Saturday, January 7, 2012

Berhenti Dulu

KEJADIAN berikut, saya kira, semua orang pernah mengalaminya: Anda sedang berjalan kaki atau berkendara ketika mencari sebuah alamat, katakanlah di sebuah kompleks perumahan. Anda tidak berhasil menemukan alamat tersebut; apa yang akan Anda lakukan?

Kalau saya—saya akan berhenti dulu, mempelajari alamat, yang mungkin tertulis di secarik kertas atau tercatat di telepon seluler saya, mencari papan nama jalan di mana saya berada saat itu, mencocokkannya dengan alamat yang tercantum dengan kertas atau ponsel saya, dan saya akan mencari atau menunggu orang lewat untuk saya tanyakan ancer-ancernya—bagi saya, malu bertanya sesat di jalan—atau saya akan berusaha memperkirakan seberapa jauh jarak antara jalan di mana saya berada saat itu dengan alamat yang saya tuju—karena di lain pihak bagi saya banyak bertanya malu-maluin di jalan.

Ada baiknya kita berhenti dulu untuk mempertimbangkan segala sesuatu, menyusun rencana-rencana baru atau membuat rencana-rencana cadangan ketika kita tengah menghadapi persoalan yang pelik—persoalan yang sulit diselesaikan apabila kita terburu-buru, panik, atau kehilangan arah akibat terlalu emosi. Para biksu Buddhis biasanya menghentikan sejenak segala tindakan fisik mereka dan duduk (atau berdiri) untuk bersemadi, memusatkan perputaran peristiwa semesta pada dirinya.

Kawan saya pernah curhat ke saya, bahwa dirinya selalu dirundung masalah, padahal ia merasa sudah melakukan banyak kebaikan pada orang lain, tetapi pada gilirannya orang lain selalu saja bersikap tidak baik padanya. Ia bertanya pada saya, kiranya apa yang akan saya lakukan seandainya saya menjadi dirinya.

Jawaban saya cukup ekstrem: “Kalau gue jadi lu, gue akan berhenti dulu dari semua urusan, gue lupain Tuhan, nggak mau urusan sama Dia, bahkan beragama aja ogah. Gue nongkrong aja di pinggir jalan sambil ngeliatin orang-orang dan kendaraan lalu-lalang. Biasanya, gue dapet gambaran besar, sehingga gue bisa mempertimbangkan langkah-langkah yang harus gue tempuh selanjutnya!”

Terang saja kawan ini, yang merupakan pribadi yang sangat taat beragama, menampik usulan saya. Tetapi, beberapa hari lalu, dia menghubungi saya untuk menyatakan, “Kayaknya gue mau brenti dulu deh. Gue capek! Gue ikut usul lu deh.”

Hidup ini, bagi kebanyakan orang, seperti melaju di jalan tol. Tujuan mereka semata adalah agar cepat sampai di apa pun yang ingin mereka capai. Mereka lupa bahwa kemampuan fisik dan mental-spiritual mereka tidak selalu memadai untuk menunjang perjalanan itu, dan mereka juga lupa bahwa di jalan tol pun tersedia kawasan rehat (rest area), di mana mereka dapat berhenti dulu untuk memperbaiki kerusakan pada kendaraan mereka, isi bahan bakar—baik untuk kendaraan maupun si pengendara, buang air, atau sekadar jalan-jalan sambil melepas lelah. Lihatlah apa yang terjadi pada mereka yang tidak menyadari keterbatasan mereka dan tidak memanfaatkan peluang untuk berhenti dulu di rest area: Kecelakaan di jalan tol!

Seorang guru bijak mengibaratkan manusia itu layaknya sumbu roda. Sumbu, sejatinya, tidak berputar, melainkan roda diputar olehnya. Manusia itu, demikian menurut sang guru, menjadi sumbu dari semua peristiwa dan/atau keadaan yang ada di sekelilingnya, sehingga ia sesungguhnya dapat mengendalikan itu semua. Kalau Anda mendapat penderitaan, itu bukan karena Anda harus mendapatkan penderitaan, melainkan karena alam bawah sadar Anda menghendakinya. Meditasi memutus keterhubungan Anda dengan penderitaan maupun kebahagiaan. Ia memutus rupa, dan Anda pun menjadi sejatinya Anda, sekadar mengada untuk saat ini, tanpa embel-embel, tanpa keinginan menjauh dari derita maupun hasrat menggapai bahagia.

Peristiwa atau keadaan yang kita alami dalam hidup bersifat tidak kekal, tidak pula lekat; ia akan berlalu seiring perputaran waktu. Manusia yang berhenti dulu dan menyadari hakikat dirinya selaku sumbu dapat segera menginsafi hal itu. Berhenti dulu dari laju kehidupan yang melesat pesat adalah seperti mengunjungi retret di luar aktivitas rutin Anda, yang telah menyita begitu banyak waktu, energi dan perhatian, sampai Anda melupakan apa yang sejatinya Anda butuhkan, yaitu diri Anda sendiri. Dari asal katanya saja, retret atau retreat dalam bahasa Inggris berarti “mundur”. Maksudnya, mundur dari segala kegiatan dan kembali menjadi diri sendiri yang tidak diembel-embeli apa pun yang bukan sejatinya kita.©2012

 

Mampang Prapatan IX, Jakarta Selatan, 8 Januari 2012

No comments: