Tuesday, September 10, 2024

POR-TU-GAL


SECARA historis dan budaya, masyarakat Indonesia sangat suka membuat akronim dari berbagai hal. Baik untuk maksud serius, untuk menyindir, atau sekadar sebagai hiburan populer. Budaya ini bahkan telah berakar dalam segala bidang kehidupan, mulai dari politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, militer sampai pendidikan, untuk mendiseminasi program atau gagasan kepada khalayak. Biasanya, akronim-akronimnya merepresentasi nilai-nilai atau pesan yang terkandung di dalamnya, agar pemangku kepentingan tidak lupa.

Bahkan akronim memperkaya kamus Bahasa Indonesia sebagai kata-kata yang oleh generasi terkini tidak diketahui bahwa kata-kata itu aslinya merupakan akronim. Misalnya “tilang” (speeding ticket) yang sebenarnya merupakan akronim dari “bukTI peLANGgaran” (evidence of violation).

Juni 2024 lalu, seorang pembantu pelatih senior di Surabaya, Jawa Timur, bercerita ke saya bahwa “SUBUD” tadinya hanya kata tanpa arti yang dituliskan di papan tulis oleh seorang pembantu pelatih atas perintah Bapak. Setelah didaftarkan ke PAKEM (Pengawas Kepercayaan Masyarakat) pada tahun 1947, barulah Bapak menerima kepanjangan dari kata tersebut dan artinya: SUsila BUdhi Dharma.

PORTUGAL, sebagai negara yang terpilih untuk lokasi penyelenggaraan Kongres Dunia 2028, pun tak luput dari kecenderungan “aneh” ini, sebagai lelucon yang kini telah beredar luas di kalangan anggota Subud Indonesia, terutama generasi yang lebih muda: Itu merupakan singkatan dari PORsi TUkang GALian (the Excavation Worker’s [meal] Portion), yang mengacu pada porsi makanan yang sangat besar di piring seseorang.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 September 2024

Wednesday, September 4, 2024

Nasi Goreng Spesial


SEKITAR tahun 1992, saat menghadapi cewek yang menetapkan standar tertentu tentang cowok yang akan dia terima sebagai pacarnya, saya katakan bahwa saya bisa memasak—ketika si cewek menyatakan bahwa dia suka cowok yang bisa memasak. Dia tanya lagi, saya bisa memasak apa?

“Nasi goreng,” jawab saya.

“Ah, nasi goreng semua orang juga bisa!” kata si cewek, melecehkan keahlian saya. Saya meresponsnya dengan tertawa, karena saat itu saya juga percaya bahwa semua orang bisa memasak nasi goreng, bahwa nasi goreng bukanlah jenis masakan yang spesial.

Lama kemudian, saya bertanya-tanya, kalau memang nasi goreng bukan masakan yang spesial dan semua orang bisa membuatnya, lantas kenapa nasi goreng termasuk salah satu menu di restoran mahal atau hotel?

Bertahun-tahun kemudian, terutama setelah saya aktif melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan Gusti Alah untuk membuat nasi goreng yang memang benar-benar spesial, yang saya yakin tidak semua orang bisa membuatnya. Seperti nasi goreng yang saya buat pagi ini untuk semua penghuni rumah saya. Saya namakan Nasi Goreng Oregano. Selain menaburkan oregano di nasi yang sedang saya aduk di wajan, sejumlah bumbu rahasia dan bimbingan rasa diri menyertai proses pembuatannya, dan membuat semua pemakannya menggelinjang nikmat dan terus menambah porsi makannya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2024