Wednesday, February 10, 2010

Ketika Motivasi Berbicara

“Kita berbicara atas dasar prinsip, tetapi bertindak atas dasar motivasi.”
—Walter Savage Landor (1775-1864), penulis dan penyair Inggris

“Sukses bukanlah kunci menuju kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci
menuju sukses. Jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan, Anda akan sukses.”
—Albert Schweitzer (1875-1965), teolog, musikus, filsuf
dan dokter berdarah Jerman-Prancis



Tahun 1983, saat saya mengganti seragam putih-biru saya dengan putih-abu-abu, saya mulai berlatih seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Saya menekuninya selama dua puluh tahun, mulai dari sabuk putih hingga sabuk hitam Dan II. Selama itu, hanya sekali saya turun ke ajang pertandingan, yaitu kejuaraan daerah yunior. Kelas welter-nya saya menangkan secara WO (walkover), alias tidak ada lawan.

Mengapa saya tidak pernah ikut pertandingan, selain yang tersebut di atas, adalah karena fokus saya berlatih bela diri bukanlah untuk bertarung, baik di ajang olahraga maupun di jalanan, melainkan untuk mendalami filosofinya. Ketertarikan saya pada filsafat Zen dipicu oleh kegiatan bela diri Taekwondo. Saya sampai menggagas sebuah ekspresi filosofis – ”Tinggikan falsafahmu, bukan tendanganmu; keraskan otakmu, bukan tinjumu!” – yang ternyata manjur dalam memotivasi saya untuk terus bertaekwondo hingga dua puluh tahun lamanya. Dan saya bakal terus menekuninya andaikata saya tidak mengalami cedera lutut dan punggung.

Sesuatu yang unik saya tandai ketika saya masih giat bertaekwondo. Saya pernah ikut Pelatcab (pelatihan tingkat cabang) dalam rangka menyongsong kejuaraan daerah, di mana saya dan sejumlah peserta Pelatcab lainnya dilatih secara khusus dan intensif selama sebulan, empat kali seminggu, dengan titik berat pada kyoorugi (pertarungan), karena Taekwondo versi WTF (World Taekwondo Federation) yang bermarkas di Kukkiwon, Korea Selatan, bercirikan full-body contact sparring. Saya tandai, setiap kali saya membangkitkan motivasi untuk menang saat zazen (meditasi yang dilakukan taekwondoin sebelum dan sesudah berlatih), keseluruhan diri saya, lahir dan batin, ’bahu-membahu’ mewujudkan kesuksesan. Artinya, meski secara teknik dan taktik saya kalah dari lawan saya, namun sikap positif ’tidak mau berhenti berjuang’ terus membara.

Sebuah balchagi (tendangan sabit) sempat mengempaskan badan saya ke tanah, tetapi anehnya saya tidak merasa seberapa kesakitan. Saya kembali berdiri dengan tegar dan menyongsong lawan saya dengan semangat yang sama yang meliputi diri saya sejak semula. Semua itu terjadi, simpul saya di kemudian hari, ketika saya izinkan motivasi berbicara.

Sebaliknya, ketika kemalasan yang berbicara, maka kemunduran yang saya hadapi. Selama sebulan penuh berlatih intensif memang kadang mendatangkan kejemuan. Ketika saya dijamu jemu, diri saya didominasi pikiran-pikiran negatif: kekalahan, ketidakmampuan, keletihan. Bayangan-bayangan itu pula yang kemudian menjadi kenyataan ketika saya bertarung menghadapi lawan, yang membuat saya kelak membenarkan ungkapan ”Anda adalah seperti yang Anda pikirkan”. Tanpa diiringi motivasi untuk bertanding dan menjadi juara (walaupun kalah), saya selalu berakhir babak-belur, kesakitan, dan merasa kehilangan harga diri. Setiap kali terjerembab oleh sebab serangan lawan yang telak, saya merasa berat sekali untuk kembali tegar menghadapi lawan.

Motivasi mengandung janji atau harapan, juga kekuatan. Ia adalah perantara yang membuat usaha meluncur ke arah hasil. Berbekal motivasi yang mantap, semut dapat mengangkut gajah. Bangsa yang hidup di tanah yang gersang nan kerontang akan termotivasi untuk memeluk agama yang menjanjikan surga yang hijau dan sungai-sungai mengalir di bawahnya.

Pengalaman dua puluh tahun bertaekwondo menyadarkan saya akan pentingnya untuk selalu memotivasi diri agar tegar dalam segala upaya dan tantangan. Untuk dapat mewujudkan segala sesuatu yang Anda impikan, dan tidak menyerah dalam upaya tersebut, motivasi adalah energi terbesar dan terkuat. Motivasi bersifat bebas nilai; secara normatif, suatu motivasi mungkin bersifat negatif, tetapi abaikan itu bila tujuan yang ingin dicapai adalah kebaikan.

Kawan saya yang mengalami masalah dengan obesitas memotivasi dirinya dengan tekad pribadi bahwa jika dirinya berhasil melangsingkan tubuhnya ia akan bercinta dengan bintang porno asal Jepang, Miyabi. Kita boleh saja mengutuk motivasi semacam itu, tetapi sementara kita buang-buang waktu dan tenaga dengan mengutuk tingkah laku orang lain, kawan saya itu berhasil menggelontor lemak dari tubuhnya, dan bersamaan dengan itu ia dengan bersemangat terus mengatakan, ”Antara gue dan Miyabi tinggal sejengkal lagi.” Begitulah, ketika motivasi berbicara, semua kendala jadi sirna.©

No comments: