Monday, January 20, 2014

Interdependensi

“Seluruh gagasan tentang kasih sayang didasarkan pada kesadaran yang tajam mengenai saling ketergantungan antara semua makhluk hidup, yang merupakan bagian dari satu sama lain, dan semua yang terlibat dalam hubungan satu sama lain.”

—Thomas Merton, penulis dan mistikus Amerika berdarah Inggris



SAYA punya kebiasaan menggunduli rambut saya hingga kepala saya plontos setiap satu setengah bulan sekali. Mengapa satu setengah bulan? Tidak lain dan tidak bukan lantaran selama rentang waktu itulah rambut saya tumbuh dan membuat kepala saya tak ubahnya rumput liar yang tak terurus. Saya pernah dan sering berharap kepala saya tetap plontos untuk selamanya, agar tak usah pergi ke tukang pangkas rambut setiap setengah bulan sekali, dan tidak perlu bersusah-payah merawat rambut saya.

Nah, hari Minggu, 19 Januari 2014, yang lalu, saya kembali mendatangi tukang pangkas rambut langganan saya untuk menggunduli kepala saya. Tukang pangkas rambut langganan saya ini seorang pria yang ramah, yang selalu mengajak pelanggannya mengobrol tentang berbagai persoalan aktual sambil sesekali melempar pandang ke pesawat televisi di sudut kedai cukur itu yang dipasangi televisi kabel, sehingga selagi dicukur pelanggan dapat menikmati hiburan yang disajikan di televisi.

Hari Minggu itu, obrolan saya dan si tukang pangkas rambut seputar banjir yang sedang melanda Jakarta. Ia menyatakan pendapatnya bahwa penggundulan hutan merupakan salah satu penyebab banjir dan tanah longsor. Menanggapinya, saya berseloroh bahwa kepala saya bila digunduli tidak akan menyebabkan banjir keringat, malah menyejukkan kepala saya. Saya juga berkata, “Saya berharap kepala saya plontos untuk selamanya, nggak perlu tumbuh lagi rambut di atasnya.”

Mengomentari perkataan saya, si tukang pangkas rambut itu, sambil mencukur sisa-sisa rambut di kepala saya, berujar, “Ah, jangan selamanyalah. Nanti tukang pangkas kehilangan rezeki.” Saya sempat tertegun mendengar kata-katanya, dan terbawa ke suasana permenungan. Betapa semua makhluk memiliki interdependensi atau saling ketergantungan untuk bisa sintas (survive) dalam perjalanan hidupnya. Bukan cuma manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan lingkungannya; juga satu jenis hewan dengan jenis hewan lainnya, dan antara hewan dengan habitat atau alamnya. 

Interdependensi merupakan suatu hubungan di mana satu orang saling terhubung pada orang(-orang) lainnya. Konsep ini berbeda dari hubungan yang bersifat dependen, di mana beberapa orang bersifat dependen sedangkan beberapa lainnya tidak. Dalam hubungan yang interdependen, para peserta dapat menggantungkan diri mereka satu sama lain secara emosional, ekonomi, ekologi dan/atau moral dan bertanggung jawab satu sama lain. Sebagian orang mendukung kebebasan atau kemerdekaan (independence) sebagai kebaikan yang utama; sebagian lainnya melakukan hal yang sama dengan mengabdikannya untuk keluarga, komunitas atau masyarakat. Interdependensi dapat menjadi landasan yang sama di antara kedua aspirasi ini.

Itu teorinya. Secara praktik, pada dasarnya, manusia tidak bisa melepaskan diri dari interdependensi. Tidak ada manusia yang bisa hidup seorang diri tanpa dukungan emosional dan ekonomi dari orang lain atau dari lingkungan hidupnya. Penyair berkebangsaan Inggris, John Donne (1572-1631), menulis dalam salah satu puisinya bahwa “Tiada manusia yang merupakan pulau, berdiri sendirian. Setiap orang merupakan potongan dari daratan, bagian dari yang utama.”

Kita semua saling membutuhkan, bahkan untuk hal-hal yang dipandang sepele, seperti saya dan tukang pangkas rambut di atas. Ketika pada bulan Desember 2009 saya memenuhi undangan bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk bersama beliau dan jajarannya mengunjungi satu-satunya distrik di Kabupaten Jayapura, Papua, yang paling terpencil dan terletak di tepi Sungai Mamberamo, saya belajar sesuatu tentang pentingnya interdependensi manusia dengan lingkungan hidupnya. Tetua kampung yang saya kunjungi bercerita tentang filosofi masyarakat Mamberamo dan sungainya, “Ambillah seperlunya dari alam. Jangan asal ambil tanpa memikirkan keseimbangannya. Kalau kita tidak mempedulikan orang lain atau alam, orang lain dan alam pun tidak akan mempedulikan kita. Kita saling bergantung satu sama lain—itu yang membuat alam seimbang dan berkelanjutan!”

Interdependensi tampaknya merupakan hukum alam atau kodrat Ilahi. Kesalingtergantungan ini, bila dibangun dan dilestarikan, akan menampakkan kehadiran sejati Tuhan—bahwa makhluk, hidup atau mati, merupakan bagian terpadu dari diriNya. Dalam kehidupan manusia, kebencian atau ketiadaan kasih sayanglah yang merusak keberadaan interdependensi, yang perlahan akan membunuh manusia yang menafikannya. Pendek kata, demi kesintasan kita yang berkelanjutan, kita amat tergantung pada kesalingtergantungan.©


Kalibata, Jakarta Selatan, 20 Januari 2014 

Tuesday, January 7, 2014

Bersamamu, Di Sini dan Selamanya

Kebersamaan kita mengajarkanku mencintai dengan setia
Aku belajar tak kenal waktu dan ruang tentang hidup
senapas dengan nada bicaramu yang bersyair
Di sini, di balik dadaku bersemayam sebuah nama
yang tiap kali kuucap menyamai sebuah ungkapan rasa
Rasa tentang kerinduan yang takkan luruh bersama waktu

Kudengar tiup angin yang mengabari
setiap detak jantungmu yang menyuarakan rindu
dari kejauhan yang tak dapat kuukur dengan mistar
seberapa pun panjangnya jarak memisahkan,
namun dekap hangat gelora jiwaku dapat
mendekatkan bentang panjang menjadi sejengkal napas kita

Begitu besar aku merindu, begitu dalam aku mencintaimu
Seperti kata yang tak kenal akhir,
di situ aku mengalun bersama denting genta
yang bergetar seirama langit biru indah di dalam jiwa kita
selamanya….



Jakarta Selatan, 23 Desember 2013

Sunday, January 5, 2014

Pemerkosaan Proses

“Hidup adalah sebuah proses untuk menjadi, sebuah kombinasi keadaan yang harus kita lalui. Kegagalan menimpa mereka yang memilih suatu keadaan dan menetap di situ. Itulah kematian mereka.”

—Anais Nin


SUATU ketika, saat bersama keponakan dan ipar, ketika masing-masing menikmati secangkir kopi putih yang dipredikat dengan nama “kopi luwak”, saya menjelaskan bahwa kini sulit diperoleh kopi luwak yang asli. Yang saya maksud dengan “asli”, adalah kopi yang dibuat dari biji kopi yang ditemukan dalam kotoran luwak yang sebelumnya telah menggunakan naluri hewaniahnya untuk memilih biji kopi terbaik pada tanaman kopi, yang prosesnya berlangsung sangat alami!

Tetapi dewasa ini, untuk kepentingan bisnis, luwak-luwak dikandangkan dan diberi makan biji-biji kopi yang “dianggap” terbaik oleh manusia. Dikandangkan sedemikian rupa, luwak-luwak tersebut mengalami stres yang berefek pada kesehatan fisiknya, sehingga zat kimia dari tubuhnya yang seyogianya berperan secara alami dalam memberi kualitas tertentu pada biji kopi yang dimakannya, mengalami penurunan mutu. Benar, biji kopi tetap ditemukan di antara kotoran luwak versi kandang tersebut, tetapi kualitasnya dalam rasa jauh berbeda dari kualitas biji kopi yang dimakan luwak secara alami di alam bebas.

Dewasa ini, proses seringkali diabaikan, atau diperpendek rentangnya, demi mengakomodasi budaya yang memuja yang serba instan. Padahal, pemerkosaan proses menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan di kemudian hari. Ini berlaku dalam hal apa saja. Pemerkosaan prosesmenimbulkan kerusakan di sistem sejak awal, yang seringkali tidak disadari oleh pelaku. Dan biasanya ketika pelaku menyadarinya, segala sesuatunya sudah terlalu rusak untuk bisa diperbaiki.

Saya pernah bekerja di sebuah biro iklan di Surabaya, Jawa Timur, yang general manager-nya adalah veteran dari sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, yang memaksakan penerapan sistem-sistem mapan di tempatnya bekerja dahulu di biro iklan di Surabaya tersebut. Dalam waktu yang tidak lama sejak saya bergabung—yang cuma berbeda beberapa bulan dengan sang general manager, biro iklan itu terseok-seok jalannnya, dan akhirnya stagnan.

Dalam kritik saya kepada sang general manager di dalam rapat dengan para karyawan dan direksi, saya memberi perumpamaan bahwa pemaksaan penerapan sistem-sistem itu tak ubahnya memasang mesin Ferrari pada bajaj—alih-alih membuat bajaj berlari kencang laksana Ferrari, malah membuatnya rontok di tengah jalan, lantaran bodi bajaj tidak didesain secara aerodinamis untuk menghadapi kondisi melaju dalam kecepatan tinggi. Tetapi saya tambahkan dalam pandangan saya atas keadaan biro iklan di Surabaya tersebut, bahwa sistem-sistem mapan tersebut baik dan tepat untuk pengembangan bisnis, namun penerapannya tidak dapat dipaksakan, melainkan secara bertahap melalui suatu proses yang bersama dengan itu sumber daya manusianya dapat menyesuaikan diri.

Belakangan ini, saya amati sejumlah bisnis yang digawangi oleh orang-orang yang tidak memiliki visi, misi dan nilai yang jelas dan semata mempertimbangkan keuntungan besar yang bakal diperoleh. Kebanyakan memang meraup keuntungan besar, tetapi kebanyakan pula sifatnya taktis, berjangka pendek, lantaran pengabaian atau pemerkosaan terhadap proses yang seharusnya ditempuh untuk memperkuat sendi-sendi perusahaan telah membuat keuangan perusahaan yang berasal dari modal awal mengalami salah kelola yang parah.

Perusahaan milik “mitra sinergis” saya, yang berbeda badan hukum dengan perusahaan saya, menampilkan contoh seperti itu. Bergabung bersama seorang desainer muda yang belum banyak pengalaman bisnisnya, melainkan semata mengandalkan “pengalaman indra penglihatannya” di perusahaan-perusahaan komunikasi pemasaran dan korporat yang pernah disinggahinya untuk waktu yang singkat, kawan saya itu mengelola sebuah bisnis komunikasi korporat yang memiliki ketidakjelasan visi, misi dan nilai. Bahkan sang desainer muda sempat mau nyontek bisnis inti saya, yaitu branding, tetapi ia batal melakukannya setelah ia saya tantang wawasannya mengenai apa sejatinya branding itu.

Entah karena kelabakan menghadapi persaingan bisnis yang cukup keras di industri komunikasi atau karena ia benar-benar tidak tahu bahwa pertumbuhan bisnis membutuhkan proses yang tidak pendek, ia serta-merta memanfaatkan keuntungan materi dari proyek-proyek ritel (taktis) untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu perlu. Termasuk untuk meningkatkan citra dirinya di mata klien, supaya tidak diremehkan, lewat pembelian gadget baru dan canggih (dan sudah pasti mahal harganya), sedangkan yang lama masih dapat diandalkan untuk kelancaran pekerjaan. Akibatnya, enam bulan sejak perusahaannya beroperasi, terjadi kesemrawutan dalam pengelolaan keuangan, sehingga kawan saya terpaksa berutang ke sana ke mari. Setiap pemasukan langsung ludes buat melunasi utang, sementara ia harus membayar gaji sejumlah karyawan yang diperkerjakan mitranya lantaran mitranya begitu bernafsu membuat bisnis mereka dicitrakan sebagai “raksasa nan hebat” lewat jumlah karyawan dan teknologi high-end yang digunakannya.

Lihatlah gejala “pemerkosaan proses” yang juga berlaku di jalan raya. Kini, banyak pengendara yang dimanjakan oleh kemudahan teknologi sampai mereka pun melupakan (atau mengabaikan) proses yang harus mereka lalui agar benar-benar mahir mengendarai kendaraan di jalan raya sekaligus menguasai aturan-aturan yang berlaku. Dahulu, mendiang ayah saya bercerita bahwa untuk memperoleh surat izin mengemudi (SIM), seseorang harus melalui serangkaian proses yang cukup berat, tetapi berdampak positif dalam membentuk perilaku pengemudi di jalan raya kelak setelah ia memperoleh SIM. Proses itu saking memberatkan seorang calon pemegang SIM sampai-sampai membuat seorang pengendara selalu waspada dan berhati-hati sekali ketika mengemudikan kendaraannya di jalan raya lantaran khawatir SIM-nya, yang diperolehnya dengan susah-payah, bakal dicabut bila ia melanggar. Proses membuat seorang pengendara memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam tindak-tanduknya di jalan raya. Dewasa ini, proses tersebut telah dipersingkat, untuk memfasilitasi “generasi instan” dalam memperoleh SIM mereka. Tidak mengherankan jika sekarang jalan raya sama mautnya dengan medan perang!

Di ajang spiritualitas, gejala pemerkosaan proses juga merajalela. Kalau sudah bicara uang, apa saja dikomersialkan, termasuk ranah spiritual yang sesungguhnya merupakan “bawaan lahir” setiap manusia. Dengan kata lain, kalau Anda menyadarinya, spiritualitas itu bekal gratis yang diberikan Tuhan atas diri manusia, sehingga sungguh bodohlah Anda kalau harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli produk” spiritual dari sesama manusia!

Parahnya, selain telah menjadi komoditi pasar, spiritualitas juga dikerdilkan nilainya lewat pemerkosaan terhadap prosesnya. Spiritualitas adalah suatu pertumbuhan batin manusia melalui proses yang dinamai “hidup” dibarengi keinsafan akan eksistensi sebuah kekuatan yang melampaui hidupnya. Sekalinya proses itu dipersingkat, Anda takkan mengalami pertumbuhan batin tersebut, atau kalaupun mengalaminya sifatnya hanya sementara, tidak langgeng. Namun, penyingkatan proses itulah yang justru marak dewasa ini—lagi-lagi, demi mengakomodasi kebutuhan generasi instan yang maunya serba cepat jadi. Pemerkosaan proses pertumbuhan spiritual biasanya mengakibatkan si pelaku jadi hilang kewarasannya. Saya menyaksikan hal semacam itu pada sejumlah kawan saya yang menempuh “jalan spiritual instan”.

Tidak akan ada pertumbuhan yang sehat tanpa melewati proses. Sama seperti seorang bayi yang dipaksa untuk berjalan sesaat setelah dilahirkan—yang terjadi adalah ia mengalami kecacatan pada kakinya kelak.©


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Januari 2014