TAHUN 1992, saya mendekati cewek cantik yang berstatus mahasiswi baru Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan tahun itu. Kami berkenalan ketika saya menjadi Pengawas Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di SMA Negeri 45 Kelapagading, Jakarta Utara, sementara dia salah satu peserta di kelas yang saya awasi. Nomor telepon rumahnya saya dapat dari kartu peserta UMPTN yang dikumpulkan di Pengawas.
Dalam obrolan intens via telepon—seminggu bisa dua kali, terungkap bahwa dia menyukai cowok yang bisa masak. Saya bercerita ke dia bahwa saya bisa dan suka masak.
“Masak apa? Air? Semua orang juga bisa!” katanya dengan nada bercanda diiringi tawa renyah yang membuat jantung saya berdebar.
“Nasi goreng,” jawab saya.
“Halah, nasi goreng. Itu mah gampang, anak TK juga bisa!” kata dia lagi, dibarengi tawa renyah lagi.
Saya tidak mampu meneruskan dengan alasan-alasan lain untuk membantah pendapatnya bahwa semua orang bisa masak nasi goreng. Dulu, saya masih dungu, dengan otak penat dan perasaan yang terbelenggu rasa malu yang terlalu.
Kalau kini
saya bertemu dia lagi, akan saya katakan padanya, “Eh, bikin nasi goreng memang
semua orang bisa, tapi nggak semua
orang bisa bikin nasi goreng lezat yang disuka banyak orang.”©2024
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Desember 2024
No comments:
Post a Comment