SAAT ini di Indonesia sedang trending kata “goblok”, sebentuk kata kasar dalam berbahasa Indonesia, sehingga kerap dianggap sebagai penghinaan. Yang membuat kata ini trending belakangan ini adalah lantaran terucap dari mulut seorang kyai yang cukup kondang, yang ia lontarkan kepada seorang pedagang minuman teh yang berjualan di lokasi pengajian sang kyai. Si kyai dituding telah menghina “orang kecil”.
Saya tidak segera berreaksi negatif terhadap si kyai, melainkan menyelidiki akar budayanya. Kalau berasal dari Jawa Timur, di mana saya pernah tinggal selama lima tahun dan masih terus ke sana setiap tahun karena orang tua dan saudara-saudara kandung istri saya tinggal di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur, saya agak memakluminya. Dalam budaya Jawa Timur, kata-kata yang dianggap penghinaan atau ejekan kasar di budaya lain bisa mendapatkan reaksi atau respons yang berbeda, tergantung pemakaiannya berdasarkan situasi. Apabila diutarakan dengan ekspresi marah atau serius, kata-kata itu bisa mengundang reaksi atau respons negatif pula dari lawan bicara. Sebaliknya, bila disampaikan dengan niat untuk menciptakan keakraban, respons audiens akan baik-baik saja.
Bos di tempat kerja saya sebelumnya di Surabaya terkadang berkata ke saya dalam rapat, “Ah, kamu goblok!”, tetapi saya berreaksi dengan tertawa karena saya sangat tahu bahwa ia tidak sedang menghina saya, melainkan menunjukkan rasa sayangnya ke saya.
Meskipun kelahiran Lampung di Sumatera, si kyai adalah keturunan dari seorang ulama besar di Jawa Timur, pendiri salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia, yaitu Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1680 Masehi. Pantas saja, si kyai itu spontan berucap “goblok” untuk menunjukkan niatnya mengakrabkan diri dengan audiens. Kesalahan dia adalah tidak menyadari peribahasa “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. “Goblok” dari si kyai bernuansa keakraban ala Jawa Timur, tetapi menimbulkan salah sangka karena audiensnya bukan masyarakat Jawa Timur.
Trending topic saat ini mengingatkan saya pada sebuah kejadian remeh beberapa bulan lalu, yang mampu membangkitkan kesadaran diri.
Menceritakan pengalaman saya saat mempelajari memetika setelah berdiskusi mengenai meme dengan seorang saudara Subud tahun 2006 (menanggapi makalah yang beliau tulis, berjudul “Tuhan Bukan Meme”), kepada para anggota sebuah kelompok di Bandung, Jawa Barat, satu pembantu pelatih di sana mengajak para anggota lainnya ke dalam “permainan rasa diri”. Dia berkata, “Coba kalian rasakan diri kalian saat mendengar saya bilang ‘goblok’.”
Beberapa saat kemudian ia mendentingkan sendok ke sebuah gelas kaca, dan berkata, “Nah, sekalian bandingkan rasa kalian tadi dengan rasa saat mendengar denting ini. Bagaimana?”
“Sama saja!” jawab para anggota hampir serentak.
“Bagus! Memang tidak ada bedanya. Jadi, kalau
sudah menerima Latihan tapi masih gampang tersinggung, pilih salah satu:
Tinggalkan Subud atau rajinkan Latihanmu.”©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 5 Desember 2024
No comments:
Post a Comment