Tuesday, April 10, 2018

Lain Dahulu, Lain Sekarang

Gedung utama di bagian depan kompleks pabrik Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang saya foto pada 5 April 2018.

SETELAH dua hari berturut-turut (5-6 April 2018) blusukan ke desa-desa binaan maupun bukan binaan Sritex untuk memetakan persoalan lingkungan alam, ekonomi dan sosialnya, saya menemukan bahwa betapa pun hebatnya kontrak produksi yang pernah diperoleh perusahaan tersebut dari berbagai negara dan pemilik merek (mark-loan), tanggung jawab perusahaan Sritex terhadap lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan ekonomi di sekitar kawasan pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah patut diacungi jempol terbalik   kali 1.000!

Saya bandingkan dengan perusahaan-perusahaan berskala sedang dari klien-klien terdahulu saya, yang melaksanakan pengelolaan lingkungan (tanggung jawab lingkungan) dan pemberdayaan masyarakat (tanggung jawab sosial) dengan sebaik-baiknya, mengalokasikan sebagian dari keuntungan usaha bagi kemaslahatan masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi, sebagaimana diatur pemerintah dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007.

Hal itu terjadi, setelah pendiri PT Sri Rejeki Isman Tbk., Haji Mohammad Lukminto, yang jiwa sosialnya tinggi, wafat, dan tampuk kekuasaan tertinggi perusahaan diwariskan ke putra tertuanya. Benarlah anekdot tentang perjalanan bisnis: Kakek memulai usaha, ayah mengembangkan usaha, anak/cucu menghancurkan usaha. Fenomena tersebut biasanya disebabkan karena filosofi pendirian perusahaan (kalau Sritex: “Berbakti bagi Tanah Air”) tidak benar-benar diajarkan pendiri kepada keturunannya, melalui praktik langsung. Anak-cucu hanya melihat kenyataan sekarang bahwa orang tua/kakek-nenek mereka sudah sukses dan kaya-raya, tanpa menyadari bahwa kenyataan dahulu orang tua/kakek-nenek mereka berjuang keras benar-benar dari bawah.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 7 April 2018

No comments: