Monday, December 16, 2024

Sejalan (Atau Tidak)

 


PADA 15 Desember 2024 lalu di Rumah Wing Bodies, kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C, digelar lokakarya psikologi bertema “Mindfulness”, yang dibawakan oleh seorang psikolog yang juga anggota Subud. Penyelenggaranya adalah Komunitas Bunga Bangsa di bawah naungan Subud International Cultural Association (SICA) Indonesia.

Sejak menerima kiriman poster lokakarya tersebut melalui WhatsApp, saya sudah merasa tidak berkenan untuk menghadirinya, karena mindfulness merupakan salah satu cabang meditasi yang tentu saja bertentangan dengan Latihan Kejiwaan Subud. Melakukannya sama saja dengan yang oleh Bapak disebut mixing. Pembantu pelatih, utamanya, dilarang keras mempraktikkan meditasi, yoga, okultisme dan sejenisnya.

Tetapi ternyata ada dua pembantu pelatih, pria dan wanita, dari Cabang Jakarta Selatan, yang tidak saja menghadiri lokakarya tersebut namun turut pula melakukan “praktik terlarang” itu. Itulah pemicu kegegeran di lingkungan Subud Indonesia. Keterlibatan para pembantu pelatih itu diketahui dari viralnya video acara tersebut yang dibuat oleh ketua Komunitas Bunga Bangsa, yang dengan kepolosannya (karena anggota baru; baru beberapa bulan di Subud) merekam kegiatan lokakarya dengan kamera video di ponselnya serta mempostingnya di grup WhatsApp komunitas.

Apakah mindfulness atau kewawasan itu, dan di mana letak perbedaannya dengan Latihan Kejiwaan, serta mengapa sebaiknya tidak mencampurkan meditasi—dan praktik-praktik lainnya—dengan Latihan?

Menurut Wikipedia, kewawasan atau perhatian penuh (bahasa Inggris: mindfulness) adalah suatu praktik atau terapi yang dilakukan untuk mengobati pikiran dan tubuh berdasarkan teknik meditasi Buddha yang kemudian dipopulerkan oleh Jon Kabat Zinn, seorang peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts, Amerika Serikat. Kewawasan ini telah terbukti secara ilmiah dapat mengobati depresi, kecemasan, penyakit dalam, penyalahgunaan obat, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan saat sedang melakukan meditasi kewawasan, pasien akan lebih menyadari siklus tubuhnya dan fokus pada pikirannya.

Kewawasan menggunakan teknik meditasi, yaitu kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.

Dari penjelasan mengenai meditasi saja sudah terasa tajamnya perbedaan antara praktik kewawasan dengan Latihan Kejiwaan, terutama pada aspek fokus atau konsentrasi dan pengaturan posisi tubuh.

Latihan Kejiwaan tidak melibatkan fokus atau konsentrasi—seorang pelatih kejiwaan harus benar-benar bebas. Latihan Kejiwaan juga tidak dapat dipikirkan, dipelajari atau dilatih; sifatnya unik untuk setiap orang dan kemampuan untuk “menerima” Latihan Kejiwaan diteruskan dengan berada di hadapan orang lain yang sudah mempraktikkannya, pada suatu keadaan yang disebut “pembukaan”. Pelatih disarankan untuk pasrah pada “apa yang muncul dari dalam”, tidak mengharapkan apapun terlebih dahulu. Anda disarankan untuk tidak fokus pada gambar apa pun atau melafalkan mantra apa pun, atau mencampurkan Latihan Kejiwaan dengan aktivitas lain seperti meditasi atau penggunaan obat-obatan, namun hanya berniat untuk berserah diri kepada Tuhan atau kehendak Tuhan. (Istilah “Tuhan” digunakan di sini dengan maksud yang luas dan inklusif. Anda bebas untuk mengganti penafsiran yang Anda rasa lebih selaras.)

Salah satu caranya adalah dengan tidak memperhatikan orang lain di dalam ruangan, yang masing-masing sedang melakukan Latihannya sendiri-sendiri. Tidak ada keseragaman seperti halnya dalam meditasi, dan tidak dibutuhkan sarana dan prasarana khusus, seperti misalnya lokasi yang sunyi, jauh dari keramaian, bunyi-bunyian atau musik yang membantu relaksasi, dan perlengkapan khusus seperti matras atau bantal atau pakaian yang longgar.

Selama Latihan, Anda mungkin akan menemukan bahwa, dalam hal ekspresi fisik dan emosional, Anda tanpa sadar bergerak, mengeluarkan suara, berjalan-jalan, menari, melompat, meloncat, tertawa, menangis atau apa pun. Pengalamannya sangat bervariasi untuk setiap orang, namun Anda selalu dalam keadaan sadar sepenuhnya dan bebas untuk menghentikan Latihan kapan saja. Duduk diam seperti dalam meditasi, menurut Bapak, akan menghambat kebangkitan jiwa dan oleh karena itu melambatkan pertumbuhan Anda secara kejiwaan.

Secara lahiriah, Latihan Kejiwaan sering kali bermanifestasi sebagai gerakan fisik dan aktivitas vokal yang sangat bervariasi baik dari waktu ke waktu maupun antar individu. Ini berlangsung secara spontan, tidak melibatkan guru maupun metode, tidak terstruktur kecuali aturan-aturan dasar yang berkaitan dengan Latihan bersama (group Latihan).

Latihan Kejiwaan biasanya memerlukan sikap sabar, tawakal dan ikhlas, biasanya dengan persiapan penenangan pikiran dan rasa diri, dan melibatkan seluruh eksistensi Anda, bukan hanya tubuh, emosi, pikiran, atau aspek apa pun lainnya.

Tidak sedikit anggota Subud atau pelatih kejiwaan Subud yang mengira bahwa mixing (mencampurkan Latihan yang bersifat bebas dengan praktik-praktik yang mensyaratkan keteraturan dan konsentrasi pikiran) hanya berlaku pada saat Latihan Kejiwaan di ruangan, sendiri atau bersama-sama. Latihan Subud hakikatnya berlangsung terus-menerus, baik Anda menyadarinya atau tidak, sejak Anda dibuka. Sehingga jika Anda mencampurkannya dengan praktik lain yang tidak sejalan dengan Latihan Kejiwaan, yang sudah mengisi diri Anda, yang ditakutkan adalah bahaya kekacauan mental maupun fisik Anda. Seperti tarik menarik antara diri yang ingin bebas lepas dan diri yang terbelenggu ketat pada suatu keteraturan yang dianut dalam meditasi. Sekalinya Anda dibuka, tidak ada keterpisahan diri Anda dengan Latihan Kejiwaan. Makanya di Subud tidak ada istilah “penutupan” bagi mereka yang sudah dibuka tetapi ingin meninggalkan Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Desember 2024

No comments: