ketimbang kehilangan cinta Tuhan atas dirinya. Ironisnya, mereka itu kebanyakan kaum beragama, yang mengaku-aku lewat mulutnya cinta dan kesetiaan kepada Tuhan dan rasulNya. Di sinilah kita saksikan betapa rendahnya kecerdasan spiritual manusia zaman sekarang.

Orang yang dapat menerima kenyataan dengan sabar, ikhlas dan tawakal cenderung yakin bahwa Tuhan selalu menyertai langkahnya, dan bahwa hanya Tuhan yang memberinya rezeki. Orang semacam ini cenderung memantapkan dirinya bahwa harta atau pekerjaan tidak melulu merupakan berkah, tetapi juga bisa menjadi musibah jika ia tidak arif dalam menyikapinya.

Pengalaman saya tiga tahun belakangan ini menuturkan bahwa bukan tidak mungkin kita yang “dicari uang”, alih-alih kita yang “mencari uang”. Keadaan ini menghindarkan saya dari kemelekatan yang hebat kepada kebendaan, dan sebaliknya “menenggelamkan” saya ke dalam samudra makna, di mana saya lebur dalam cintaNya! Keadaan, yang menurut saya sangat spiritual ini, mengajarkan saya satu hal: bahwa berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal sama sekali bukan taruhan dengan Tuhan!(AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Januari 2012

No comments: