Friday, January 1, 2010

Kompleks Permasalahan

“Permasalahan besar yang kita hadapi tidak dapat diselesaikan dengan keadaan pikiran yang sama yang dengannya kita menciptakan permasalahan itu.”
—Albert Einstein (1879-1955)



Salah seorang sahabat saya suatu kali ditimpa permasalahan kehidupan – bercerai, anak semata wayangnya dibawa oleh istrinya, dan bisnisnya bangkrut. Ia membantah saya ketika saya bercerita tentang orang-orang yang punya permasalahan yang mirip dengannya dan bagaimana mereka mengatasinya. “Permasalahan mereka tidak sama dengan aku. Permasalahanku lebih kompleks!” katanya, yang intinya menekankan bahwa ia tidak perlu nasihat saya. Hampir setiap hari ia mengeluh kepada Tuhan, mengapa dia yang diberiNya cobaan seberat itu. Namun, ketika sahabat saya itu berhasil melewati cobaan tersebut, ia malah bilang bahwa permasalahannya ternyata simpel saja dan jalan keluarnya mudah.

Sahabat saya yang lainnya juga mengekspresikan kegundahannya akan permasalahan hidupnya, yang dianggapnya jauh lebih kompleks dari semua permasalahan yang ada di muka bumi ini. Dan, sebagaimana orang-orang yang menderita sindrom ‘permasalahan-lebih-kompleks’ lainnya, ia menolak membuka diri terhadap dukungan moril dari siapa pun, karena “Permasalahanku sangat kompleks, susah diselesaikan!”

Hampir setiap kita pasti menderita kecenderungan ‘permasalahan-saya-lebih-kompleks-daripada-yang-lain’ ini. Saya pun kadang, bila ditimpa masalah yang tidak bisa saya temukan jalan keluarnya, merasa sayalah yang paling menderita. Padahal sejatinya tidak ada yang dapat melampaui lebihnya Yang Maha Lebih, seberat atau sekompleks apa pun permasalahan yang kita hadapi. Yang menyebabkan kita mengira kitalah satu-satunya yang menderita adalah ketidaksediaan kita untuk bersikap rendah hati di hadapan Sang Kuasa.

Manusia sering bersikap egoistis terhadap sesamanya, bahkan ketika ditimpa problema hidup. Dirinyalah yang harus jadi satu-satunya yang menderita dan hanya dirinya yang mesti dikasihani. Lha, kalau semua orang merasa begitu, maka tidak akan ada lagi satu permsalahan yang ‘istimewa’. Sejatinya, semua permasalahan sama saja, walau berbeda muatan. Tetapi, yang pasti, semua ada jalan keluarnya, yang bisa diperoleh bila diri kita berada dalam keadaan tenang lahir-batin. Tinimbang memencilkan diri dengan permasalahan-lebih-kompleks, mendingmenghuni kompleks permasalahan, di mana diri Anda menginsafi kenyataan bahwa permasalahan Anda tidak lebih kompleks dari permasalahan orang lain, hanya muatan emosi Anda dalam menghadapinya yang berbeda tingkatan. Layaknya kompleks perumahan yang arsitektur rumah-rumahnya mirip satu sama lain, tetapi penghuninya saja yang beraneka jenis.

Saudara Subud saya pernah mengatakan, di kala saya mengeluhkan bahwa permasalahan saya saat itu sangat kompleks. “Kompleks atau tidak kompleks tergantung pada ‘ini’ kita.” Jari telunjuknya menunjuk ke pelipisnya. Pikiranlah yang selalu mengatur-atur diri kita, bahwa apa yang ada pada diri kita melebihi apa yang ada pada orang lain, termasuk permasalahan-permasalahan kita.

Kasih Tuhan dibuktikanNya dengan ketersediaan solusi atas setiap permasalahan, betapa pun kompleksnya. Hanya saja, kita suka menutup diri terhadap kemungkinan-kemungkinan. Ketenangan diri, mengabrasi emosi dan kemarahan yang cenderung menghakimi, membawa kita keluar dari anggapan bahwa permasalahan yang kita hadapi lebih kompleks dari apa pun, memasuki wilayah kompleks permasalahan.©

No comments: