“Jangan tinggal di masa lalu, jangan bermimpi tentang
masa depan, pusatkan pikiran pada masa kini.”
—Buddha Gautama
SUATU pagi, di masa yang sudah lama berlalu, ibu saya
tergopoh-gopoh dari dalam rumah mendatangi saya yang sedang duduk-duduk santai
di teras. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah
pertama (SMP), sekitar tahun 1982-1983. Ibu saya, yang barusan membersihkan
kamar tidur saya, datang dengan membawa serta penggaris segitiga plastik yang
padanya tertempel label kertas bikinan saya sendiri, dengan tulisan hasil mesin
ketik berbunyi “Colonel Anto Dwiastoro, 101st Airborne Division, U.S. Army”. Ibu
saya sekalian mengeluhkan tingkah saya yang suka berkhayal seperti itu kepada
ayah saya yang saat itu berada bersama saya di teras.
Label kertas itu ciptaan saya yang berkhayal menjadi
komandan tentara Amerika, dan itu amat mengkhawatirkan ibu saya, yang rupanya
tidak mau kalau anaknya tumbuh sebagai tukang khayal. Serta-merta, ibu saya
mencabut label itu dan menyobeknya. Tindakan beliau membuat saya amat marah dan
membela diri, bahwa berkhayal tidaklah separah yang beliau bayangkan.
Pada waktu itu, saya merasa syok dan sangat tertekan,
tetapi diam-diam saya tetap melestarikan kebiasaan saya berkhayal. Saya
bertekad tidak mau merasa jadi korban (victim)
dari kekurangmengertian orang tua saya terhadap yang namanya “berimajinasi”.
Berkat saya keukeuh tidak mau
mematuhi larangan berkhayal yang dikeluarkan ibu saya, 12 tahun sejak peristiwa
itu saya sukses sebagai pekerja iklan yang syarat utamanya adalah kemampuan
berimajinasi!
Tidak sedikit orang yang mengikatkan diri mereka pada
peristiwa (yang dianggap) traumatis di masa lalu walaupun sudah melangkah di
masa kini. Mereka membiarkan diri terpuruk jadi korban dari keadaan yang mereka
hadapi di masa lalu, sehingga tidak atau kurang berani melangkah maju di masa
kini. Ajaran atau nasihat keliru di masa lalu telah tertanam sedemikian dalam
di benak mereka, dan itu yang mengendalikan diri mereka di masa kini.
Ajaran/nasihat itu telah berkembang menjadi meme,
atau “virus akalbudi” yang bereplikasi dengan sendirinya, yang hanya dapat
dilawan oleh kehendak dari si “korban”.
Perasaan sebagai korban keadaan itu disebut viktimisme—dari
kata bahasa Inggris victim yang
berarti “korban”. Hambatan yang dialami sebagian orang dalam tumbuh-kembangnya
secara fisik, mental dan spiritual kebanyakan memang disebabkan oleh faktor
viktimisme. Seseorang yang merasa sebagai korban dari keadaan yang dihadapinya
di masa lalu cenderung membuatnya selalu menyalahkan orang lain atau keadaan
tertentu jika dirinya mengalami hambatan dalam prosesnya untuk maju.
Viktimisme menghancurkan masa depan kita. Setiap kali
kita berpikiran bahwa masalahnya ada di luar sana, pikiran itulah masalahnya.
Setiap kali Anda membungkus kehidupan emosional Anda dengan kelemahan orang
lain atau situasi, Anda telah menyerahkan kebebasan emosional Anda kepada orang
atau situasi itu dan mengizinkannya untuk mengacaukan hidup Anda. Masa lalu
Anda telah menyandera masa kini Anda!
Meski syok dan merasa jengkel pada masa itu, saya tidak
menyalahkan ibu saya yang melarang saya berkhayal. Justru larangan beliau
menjadi daya yang mendorong saya untuk berusaha keras membuktikan bahwa
kekhawatiran beliau tidak beralasan. Dan saya berhasil!
Apa pun yang pernah Anda alami di masa lalu tidak seharusnya
Anda terikat padanya. “Masa lalu adalah guru kehidupan,” kata sejarawan dan
filsuf Romawi kuno, Cicero. Petiklah pelajaran berharga darinya, dan bukannya
takut melangkah di masa kini lantaran dihantui masa lalu. Sukses memang butuh
pengorbanan; mulailah dengan mengorbankan perasaan sebagai korban yang
menghinggapi Anda, yang menghambat langkah Anda untuk maju.©
Kalibata, Jakarta Selatan, 6 Februari 2014
No comments:
Post a Comment