“Hidup adalah sebuah proses untuk menjadi, sebuah kombinasi keadaan yang
harus kita lalui. Kegagalan menimpa mereka yang memilih suatu keadaan dan
menetap di situ. Itulah kematian mereka.”
—Anais Nin
SUATU ketika, saat bersama keponakan dan ipar, ketika
masing-masing menikmati secangkir kopi putih yang dipredikat dengan nama “kopi luwak”, saya menjelaskan bahwa kini sulit diperoleh kopi luwak yang asli. Yang
saya maksud dengan “asli”, adalah kopi yang dibuat dari biji kopi yang
ditemukan dalam kotoran luwak yang sebelumnya telah menggunakan naluri
hewaniahnya untuk memilih biji kopi terbaik pada tanaman kopi, yang prosesnya
berlangsung sangat alami!
Tetapi dewasa ini, untuk kepentingan bisnis,
luwak-luwak dikandangkan dan diberi makan biji-biji kopi yang “dianggap”
terbaik oleh manusia. Dikandangkan sedemikian rupa, luwak-luwak tersebut
mengalami stres yang berefek pada kesehatan fisiknya, sehingga zat kimia dari
tubuhnya yang seyogianya berperan secara alami dalam memberi kualitas tertentu
pada biji kopi yang dimakannya, mengalami penurunan mutu. Benar, biji kopi
tetap ditemukan di antara kotoran luwak versi kandang tersebut, tetapi
kualitasnya dalam rasa jauh berbeda dari kualitas biji kopi yang dimakan luwak secara alami di alam bebas.
Dewasa ini, proses seringkali diabaikan, atau
diperpendek rentangnya, demi mengakomodasi budaya yang memuja yang serba
instan. Padahal, pemerkosaan proses menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan
di kemudian hari. Ini berlaku dalam hal apa saja. Pemerkosaan prosesmenimbulkan kerusakan di sistem sejak awal, yang seringkali tidak disadari oleh
pelaku. Dan biasanya ketika pelaku menyadarinya, segala sesuatunya sudah
terlalu rusak untuk bisa diperbaiki.
Saya pernah bekerja di sebuah biro iklan di Surabaya,
Jawa Timur, yang general manager-nya
adalah veteran dari sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, yang memaksakan
penerapan sistem-sistem mapan di tempatnya bekerja dahulu di biro iklan di
Surabaya tersebut. Dalam waktu yang tidak lama sejak saya bergabung—yang cuma
berbeda beberapa bulan dengan sang general manager, biro iklan itu terseok-seok jalannnya, dan akhirnya stagnan.
Dalam kritik saya kepada sang general manager di dalam rapat dengan para karyawan dan direksi,
saya memberi perumpamaan bahwa pemaksaan penerapan sistem-sistem itu tak
ubahnya memasang mesin Ferrari pada bajaj—alih-alih membuat bajaj berlari
kencang laksana Ferrari, malah membuatnya rontok di tengah jalan, lantaran bodi
bajaj tidak didesain secara aerodinamis untuk menghadapi kondisi melaju dalam
kecepatan tinggi. Tetapi saya tambahkan dalam pandangan saya atas keadaan biro iklan di Surabaya tersebut, bahwa sistem-sistem mapan tersebut baik dan tepat
untuk pengembangan bisnis, namun penerapannya tidak dapat dipaksakan, melainkan
secara bertahap melalui suatu proses yang bersama dengan itu sumber daya manusianya dapat menyesuaikan diri.
Belakangan ini, saya amati sejumlah bisnis yang
digawangi oleh orang-orang yang tidak memiliki visi, misi dan nilai yang jelas dan semata
mempertimbangkan keuntungan besar yang bakal diperoleh. Kebanyakan memang
meraup keuntungan besar, tetapi kebanyakan pula sifatnya taktis, berjangka
pendek, lantaran pengabaian atau pemerkosaan terhadap proses yang seharusnya
ditempuh untuk memperkuat sendi-sendi perusahaan telah membuat keuangan
perusahaan yang berasal dari modal awal mengalami salah kelola yang parah.
Perusahaan milik “mitra sinergis” saya, yang berbeda
badan hukum dengan perusahaan saya, menampilkan contoh seperti itu. Bergabung
bersama seorang desainer muda yang belum banyak pengalaman bisnisnya, melainkan
semata mengandalkan “pengalaman indra penglihatannya” di perusahaan-perusahaan
komunikasi pemasaran dan korporat yang pernah disinggahinya untuk waktu yang singkat,
kawan saya itu mengelola sebuah bisnis komunikasi korporat yang memiliki
ketidakjelasan visi, misi dan nilai. Bahkan sang desainer muda sempat mau nyontek bisnis inti saya, yaitu branding, tetapi ia batal melakukannya
setelah ia saya tantang wawasannya mengenai apa sejatinya branding itu.
