HARI Minggu, 1 Desember 2024, saat ke Wisma Subud Bogor, saya berjumpa dengan Stuart Cooke, orang Subud Amerika yang sudah lama bermukim di Indonesia, bahkan beristrikan wanita Indonesia. Ketika ia baru tiba di Wisma Subud Bogor dan saat bersalaman dengan saya, saya membisiki di telinganya bahwa saya sudah tidak tahan dengan kegilaan di Subud, dan berencana akan mundur dari semua kegiatan Subud, kecuali Latihan Kejiwaan.
Stuart berkata bahwa saya tidak akan bisa meninggalkan kegiatan di Subud, apalagi ia tahu bahwa perkataan saya itu didasari oleh nafsu, karena marah terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Semua yang saya lihat, baik langsung maupun tidak langsung (dari cerita anggota-anggota lainnya) membuat saya “sakit”—saya jadi mudah merasakan kekecewaan, kemarahan, kesedihan; semua itu melemahkan saya. Saya memang terlalu terlibat di Subud—hal itu boleh saja selama kita kuat menghadapi terjangan daya-daya yang bermain di dalamnya.
Banyak pengurus maupun pembantu pelatih yang telah keluar dari prinsip-prinsip yang telah digariskan Bapak, yang pada gilirannya merugikan anggota. Anggota seolah menjadi mainan dari ketidakbecusan pengurus dan pembantu pelatih dalam mengelola perkumpulan. Hal ini yang menjadi fokus saya belakangan ini; saya memasukkan emosi saya ke dalamnya dan ini berbahaya sebenarnya.
Dulu, ketika baru dibuka, saya memang pernah dinasihati oleh Pembantu Pelatih Daerah Cabang Surabaya saat itu, Pak RB Soejanto Luwihardjo, agar tidak mengkritik atau menanggapi dengan buruk apapun perilaku yang diperlihatkan anggota lain maupun pembantu pelatih, karena hal itu “mengotori diri” kita. Benar nasihat dari salah satu pembantu pelatih yang menyaksikan pembukaan saya itu. Saya merasakan “sakit” yang tidak jelas pada diri saya.
Dalam perenungan-perenungan saya belakangan ini, saya terbawa ke ingatan pada ceramah Ibu Rahayu saat likuran Ramadan tahun 2017, kalau saya tidak salah, bahwa diri kita ibarat botol yang bagian dalamnya sudah menampung begitu banyak kekotoran hingga berkerak-kerak. Pembersihannya membutuhkan waktu yang lama dan menyakitkan, karena untuk melepas kerak-kerak itu cara menyikat yang kencang dan keras serta membutuhkan sikat kawat yang menyakitkan jika digosokkan ke badan kita.
Mungkin itu yang sedang saya alami belakangan ini. Diri saya dibersihkan dengan sikat kawat dan dengan kencang nan keras, sehingga terasa diri saya kesakitan secara rasa perasaan. Namun, saya hanya bisa berserah diri saja, melalui prosesnya dengan sabar, tawakal dan ikhlas, walaupun kadang saya tidak tahan.
Saya tidak boleh merasa frustrasi dengan semua ini. Saya malah menyadari ini sebagai “latihan kebugaran” yang sangat baik untuk jiwa saya. Terkadang saya hanya ingin lari dari semua ini, tetapi bimbingan itu mencegah saya. Tetapi yang jelas, saya jadi tahu bahwa kekotoran di pribadi saya sudah berkerak-kerak, yang harus dibersihkan agar saya memiliki wadah yang luas dan bersih untuk menerima kemurahan Tuhan yang tiada batasnya.
Kemarin malam, saat menunggu
jamnya Latihan bersama di Wisma Barata Pamulang, saya menerima bahwa
seberat-beratnya menghadapi perilaku orang lain, lebih berat menghadapi diri
sendiri. Jiwa saya membimbing saya kepada pengertian agar saya terpusat saja pada
diri saya sendiri, tidak usah terlalu memperhatikan orang-orang atau
kejadian-kejadian di perputaran hidup saya. Sehingga saya memiliki energi lebih
banyak untuk menghadapi diri sendiri saat melalui proses pembersihan ini.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 5 Desember 2024
No comments:
Post a Comment