SIANG ini saya ditelepon oleh pembantu pelatih sepuh Subud Surabaya, salah satu dari empat pembantu pelatih yang menjadi saksi pembukaan saya bertahun-tahun lalu. Normalnya, anggota di Indonesia mendapat pendampingan dari pembantu pelatih yang mengasuhnya selama masa tunggunya hingga maksimal dua tahun. Saya saja yang “manja”, sudah lebih dari 20 tahun masih saja minta pendampingan pembantu pelatih. Pendampingan itu bukan hanya saat Latihan tapi pembantu pelatih dengan telaten (bahasa Jawa yang mengacu pada sikap sabar mengikuti terus perkembangan sesuatu atau seseorang) terlibat dalam keseharian anggota selama masa pendampingan itu.
Menelepon kali ini, beliau berbagi cerita tentang keadaan pembantu pelatih dewasa ini, yang sekarang sudah mengalami alih generasi dengan hadirnya pembantu pelatih-pembantu pelatih muda usia yang miskin pengalaman dengan bimbingan Latihan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akibatnya, mereka tak jarang memberi jawaban-jawaban siap pakai tanpa dibarengi pengertian yang mendalam. Mereka asal comot ceramah Bapak tanpa pengertian pribadi yang biasanya didapat melalui pembuktian dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Si pembantu pelatih sepuh itu menjuluki mereka “pembantu pelatih AI”. Sebagaimana jawaban Meta AI atau Gemini atau ChatGPT ketika ditanyakan sesuatu yang melibatkan emosi atau perasaan, semua platform itu menjawab bahwa mereka tidak diprogram untuk memiliki emosi atau rasa. Jawaban artificial intelligence (AI) terkesan tidak luwes, tanpa isi yang dapat membangkitkan kritisisme pemakainya.
Saya ingat pada nasihat Ibu Rahayu agar pembantu pelatih dalam melayani kandidat jangan menggunakan Skype atau alat-alat komunikasi elektronik lainnya karena rasa si pembantu pelatih tidak bisa sampai ke si kandidat. Nah, kenyataan yang ada sekarang, para pembantu pelatih muda hadir sepenuhnya, secara fisik, tapi tidak terisi rasa, melainkan mengedepankan akal pikir—yang tak jarang membuat kandidat sakit kepala dan semakin bingung.
Mereka memang membaca/mendengarkan ceramah Bapak tapi tidak diresapi dengan rasa, melainkan diolah dengan akal pikir, ditambah mereka juga tidak mempraktikkan nasihat dan petunjuk Bapak dalam kehidupan mereka. Contohnya, beberapa waktu lalu seorang anggota bercerita ke saya bahwa ia ditegur oleh seorang pembantu pelatih wanita bahwa ia tak boleh Latihan jika mengenakan celana panjang—dia harus pakai rok panjang atau kain. Si anggota bertanya mengapa. Si pembantu pelatih menjawab dengan ketus, “Bapak bilang tidak boleh ya tidak boleh. Ikuti saja aturannya!”
Si anggota tidak mempedulikan si pembantu pelatih dan tetap melakukan Latihan dengan bercelana panjang. Ia mengalami suatu keadaan tidak enak dalam Latihannya yang membenarkan anjuran Bapak agar wanita tidak bercelana panjang. Dia memang belum pernah membaca ceramah Bapak terkait busana wanita untuk Latihan, sedangkan si pembantu pelatih pernah membacanya namun mungkin mengabaikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasannya atau tidak mencari tahu sendiri dengan melanggar petunjuk itu, sebagaimana yang dilakukan si anggota.
Hingga beberapa tahun lalu saya masih suka menyambangi gathering Tatap Muka di teras selatan Hall Cilandak setiap Minggu pagi sebelum Latihan. Gathering ini dibagi dua grup, untuk yang belum lima tahun di Subud dan untuk yang sudah lima tahun. Lama kelamaan, saya amati bahwa para pembantu pelatih mengandalkan jawaban-jawaban siap pakai, seperti guru di kelas yang menyampaikan teori-teori ke murid. Penjelasan “Bapak begini, Bapak begitu”, tanpa ditambahi penceritaan mengenai pengalaman pribadi para pembantu pelatih sendiri.
Pembantu
pelatih sepuh di Surabaya itu rupanya memiliki pemahaman yang sama dengan saya,
bahwa cerita mengenai pengalaman pribadi dengan bimbingan Latihan lebih
didengar anggota daripada “mencomot pengalaman orang lain untuk diceritakan
ulang”, karena pendekatan pertama itu terisi rasa—anggota akan lebih merasakan
gregetnya, seolah ia masuk ke dalam cerita itu.©2024
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Desember 2024
No comments:
Post a Comment