Sunday, January 5, 2014

Pemerkosaan Proses

“Hidup adalah sebuah proses untuk menjadi, sebuah kombinasi keadaan yang harus kita lalui. Kegagalan menimpa mereka yang memilih suatu keadaan dan menetap di situ. Itulah kematian mereka.”

—Anais Nin


SUATU ketika, saat bersama keponakan dan ipar, ketika masing-masing menikmati secangkir kopi putih yang dipredikat dengan nama “kopi luwak”, saya menjelaskan bahwa kini sulit diperoleh kopi luwak yang asli. Yang saya maksud dengan “asli”, adalah kopi yang dibuat dari biji kopi yang ditemukan dalam kotoran luwak yang sebelumnya telah menggunakan naluri hewaniahnya untuk memilih biji kopi terbaik pada tanaman kopi, yang prosesnya berlangsung sangat alami!

Tetapi dewasa ini, untuk kepentingan bisnis, luwak-luwak dikandangkan dan diberi makan biji-biji kopi yang “dianggap” terbaik oleh manusia. Dikandangkan sedemikian rupa, luwak-luwak tersebut mengalami stres yang berefek pada kesehatan fisiknya, sehingga zat kimia dari tubuhnya yang seyogianya berperan secara alami dalam memberi kualitas tertentu pada biji kopi yang dimakannya, mengalami penurunan mutu. Benar, biji kopi tetap ditemukan di antara kotoran luwak versi kandang tersebut, tetapi kualitasnya dalam rasa jauh berbeda dari kualitas biji kopi yang dimakan luwak secara alami di alam bebas.

Dewasa ini, proses seringkali diabaikan, atau diperpendek rentangnya, demi mengakomodasi budaya yang memuja yang serba instan. Padahal, pemerkosaan proses menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan di kemudian hari. Ini berlaku dalam hal apa saja. Pemerkosaan prosesmenimbulkan kerusakan di sistem sejak awal, yang seringkali tidak disadari oleh pelaku. Dan biasanya ketika pelaku menyadarinya, segala sesuatunya sudah terlalu rusak untuk bisa diperbaiki.

Saya pernah bekerja di sebuah biro iklan di Surabaya, Jawa Timur, yang general manager-nya adalah veteran dari sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, yang memaksakan penerapan sistem-sistem mapan di tempatnya bekerja dahulu di biro iklan di Surabaya tersebut. Dalam waktu yang tidak lama sejak saya bergabung—yang cuma berbeda beberapa bulan dengan sang general manager, biro iklan itu terseok-seok jalannnya, dan akhirnya stagnan.

Dalam kritik saya kepada sang general manager di dalam rapat dengan para karyawan dan direksi, saya memberi perumpamaan bahwa pemaksaan penerapan sistem-sistem itu tak ubahnya memasang mesin Ferrari pada bajaj—alih-alih membuat bajaj berlari kencang laksana Ferrari, malah membuatnya rontok di tengah jalan, lantaran bodi bajaj tidak didesain secara aerodinamis untuk menghadapi kondisi melaju dalam kecepatan tinggi. Tetapi saya tambahkan dalam pandangan saya atas keadaan biro iklan di Surabaya tersebut, bahwa sistem-sistem mapan tersebut baik dan tepat untuk pengembangan bisnis, namun penerapannya tidak dapat dipaksakan, melainkan secara bertahap melalui suatu proses yang bersama dengan itu sumber daya manusianya dapat menyesuaikan diri.

Belakangan ini, saya amati sejumlah bisnis yang digawangi oleh orang-orang yang tidak memiliki visi, misi dan nilai yang jelas dan semata mempertimbangkan keuntungan besar yang bakal diperoleh. Kebanyakan memang meraup keuntungan besar, tetapi kebanyakan pula sifatnya taktis, berjangka pendek, lantaran pengabaian atau pemerkosaan terhadap proses yang seharusnya ditempuh untuk memperkuat sendi-sendi perusahaan telah membuat keuangan perusahaan yang berasal dari modal awal mengalami salah kelola yang parah.

Perusahaan milik “mitra sinergis” saya, yang berbeda badan hukum dengan perusahaan saya, menampilkan contoh seperti itu. Bergabung bersama seorang desainer muda yang belum banyak pengalaman bisnisnya, melainkan semata mengandalkan “pengalaman indra penglihatannya” di perusahaan-perusahaan komunikasi pemasaran dan korporat yang pernah disinggahinya untuk waktu yang singkat, kawan saya itu mengelola sebuah bisnis komunikasi korporat yang memiliki ketidakjelasan visi, misi dan nilai. Bahkan sang desainer muda sempat mau nyontek bisnis inti saya, yaitu branding, tetapi ia batal melakukannya setelah ia saya tantang wawasannya mengenai apa sejatinya branding itu.

Entah karena kelabakan menghadapi persaingan bisnis yang cukup keras di industri komunikasi atau karena ia benar-benar tidak tahu bahwa pertumbuhan bisnis membutuhkan proses yang tidak pendek, ia serta-merta memanfaatkan keuntungan materi dari proyek-proyek ritel (taktis) untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu perlu. Termasuk untuk meningkatkan citra dirinya di mata klien, supaya tidak diremehkan, lewat pembelian gadget baru dan canggih (dan sudah pasti mahal harganya), sedangkan yang lama masih dapat diandalkan untuk kelancaran pekerjaan. Akibatnya, enam bulan sejak perusahaannya beroperasi, terjadi kesemrawutan dalam pengelolaan keuangan, sehingga kawan saya terpaksa berutang ke sana ke mari. Setiap pemasukan langsung ludes buat melunasi utang, sementara ia harus membayar gaji sejumlah karyawan yang diperkerjakan mitranya lantaran mitranya begitu bernafsu membuat bisnis mereka dicitrakan sebagai “raksasa nan hebat” lewat jumlah karyawan dan teknologi high-end yang digunakannya.

Lihatlah gejala “pemerkosaan proses” yang juga berlaku di jalan raya. Kini, banyak pengendara yang dimanjakan oleh kemudahan teknologi sampai mereka pun melupakan (atau mengabaikan) proses yang harus mereka lalui agar benar-benar mahir mengendarai kendaraan di jalan raya sekaligus menguasai aturan-aturan yang berlaku. Dahulu, mendiang ayah saya bercerita bahwa untuk memperoleh surat izin mengemudi (SIM), seseorang harus melalui serangkaian proses yang cukup berat, tetapi berdampak positif dalam membentuk perilaku pengemudi di jalan raya kelak setelah ia memperoleh SIM. Proses itu saking memberatkan seorang calon pemegang SIM sampai-sampai membuat seorang pengendara selalu waspada dan berhati-hati sekali ketika mengemudikan kendaraannya di jalan raya lantaran khawatir SIM-nya, yang diperolehnya dengan susah-payah, bakal dicabut bila ia melanggar. Proses membuat seorang pengendara memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam tindak-tanduknya di jalan raya. Dewasa ini, proses tersebut telah dipersingkat, untuk memfasilitasi “generasi instan” dalam memperoleh SIM mereka. Tidak mengherankan jika sekarang jalan raya sama mautnya dengan medan perang!

Di ajang spiritualitas, gejala pemerkosaan proses juga merajalela. Kalau sudah bicara uang, apa saja dikomersialkan, termasuk ranah spiritual yang sesungguhnya merupakan “bawaan lahir” setiap manusia. Dengan kata lain, kalau Anda menyadarinya, spiritualitas itu bekal gratis yang diberikan Tuhan atas diri manusia, sehingga sungguh bodohlah Anda kalau harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli produk” spiritual dari sesama manusia!

Parahnya, selain telah menjadi komoditi pasar, spiritualitas juga dikerdilkan nilainya lewat pemerkosaan terhadap prosesnya. Spiritualitas adalah suatu pertumbuhan batin manusia melalui proses yang dinamai “hidup” dibarengi keinsafan akan eksistensi sebuah kekuatan yang melampaui hidupnya. Sekalinya proses itu dipersingkat, Anda takkan mengalami pertumbuhan batin tersebut, atau kalaupun mengalaminya sifatnya hanya sementara, tidak langgeng. Namun, penyingkatan proses itulah yang justru marak dewasa ini—lagi-lagi, demi mengakomodasi kebutuhan generasi instan yang maunya serba cepat jadi. Pemerkosaan proses pertumbuhan spiritual biasanya mengakibatkan si pelaku jadi hilang kewarasannya. Saya menyaksikan hal semacam itu pada sejumlah kawan saya yang menempuh “jalan spiritual instan”.

Tidak akan ada pertumbuhan yang sehat tanpa melewati proses. Sama seperti seorang bayi yang dipaksa untuk berjalan sesaat setelah dilahirkan—yang terjadi adalah ia mengalami kecacatan pada kakinya kelak.©


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Januari 2014


1 comment:

faridz albam wiseso said...

this is great. if you make a book i'd be the first to order :)