Sunday, March 6, 2011

Batuk Tetangga

“Tidak ada kebijaksanaan tanpa seni mengabaikan bantahan.”

Joseph De Maistre



Salah seorang kawan saya sangat mudah terusik oleh apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Ia mudah terusik oleh pendapat, opini, kritik, dugaan atau pandangan, yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan dirinya. Bila dipuji ia melambung, bila dikritik ia marah tak terkira, bahkan tak jarang sampai putus hubungan apabila yang mengeritik itu relasinya atau kerabatnya. Ia bersedia bersitegang seumur hidup dengan siapa saja yang dianggapnya tidak sependapat dengan dirinya atau menjatuhkan gengsinya di mata teman-temannya.


Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ia geluti, tetapi ia tak sanggup menanggung komentar-komentar negatif terhadap status atau tweet dirinya. Bukannya mengabaikan, menyingkirkan para penyinggungnya, atau tidak membuka media sosial untuk sementara waktu, ia malah membiarkan dirinya larut dalam pertentangan-pertentangan berkelanjutan yang timbul akibat menanggapi komentar-komentar miring itu.


Entah apa sebutan bagi orang semacam dirinya. Dan ia tidak sendiri; masih banyak lainnya di dunia ini, dengan emosi tak terkendali, gila hormat atau sanjungan. Saudara Subud saya secara sederhana menyebutnya ‘orang kurang kerjaan’. “Kalau orang nggak ada kerjaan, tetangga batuk aja bikin dia terusik. Coba kalau ada kerjaan, pasti dia nggak nanggepin.”


Tidak sesederhana itu memang, walaupun cara mengatasinya cukup sederhana. Sang Buddha menganjurkan untuk, pertama-tama, menyadarinya. Menyadari diri (mengapa terusik dan mengapa harus terusik) dan menyadari yang-bukan-diri (yang di luar diri). Dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, baik dia banyak kerjaan maupun kurang kerjaan. Saya kadang juga masih bisa terusik oleh kritikan, utamanya yang ditujukan pada hasil pekerjaan saya. Itu yang dinamakan power syndrome.


Ego saya, yang terpaku pada lama dan banyaknya pengalaman bekerja saya di bidang komunikasi merek, yang memicu dan membakarnya, membuat saya tidak bisa menerima kritikan. Saya memadamkan kebakaran itu dengan kesadaran bahwa yang mengeritik tohadalah klien saya, yang notabene lebih memahami produknya dibanding saya maupun yang membayar saya, sehingga dia ‘berhak’ memperlakukan saya sesuai nilai nominal yang dibayarkannya.


Selama masih dapat dianggap wajar, saya akan mengabaikan tanggapan macam apa pun. Tetapi bila sudah di luar batas kewajaran, dan cenderung merugikan saya secara bisnis, tentunya saya menerapkan integritas profesional saya: tidak membiarkan diri terusik penghargaan materi yang bakal saya peroleh dari klien tertentu!


Batuk tetangga tadi tidak akan mengusik kita apabila kita simply mengabaikannya. Bila batuk tetangga saja tidak bisa kita abaikan, entah bagaimana jadinya dengan hal-hal yang jauh lebih serius daripada itu. Relasi saya memiliki kecenderungan ini. Tidak terbayangkan betapa lelahnya menjadi dirinya. Tetangga mendapat promosi jabatan, maka ia pun mempromosikan dirinya di lingkungan tempat tinggalnya seolah ia telah mencapai jabatan lebih tinggi dari tetangganya itu. Tetangganya berlibur ke Singapura, maka ia pun sesumbar ke seantero kompleks bahwa ia akan berlibur ke Hawaii.


Merendahkan hati, believe me, adalah lebih nyaman dan membahagiakan ketimbang terusik oleh segala sesuatu yang-bukan-diri. Untuk bisa sampai di aras hati itu, mulailah dari mengabaikan hal-hal simpel yang tidak membawa manfaat, seperti batuk tetangga.Ó



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 3 Maret 2011


No comments: