KETIKA akan meninggalkan Bandung pada malam Minggu, 15 Februari 2025, saya merasa tidak enak badan. Perut saya sakit dan kemudian mual. Sepertinya masuk angin. Kala lima saudara Subud lainnya sudah bersiap akan berangkat meninggalkan Hall Subud Cilengkrang, saya malah bergegas ke kamar mandinya untuk memuntahkan seisi perut saya. Benar, saya masuk angin, namun muntah ternyata belum menuntaskannya. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, saya menggigil dan kehilangan nafsu makan.
Setibanya di rumah, saya tidur. Terbangun paginya, 16 Februari, punggung saya terasa ngilu dan kesulitan untuk meninggalkan tempat tidur. Saya memberitahu Kadariah Trúc Đào Nguyên, anggota Subud Vietnam yang pada 14-15 Februari ikut dalam perjalanan ke dan dari Bandung dalam rangka gathering “Back to Bapak” (B2B), via WhatsApp pada malam harinya, bahwa saya tidak datang ke Wisma Subud Cilandak karena sakit. “Mungkin kamu kurang tidur di Cilengkrang,” jawabnya.
“Ya, saya kurang tidur dan masuk angin ketika saya dalam keadaan lelah,” kata saya dalam balasan pesan WhatsApp saya. Selanjutnya, ia memberi saya nasihat dan saran panjang lebar mengenai gaya hidup sehat: “Kamu dapat mengonsumsi buah atau minum jus buah segar atau smoothies tanpa gula untuk mendapatkan vitamin C yang cukup sehingga kamu dapat segera pulih. Harap kurangi jumlah kopi yang kamu minum setiap hari dan rokok yang kamu isap. Bahkan rokok buatan Lindy, jika kamu mengisapnya terlalu banyak, saya rasa itu tidak baik untuk kesehatanmu. Makanan yang dimasak dengan minyak goreng yang kamu makan dapat membuatmu kelelahan.
“Jika kamu kehilangan nafsu makan, itu berarti ususmu kekurangan enzim pencernaan. Empat buah yang dapat membantumu mendapatkan kembali enzim tersebut adalah pisang, nanas, pepaya, dan kiwi (dua atau tiga dari empat buah tersebut sudah cukup). Tentu saja, kamu perlu beristirahat untuk mengatasi rasa lelahmu.”
Saya hanya memberi emoji dua telapak tangan menempel atas pesan WhatsApp Kadariah. Saya sedang tidak mood untuk menerima nasihat. Suasana hati saya sedang ingin diam dan ikhlas, menenangkan diri untuk mendengarkan solusi dari jiwa saya.
Senin pagi, 17 Februari 2025, ngilu di punggung saya masih terasa, membuat saya kesulitan bangun dari tempat tidur tetapi saya paksakan demi meminta istri untuk mengolesi minyak angin di punggung saya. Nafsu makan saya juga masih belum normal, meski begitu saya tetap memaksakan diri untuk sarapan—nasi berlaukkan balado ikan selar dan semangkuk puding stroberi.
Saya lantas pergi dengan bersepeda motor—terutama karena emosi yang tak kuat saya tahan terhadap Nuansa yang bersikeras tidak mau mandi sedangkan waktu masuk sekolahnya makin mendekat. Saya membutuhkan ketenangan; ketegangan karena amarah membuat punggung saya makin sakit. Saya memacu sepeda motor ke SPBU Shell Pondok Cabe untuk isi bensin, kemudian saya mampir di warung kopi 24 jam di Jl. Cabe V—yang telah menjadi langganan saya untuk membeli bubur ayam khas Kuningan yang berkuah kuning, memesan White Coffee Luwak dan ngemil kerupuk makaroni serta mengisap rokok Hatma dari Dokter Lindy. Saat merasakan ketenangan meliputi diri, di situ saya “mendengar” anjuran agar saya memesan bubur ayam dengan kuah kuningnya yang banyak.
Ajaib,
ngilu di punggung saya perlahan-lahan sirna setelah saya menyantap bubur ayam itu.
Mungkin panasnya bubur dan rempah-rempah dalam kuah kuningnya telah mengusir
sisa angin dalam tubuh saya. Tapi yang jelas, bimbingan kekuasaan Tuhan yang
mengisi diri saya adalah obat yang tepat.©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Februari 2025
No comments:
Post a Comment