Tuesday, April 20, 2021

Cinta yang Dari Jiwa

PUASA hari kesembilan tahun 1442 H./2021 Masehi. Saya pasang alarm jam di telepon seluler saya untuk membangunkan saya pukul 03.21 untuk menyiapkan makanan sahur. Tapi tanpa saya sadari—bahkan saya mengira saya terlambat bangun karena tidak mendengar bunyi alarm ponsel—saya terbangun lebih awal.

Saya keluar kamar dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan sahur. Saat itulah istri saya, yang tidur bersama anak kami di kamar yang terpisah, mengirim pesan WhatsApp bahwa saya bangun terlalu dini, baru jam 01.30. Saya terkejut, tapi saya selesaikan memasak makanan dan kemudian kembali ke kamar saya.

Harapan saya untuk tidur kembali dari pukul 01.50 hingga jam 03.21 tidak terwujud. Saya tetap terjaga dengan mata yang bahkan sulit untuk dipejamkan. Saya mendengar suara Bapak Subuh di telinga batin saya. Seperti seorang guru yang berdiri dengan wibawa di depan kelas, Bapak menjelaskan ke saya tentang hakikat cinta. Cinta yang dari jiwa, bukan cinta nafsu.

Cinta jiwa tidak ingin memiliki, tidak merindu kehadiran fisik, tidak berhasrat seksual—bahkan keinginan untuk bersentuhan kulit saja sudah termasuk hasrat seksual. Cinta yang dari jiwa membebaskan si pecinta sehingga selalu jujur pada dirinya sendiri dan orang lain, dan membuat si pecinta mampu menjadi dirinya sendiri.

Pandangan umum bahwa “cinta yang tak harus memiliki orang yang dicintai” merupakan sesuatu yang mustahil atau menyiksa diri, menurut penjelasan Bapak kepada saya, tidak berlaku dalam cinta jiwa. Dalam cinta yang dari jiwa, getaran atau vibrasi jiwa adalah kehadiran satu-satunya yang memuaskan sang pecinta. Vibrasi itu bahkan mengalir hingga berkoneksi ke Cinta Teragung (kekuasaan Tuhan).

Cinta jiwa bersifat abadi, kekuatannya langgeng, tak lekang oleh waktu. Tidak seperti cinta nafsu yang mudah disergap rasa bosan, rasa kecewa, rasa cemburu, rasa ingin selalu dekat secara lahiriah, rasa ingin bersentuhan hingga lebih jauh lagi—berhubungan badan. Jika orang pada umumnya mengatakan bahwa perasaan cinta dalam perkawinan hanya bertahan paling lama lima tahun pertama sejak menikah, sedangkan selebihnya adalah perasaan sebagaimana biasa dalam hubungan pertemanan, yang tak jarang diwarnai pertengkaran, perselisihan, hingga permusuhan, pada hakikatnya justru itulah ciri-ciri tumbuhnya cinta jiwa; cinta yang apa adanya.

Saat itulah, saya retrospeksi ke masa ketika saya tengah melakukan pendekatan ke wanita-wanita, termasuk yang kelak menjadi istri saya, betapa saya tampil bukan sebagai diri saya yang orisinal. Saya merasa harus selalu tampil hebat, melebihi pesaing-pesaing saya yang juga berebut perhatian dari si wanita. Perilaku saya ini adalah khas pada semua pria yang memburu “cinta”; tak tampil apa adanya, sehingga ketika sudah jadian dengan si wanita, sering kali dalam perjalanan waktu muncul kekecewaan pada si wanita karena keaslian si pria muncul, yang menyebabkan si wanita merasa tertipu atau bosan.

Cinta yang dilandasi nafsu atau hasrat seksual mencirikan sifat hewan: Yang jantan ingin menaklukkan dan yang betina ingin ditaklukkan. Tujuannya adalah menang-menangan, sehingga ketika kedua insan saling mendapatkan satu sama lain muncullah perasaan bangga bak juara sebuah pertandingan. Hal ini pula yang menjadi alasan bawah sadar mengapa orang berselingkuh, yaitu untuk membuktikan dirinya masih juara.

Banyak orang menikah karena nafsu, karena kebutuhan untuk mendapatkan keturunan, karena tidak mau hidup sendirian, karena ingin memuaskan berahi. Dengan cinta jiwa, kehadiran lahiriah dari orang yang kita cintai tidak menjadi syarat. Vibrasi dari jiwanyalah yang dapat memuaskan kerinduan.

Dalam “kuliah mental” itu, saya mendapat penjelasan bahwa karena itulah yang disebut belahan jiwa tidak selalu terdapat dalam hubungan perkawinan, dalam hubungan pria-wanita selaku kekasih atau pasangan suami-istri. Bagaimanapun, kata Bapak, jangan menyesali perkawinan yang sudah terjadi; lanjutkanlah hingga jiwa-jiwa dari pasangan suami-istri terkoneksi satu sama lain.

Jika anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tuanya, tegurlah, tapi jangan diimbuhi kalimat “karena cinta”. Jangan bilang “Papa dan Mama marah bukan karena benci, tapi karena Papa dan Mama cinta kamu”; kalimat itu adalah kebohongan besar yang dapat mencelakai anak di kemudian hari.

Cinta jiwa terekspresikan dengan membiarkan si anak melakukan apa yang tidak sesuai agar dia belajar sendiri mengapa orang tuanya melarangnya melakukan hal itu. Tentu saja, untuk anak-anak usia belia tetap harus diawasi dari dekat, sedangkan untuk anak yang beranjak dewasa ajarkan dia tentang tanggung jawab; bahwa perbuatan apa pun memiliki konsekuensi baik atau buruk.

Sampai di situ kuliah mental dari Pak Subuh untuk saya. Berakhir pada jam 03.15, yang mendorong saya akhirnya untuk keluar dari kamar, dan kembali menyiapkan makanan sahur. Tak sedikit pun saya merasa mengantuk. Hanya kesukacitaan merasakan cinta Tuhan yang maha besar.©2021


Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 21 April 2021

1 comment:

Serafica jati said...

Kuliah sahur yg menyenangkan