Thursday, February 6, 2014

Mengorbankan Perasaan Sebagai Korban

“Jangan tinggal di masa lalu, jangan bermimpi tentang masa depan, pusatkan pikiran pada masa kini.”

—Buddha Gautama



SUATU pagi, di masa yang sudah lama berlalu, ibu saya tergopoh-gopoh dari dalam rumah mendatangi saya yang sedang duduk-duduk santai di teras. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP), sekitar tahun 1982-1983. Ibu saya, yang barusan membersihkan kamar tidur saya, datang dengan membawa serta penggaris segitiga plastik yang padanya tertempel label kertas bikinan saya sendiri, dengan tulisan hasil mesin ketik berbunyi “Colonel Anto Dwiastoro, 101st Airborne Division, U.S. Army”. Ibu saya sekalian mengeluhkan tingkah saya yang suka berkhayal seperti itu kepada ayah saya yang saat itu berada bersama saya di teras. 

Label kertas itu ciptaan saya yang berkhayal menjadi komandan tentara Amerika, dan itu amat mengkhawatirkan ibu saya, yang rupanya tidak mau kalau anaknya tumbuh sebagai tukang khayal. Serta-merta, ibu saya mencabut label itu dan menyobeknya. Tindakan beliau membuat saya amat marah dan membela diri, bahwa berkhayal tidaklah separah yang beliau bayangkan.

Pada waktu itu, saya merasa syok dan sangat tertekan, tetapi diam-diam saya tetap melestarikan kebiasaan saya berkhayal. Saya bertekad tidak mau merasa jadi korban (victim) dari kekurangmengertian orang tua saya terhadap yang namanya “berimajinasi”. Berkat saya keukeuh tidak mau mematuhi larangan berkhayal yang dikeluarkan ibu saya, 12 tahun sejak peristiwa itu saya sukses sebagai pekerja iklan yang syarat utamanya adalah kemampuan berimajinasi!

Tidak sedikit orang yang mengikatkan diri mereka pada peristiwa (yang dianggap) traumatis di masa lalu walaupun sudah melangkah di masa kini. Mereka membiarkan diri terpuruk jadi korban dari keadaan yang mereka hadapi di masa lalu, sehingga tidak atau kurang berani melangkah maju di masa kini. Ajaran atau nasihat keliru di masa lalu telah tertanam sedemikian dalam di benak mereka, dan itu yang mengendalikan diri mereka di masa kini. Ajaran/nasihat itu telah berkembang menjadi meme, atau “virus akalbudi” yang bereplikasi dengan sendirinya, yang hanya dapat dilawan oleh kehendak dari si “korban”.

Perasaan sebagai korban keadaan itu disebut viktimisme—dari kata bahasa Inggris victim yang berarti “korban”. Hambatan yang dialami sebagian orang dalam tumbuh-kembangnya secara fisik, mental dan spiritual kebanyakan memang disebabkan oleh faktor viktimisme. Seseorang yang merasa sebagai korban dari keadaan yang dihadapinya di masa lalu cenderung membuatnya selalu menyalahkan orang lain atau keadaan tertentu jika dirinya mengalami hambatan dalam prosesnya untuk maju.

Viktimisme menghancurkan masa depan kita. Setiap kali kita berpikiran bahwa masalahnya ada di luar sana, pikiran itulah masalahnya. Setiap kali Anda membungkus kehidupan emosional Anda dengan kelemahan orang lain atau situasi, Anda telah menyerahkan kebebasan emosional Anda kepada orang atau situasi itu dan mengizinkannya untuk mengacaukan hidup Anda. Masa lalu Anda telah menyandera masa kini Anda!

Meski syok dan merasa jengkel pada masa itu, saya tidak menyalahkan ibu saya yang melarang saya berkhayal. Justru larangan beliau menjadi daya yang mendorong saya untuk berusaha keras membuktikan bahwa kekhawatiran beliau tidak beralasan. Dan saya berhasil!

Apa pun yang pernah Anda alami di masa lalu tidak seharusnya Anda terikat padanya. “Masa lalu adalah guru kehidupan,” kata sejarawan dan filsuf Romawi kuno, Cicero. Petiklah pelajaran berharga darinya, dan bukannya takut melangkah di masa kini lantaran dihantui masa lalu. Sukses memang butuh pengorbanan; mulailah dengan mengorbankan perasaan sebagai korban yang menghinggapi Anda, yang menghambat langkah Anda untuk maju.©


Kalibata, Jakarta Selatan, 6 Februari 2014 

No comments: