Wednesday, February 10, 2010

Kutukan Portfolio

“Para pemimpin efektif menciptakan iklim di mana nilai orang ditentukan oleh kemauan mereka untuk mempelajari keahlian-keahlian baru dan menerima tugas-tugas baru, sehingga terus-menerus memperbarui pekerjaan mereka. Pertanyaan terpenting dalam evaluasi kinerja bukanlah ‘Seberapa baik Anda melakukan pekerjaan Anda sejak terakhir kali kita bertemu?’ melainkan ‘Seberapa banyak Anda mengubahnya?’.”
—Colin Powell, mantan Kepala Gabungan Kepala Staf dan
mantan Menteri Luar Negeri AS ke-65


Suatu hari, seorang kawan mengunjungi saya di kantor. Ia melihat-lihat rak buku yang berisi koleksi saya maupun rekan saya dan mengambil buku kecil tentang ancangan (positioning), kalau tidak salah karya Hermawan Kartajaya (saya tidak ingat lantaran sejak itu buku yang belum pernah selesai saya baca itu tidak lagi bertengger di rak buku tersebut). Di dalam buku tersebut, dibahas strategi ancangan dari sejumlah perusahaan yang menelurkan sukses besar bagi pemasaran mereka.

Saya, yang memahami bahwa dalam hidup ini yang pasti hanyalah ketidakpastian, iseng bertanya pada kawan tersebut, “Lu tau nggak buku apa itu?”

“Buku pemasaran, tentu saja. Isinya tentang strategi positioning yang menunjang pemasaran produk atau jasa,” jawab kawan saya, yakin.

“Salah!” tandas saya. “Itu buku sejarah. Yang berlaku di situ adalah untuk masa sebelum buku itu ditulis. Sebagai penambah wawasan fine-fine aja, tapi kalau lu anggap apa yang tertulis di situ bisa diaplikasikan dewasa ini, wah lu keliru. Lu perlu penyesuaian dulu dengan keadaan zaman sekarang.”

Sebagai penulis naskah iklan (copywriter), sejak karir saya masih di anak tangga pertama, saya sudah rajin mengumpulkan dan menyimpan dengan baik karya-karya iklan cetak, radio dan televisi yang naskahnya saya tulis. Resume saya pun tertatahkan dengan lebih dari seratus merek yang pernah saya tangani pekerjaan komunikasi pemasaran dan korporatnya. Akhir-akhir ini, saya menyadari bahwa itu semua tidak terlalu berguna. Saya bukan orang yang sama, dengan kualitas yang sama seperti lima belas tahun yang lalu – bisa meningkat atau pun menurun, yang tidak bisa ditentukan oleh seberapa sukses pekerjaan yang saya lakukan beberapa tahun yang telah lewat.

Dengan cara seperti itu pula saya menilai orang; bukan dari masa lalunya, melainkan seperti apa dan bagaimana dirinya sekarang. Menilai seseorang dari keadaannya di masa lalu malah acap mencelakakan kita. Saya pernah, ketika menjadi pengarah kreatif (creative director) begitu yakin akan kemampuan seorang (yang melamar sebagai) pengarah seni (art director), lantaran melihat portfolio desain iklan-iklannya yang wah, canggih, dan futuristik. Kenyataannya, dalam bekerja ia sangat payah, tidak fokus dalam berkonsep, dan mengabaikan kerja tim, yang akhirnya membuat saya menduga bahwa portfolionya milik orang lain. (Saya tak sengaja menemukan bukti bahwa salah satu karya yang diakui sebagai hasil pekerjaannya ternyata ia tiru mentah-mentah dari iklan luar negeri pemenang penghargaan). Saya telah terkena kutukan portfolio.

Kalau Anda terpaku pada ‘kejayaan masa lalu’ Anda untuk menghadapi segala sesuatu pada masa kini, sesungguhnya itu yang dinamakan kaum beragama sebagai ‘mendahului kehendak Tuhan’, alias takabur. Baru-baru ini, seorang saudara Subud saya yang merasa diejek kemampuannya oleh saya terkait sebuah perhelatan bertaraf kecil yang sedang digarapnya, menegaskan (dalam SMS-nya yang berbunyi): “Pegang kongres nasional aja beres tanpa Anda, apalagi steering committee musyawarah nasional, Cak.” Ini adalah contoh ekspresi ketakaburan. Tinimbang membesar-besarkan yang sudah lewat, lebih baik merendahkan hati di hadapanNya.

Kita semua, saya kira, punya portfolio kehidupan – yang merupakan daftar perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan kita di masa lalu, namun janganlah hal itu menghambat atau mencelakakan diri kita sekarang. Masing-masing kita punya seabrek potensi yang menanti untuk dimanifestasi. Jangan karena kita merasa tidak punya pengalaman tertentu di portfolio kehidupan kita, kita menolak untuk mencoba hal-hal baru dewasa ini yang justru akan mengantarkan pembelajaran berharga bagi kita. Atau, sebaliknya, mentang-mentang kita pernah sukses mengerjakan sesuatu di masa lalu, lantas kita berhak merasa pasti berhasil pula di masa kini.

Kosongkan diri dari pikiran, perbuatan atau paradigma yang hanya berlaku di masa lalu. Kita takkan pernah tahu apa yang menanti di muka, kecuali tantangan-tantangan baru yang kita tidak tahu bentuk dan sifatnya seperti apa. Masa lalu adalah pembelajaran, bukan panduan pasti yang dapat kita jadikan pegangan untuk melangkah di hari ini. Abaikan portfolio hidup Anda, karena tanpa memperlakukannya dengan bijak, hal itu hanya akan mendatangkan kutukan.©

Ketika Motivasi Berbicara

“Kita berbicara atas dasar prinsip, tetapi bertindak atas dasar motivasi.”
—Walter Savage Landor (1775-1864), penulis dan penyair Inggris

“Sukses bukanlah kunci menuju kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci
menuju sukses. Jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan, Anda akan sukses.”
—Albert Schweitzer (1875-1965), teolog, musikus, filsuf
dan dokter berdarah Jerman-Prancis



Tahun 1983, saat saya mengganti seragam putih-biru saya dengan putih-abu-abu, saya mulai berlatih seni bela diri asal Korea, Taekwondo. Saya menekuninya selama dua puluh tahun, mulai dari sabuk putih hingga sabuk hitam Dan II. Selama itu, hanya sekali saya turun ke ajang pertandingan, yaitu kejuaraan daerah yunior. Kelas welter-nya saya menangkan secara WO (walkover), alias tidak ada lawan.

Mengapa saya tidak pernah ikut pertandingan, selain yang tersebut di atas, adalah karena fokus saya berlatih bela diri bukanlah untuk bertarung, baik di ajang olahraga maupun di jalanan, melainkan untuk mendalami filosofinya. Ketertarikan saya pada filsafat Zen dipicu oleh kegiatan bela diri Taekwondo. Saya sampai menggagas sebuah ekspresi filosofis – ”Tinggikan falsafahmu, bukan tendanganmu; keraskan otakmu, bukan tinjumu!” – yang ternyata manjur dalam memotivasi saya untuk terus bertaekwondo hingga dua puluh tahun lamanya. Dan saya bakal terus menekuninya andaikata saya tidak mengalami cedera lutut dan punggung.

Sesuatu yang unik saya tandai ketika saya masih giat bertaekwondo. Saya pernah ikut Pelatcab (pelatihan tingkat cabang) dalam rangka menyongsong kejuaraan daerah, di mana saya dan sejumlah peserta Pelatcab lainnya dilatih secara khusus dan intensif selama sebulan, empat kali seminggu, dengan titik berat pada kyoorugi (pertarungan), karena Taekwondo versi WTF (World Taekwondo Federation) yang bermarkas di Kukkiwon, Korea Selatan, bercirikan full-body contact sparring. Saya tandai, setiap kali saya membangkitkan motivasi untuk menang saat zazen (meditasi yang dilakukan taekwondoin sebelum dan sesudah berlatih), keseluruhan diri saya, lahir dan batin, ’bahu-membahu’ mewujudkan kesuksesan. Artinya, meski secara teknik dan taktik saya kalah dari lawan saya, namun sikap positif ’tidak mau berhenti berjuang’ terus membara.

Sebuah balchagi (tendangan sabit) sempat mengempaskan badan saya ke tanah, tetapi anehnya saya tidak merasa seberapa kesakitan. Saya kembali berdiri dengan tegar dan menyongsong lawan saya dengan semangat yang sama yang meliputi diri saya sejak semula. Semua itu terjadi, simpul saya di kemudian hari, ketika saya izinkan motivasi berbicara.

Sebaliknya, ketika kemalasan yang berbicara, maka kemunduran yang saya hadapi. Selama sebulan penuh berlatih intensif memang kadang mendatangkan kejemuan. Ketika saya dijamu jemu, diri saya didominasi pikiran-pikiran negatif: kekalahan, ketidakmampuan, keletihan. Bayangan-bayangan itu pula yang kemudian menjadi kenyataan ketika saya bertarung menghadapi lawan, yang membuat saya kelak membenarkan ungkapan ”Anda adalah seperti yang Anda pikirkan”. Tanpa diiringi motivasi untuk bertanding dan menjadi juara (walaupun kalah), saya selalu berakhir babak-belur, kesakitan, dan merasa kehilangan harga diri. Setiap kali terjerembab oleh sebab serangan lawan yang telak, saya merasa berat sekali untuk kembali tegar menghadapi lawan.

Motivasi mengandung janji atau harapan, juga kekuatan. Ia adalah perantara yang membuat usaha meluncur ke arah hasil. Berbekal motivasi yang mantap, semut dapat mengangkut gajah. Bangsa yang hidup di tanah yang gersang nan kerontang akan termotivasi untuk memeluk agama yang menjanjikan surga yang hijau dan sungai-sungai mengalir di bawahnya.

Pengalaman dua puluh tahun bertaekwondo menyadarkan saya akan pentingnya untuk selalu memotivasi diri agar tegar dalam segala upaya dan tantangan. Untuk dapat mewujudkan segala sesuatu yang Anda impikan, dan tidak menyerah dalam upaya tersebut, motivasi adalah energi terbesar dan terkuat. Motivasi bersifat bebas nilai; secara normatif, suatu motivasi mungkin bersifat negatif, tetapi abaikan itu bila tujuan yang ingin dicapai adalah kebaikan.

Kawan saya yang mengalami masalah dengan obesitas memotivasi dirinya dengan tekad pribadi bahwa jika dirinya berhasil melangsingkan tubuhnya ia akan bercinta dengan bintang porno asal Jepang, Miyabi. Kita boleh saja mengutuk motivasi semacam itu, tetapi sementara kita buang-buang waktu dan tenaga dengan mengutuk tingkah laku orang lain, kawan saya itu berhasil menggelontor lemak dari tubuhnya, dan bersamaan dengan itu ia dengan bersemangat terus mengatakan, ”Antara gue dan Miyabi tinggal sejengkal lagi.” Begitulah, ketika motivasi berbicara, semua kendala jadi sirna.©