Entah karena kelabakan menghadapi persaingan bisnis
yang cukup keras di industri komunikasi atau karena ia benar-benar tidak tahu
bahwa pertumbuhan bisnis membutuhkan proses yang tidak pendek, ia serta-merta
memanfaatkan keuntungan materi dari proyek-proyek ritel (taktis) untuk hal-hal
yang sebenarnya tidak terlalu perlu. Termasuk untuk meningkatkan citra dirinya
di mata klien, supaya tidak diremehkan, lewat pembelian gadget baru dan canggih (dan sudah pasti mahal harganya), sedangkan
yang lama masih dapat diandalkan untuk kelancaran pekerjaan. Akibatnya, enam
bulan sejak perusahaannya beroperasi, terjadi kesemrawutan dalam pengelolaan
keuangan, sehingga kawan saya terpaksa berutang ke sana ke mari. Setiap pemasukan
langsung ludes buat melunasi utang, sementara ia harus membayar gaji sejumlah
karyawan yang diperkerjakan mitranya lantaran mitranya begitu bernafsu membuat
bisnis mereka dicitrakan sebagai “raksasa nan hebat” lewat jumlah karyawan dan
teknologi high-end yang digunakannya.
Lihatlah gejala “pemerkosaan proses” yang juga berlaku
di jalan raya. Kini, banyak pengendara yang dimanjakan oleh kemudahan teknologi
sampai mereka pun melupakan (atau mengabaikan) proses yang harus mereka lalui
agar benar-benar mahir mengendarai kendaraan di jalan raya sekaligus menguasai
aturan-aturan yang berlaku. Dahulu, mendiang ayah saya bercerita bahwa untuk
memperoleh surat izin mengemudi (SIM), seseorang harus melalui serangkaian
proses yang cukup berat, tetapi berdampak positif dalam membentuk perilaku
pengemudi di jalan raya kelak setelah ia memperoleh SIM. Proses itu saking
memberatkan seorang calon pemegang SIM sampai-sampai membuat seorang pengendara
selalu waspada dan berhati-hati sekali ketika mengemudikan kendaraannya di
jalan raya lantaran khawatir SIM-nya, yang diperolehnya dengan susah-payah,
bakal dicabut bila ia melanggar. Proses membuat seorang pengendara memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dalam tindak-tanduknya di jalan raya. Dewasa
ini, proses tersebut telah dipersingkat, untuk memfasilitasi “generasi instan” dalam
memperoleh SIM mereka. Tidak mengherankan jika sekarang jalan raya sama mautnya
dengan medan perang!
Di ajang spiritualitas, gejala pemerkosaan proses juga
merajalela. Kalau sudah bicara uang, apa saja dikomersialkan, termasuk ranah
spiritual yang sesungguhnya merupakan “bawaan lahir” setiap manusia. Dengan
kata lain, kalau Anda menyadarinya, spiritualitas itu bekal gratis yang
diberikan Tuhan atas diri manusia, sehingga sungguh bodohlah Anda kalau harus
mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli “produk”
spiritual dari sesama manusia!
Parahnya, selain telah menjadi komoditi pasar,
spiritualitas juga dikerdilkan nilainya lewat pemerkosaan terhadap prosesnya.
Spiritualitas adalah suatu pertumbuhan batin manusia melalui proses yang
dinamai “hidup” dibarengi keinsafan akan eksistensi sebuah kekuatan yang
melampaui hidupnya. Sekalinya proses itu dipersingkat, Anda takkan mengalami
pertumbuhan batin tersebut, atau kalaupun mengalaminya sifatnya hanya
sementara, tidak langgeng. Namun, penyingkatan proses itulah yang justru marak
dewasa ini—lagi-lagi, demi mengakomodasi kebutuhan generasi instan yang maunya
serba cepat jadi. Pemerkosaan proses pertumbuhan spiritual biasanya
mengakibatkan si pelaku jadi hilang kewarasannya. Saya menyaksikan hal semacam
itu pada sejumlah kawan saya yang menempuh “jalan spiritual instan”.
Tidak akan ada
pertumbuhan yang sehat tanpa melewati proses. Sama seperti seorang bayi yang
dipaksa untuk berjalan sesaat setelah dilahirkan—yang terjadi adalah ia
mengalami kecacatan pada kakinya kelak.©
Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Januari
2014
1 comment:
this is great. if you make a book i'd be the first to order :)
Post a Comment