Friday, March 19, 2010

Terang di Balik Tangan

“Benci dosanya, jangan pendosanya.”
—Mahatma Gandhi


“Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
—QS 14: 4


Ada sebuah pengalaman nyeleneh yang saya peroleh dalam perhelatan Musyawarah Nasional PPK Subud Indonesia, 5-7 Maret 2010 silam, yang masih tersimpan di benak saya hingga kini. Pengalaman itu begitu pribadi sifatnya sekaligus menggetarkan – tentang bahwa Terang (baca: pencerahan) itu tersembunyi namun menyertai hidup kita selalu, dan untuk mendapatkannya adalah ‘semudah membalikkan tangan’ jika kita merelakannya.

Sebuah kejadian yang telah lama lewat sempat membuat saya menyimpan ketidaksukaan pribadi pada salah seorang saudara Subud saya, seorang perempuan muda, yang menurut penilaian pribadi saya bersikap sangat arogan ketika saya dikenalkan padanya. Segala sesuatu mengenainya sejak saat itu menjadi personal: saya cenderung membuang muka bila bertemu dengannya secara tak sengaja dan memendam hasrat untuk meludahi tampang angkuhnya. Tidak ada pada dirinya yang saya anggap positif; bahkan keberadaannya di dunia ini pun saya anggap tidak ada gunanya. Ia tidak memberi saya alasan apa pun, dari berbagai segi, untuk menyukainya. Dan keadaan itu telah berlangsung lebih dari dua tahun – dan saya juga tidak keberatan untuk mengkonfrontasinya selama bertahun-tahun ke depan.

Saya pernah menjadi pribadi yang mudah membenci orang-orang yang berbuat salah pada diri saya tanpa saya pernah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menjadi tercerahkan lewat kejadian-kejadian itu. Saya pernah menjadi sosok orang yang tidak mampu memaknai isyarat apa pun yang menyeruak dari hubungan-hubungan dengan orang lain, karena tangan batin saya senantiasa mengepal dengan keras (memendam amarah), sehingga tak mampu melihat Terang di baliknya.

Peristiwa di ajang Munas PPK Subud Indonesia yang berlangsung di kota Semarang baru-baru ini seakan telah meregangkan otot-otot tangan batin saya, yang membuka kemungkinan saya untuk mengintip Terang di baliknya. Saya bertemu, secara tak sengaja, dengan perempuan muda yang tersebut di atas. Seolah telah terlatih dengan sangat baik untuk mengantisipasi keadaan itu, spontan saya membuang muka. Tidak, orang semacam dia tidak mendapat tempat di hati saya, dalam hidup saya, bahkan tak layak bagi mata saya.

Namun, sejurus kemudian, ketika saya menoleh padanya, saya bahkan tidak memercayai diri saya sendiri – bahkan sempat saya mengumpat diri sendiri. Betapa tidak, rasa cinta yang mendalam – yang membuat hati saya bergetar – pada sosok ‘yang memuakkan’ saya selama ini kontan menyergap saya. Saya kebingungan sendiri, dari mana rasa itu datang, dan apa alasannya. Saat itu, saya merasakan kesejatiannya adalah saudara (adik) yang baginya saya harus menuangkan kasih tinimbang benci. Menyeruak dari kedalaman hati saya keinginan untuk melindunginya bahkan dari sifat-sifat tak terpuji saya.

Saat itu, saya menjadi saksi bisu (saya begitu malu pada diri sendiri maupun orang lain untuk mengungkapkannya secara lisan) bagaimana sang Cinta membalikkan hati saya semudah membalikkan tangan, dan di baliknya saya menemukan Terang: wajah sejati dari orang yang selama ini justru saya benci – yang karena itu saya tidak memberi kesempatan pada diri ini untuk berusaha menggali makna di balik eksistensinya.

Meski saat itu saya merasa sudah gila lantaran mendadak sontak benar-benar cinta pada orang yang di pikiran saya, yang beriklim amarah, mendapat tak lebih dari benci, saya menginsafi Terang yang tersembunyi dari penglihatan lahiriah kita semua, yang dengan kesediaan kita untuk merelakan dapat terungkap dengan mudah. Semudah membalikkan tangan.©

No comments: