Monday, December 23, 2024

Oknum IH di Antara Kita

DI Wisma Subud Cilandak, tempat bagi para kandidat adalah di Wisma Indonesia, sebuah bangunan di sudut paling belakang kompleks. Di sana mereka dilayani secara eksklusif oleh pembantu pelatih. Bahkan setelah dibuka, selama tiga bulan mereka para anggota baru melakukan Latihan seminggu dua kali mereka di salah satu ruangan di Wisma Indonesia. Tampaknya mereka dipersiapkan untuk dapat menghadapi atau membiasakan diri dengan “kejutan-kejutan yang mungkin tidak menyenangkan” bila telah berbaur dengan anggota-anggota lama.

Berbeda halnya dengan di cabang asal saya di Surabaya, Jawa Timur, di mana para kandidat duduk berbaur dengan anggota-anggota lama, lesehan dalam suasana kebersamaan yang hangat di teras Hall Latihan. Seringnya kandidat tidak bisa membedakan mana yang anggota biasa dan mana yang pembantu pelatih, sehingga tak jarang mereka bertanya atau curhat ke yang bukan pembantu pelatih. Bila kejadiannya demikian, si anggota dipersilakan oleh pembantu pelatih resmi untuk menjawab atau menjelaskan kepada si kandidat. Namun kebanyakan anggota tidak percaya diri untuk memberi penjelasan dengan disaksikan oleh pembantu pelatih resmi.

Pernah satu kandidat menanyakan soal kejiwaan kepada saya, yang waktu itu baru dua minggu dibuka. Karena merasa bukan tugas saya, apalagi saya belum memiliki wawasan apapun tentang kejiwaan, saya meresponsnya, “Maaf, saya bukan PP. Tanyakan saja pada PP.”

Pembantu Pelatih Daerah (PPD) Pria Cabang Surabaya yang mendengar pembicaraan saya dengan si kandidat, berkomentar, “Jelaskan saja, jangan takut salah. Suatu saat nanti kamu juga akan jadi PP. Pesan saya, jangan langsung menjawab, tapi rasakan diri dulu, ikuti bimbingan jiwamu.” Setelah saya, akhirnya, menjawab pertanyaan si kandidat, barulah si PPD menambahkan. Saya rasa beliau tahu ada kekeliruan dalam penjelasan saya tetapi alih-alih mengoreksi saya, yang dapat mempermalukan saya di depan umum, beliau memuji penjelasan saya. Pengalaman semacam ini meningkatkan kepercayaan diri saya, dan terutama mengajarkan saya agar tidak terhalang kekhawatiran terhadap kesalahan dalam penyampaian.

Pernah tiga tahun lalu di sebuah kelompok kecil di Surabaya, saya diminta pembantu pelatihnya untuk menceritakan pengalaman Latihan saya kepada seorang anak muda yang berminat masuk Subud. Saya bercerita saja apa adanya, pengalaman yang enak maupun tak enak. Setelah itu, si pembantu pelatih berkata kepada si anak muda, “Asyik ya cerita Mas Arifin? Untuk bisa sampai ke tahap itu prosesnya berat... kalau Anda serap dengan pikiran. Sekarang, terserah Anda mau atau tidak masuk Subud.”

Setelah pindah ke Jakarta sejak tahun 2005, terutama setelah mengalami ujian berat dalam hidup yang memaksa saya mendalami ceramah-ceramah Bapak yang menginspirasi kesintasan saya di jalan spiritual, saya tak pernah lagi menolak permintaan kandidat atau anggota baru untuk pendampingan Latihan atau penjelasan terkait aspek kejiwaan—intinya, segala hal yang merupakan tugasnya pembantu pelatih resmi. Sampai saya mendapat julukan “IH” alias “illegal helper” (pembantu pelatih tidak resmi).

Oknum IH terus bertambah khususnya di Jakarta, dengan meluasnya anggapan bahwa pembantu pelatih resmi tidak mampu mengakomodasi kebutuhan anggota akan jawaban yang memuaskan mereka. Saya pernah tak sengaja mendapat konfirmasi atas kenyataan ini ketika saya duduk di sebelah seorang pembantu pelatih pria di Cilandak, yang sedang menghadapi tiga anggota baru, masing-masing dengan masalah yang berbeda. Saya dengar si pembantu pelatih memberi penjelasan yang nornatif, bergaya buku teks, tanpa studi kasus atau contoh yang dia ambil dari pengalamannya sendiri. Saya rasakan ketiga anggota baru itu bukannya puas tetapi malah semakin bingung. Saya ingin melibatkan diri dalam gathering kecil mereka, tapi saya mencegah diri saya dari mempermalukan si pembantu pelatih.

Eksklusivitas dalam tugas pembantu pelatih terhadap kandidat seperti yang terjadi di Cilandak membuat banyak sekali anggota takut dalam menjelaskan soal Subud, termasuk kepada masyarakat umum. Dalam rapat Pengurus Nasional Subud Indonesia dengan para Koordinator Pembantu Pelatih Nasional dan para perwakilan dari lembaga-lembaga (wing bodies), 19 Oktober 2024 lalu, di Guesthouse Wisma Subud, satu peserta rapat mengungkapkan keprihatinannya karena sangat sedikitnya informasi mengenai apa itu Subud di dunia maya.

Ketika saya diminta untuk memberi masukan, saya tanggapi pernyataan si peserta rapat itu bahwa kebanyakan anggota enggan menjelaskan lantaran takut, atau adanya pra konsepsi bahwa publik akan merespons secara negatif. Saya sampaikan ke forum bahwa selama kita tidak mengomunikasikan ceramah Bapak, utuh atau cuplikan darinya, dan hanya menceritakan pengalaman dengan bimbingan Latihan dalam kehidupan sehari-hari kita maka kita tidak perlu khawatir. Soal nanti ditanggapi positif atau negatif itu tidak perlu dipikirkan. Just let go, jadi diri sendiri saja. Seperti kata Bapak, “Subud adalah saudara, saudara adalah Subud”; maka kalau kita malu mengakui bahwa kita anggota Subud itu artinya kita sejatinya malu dengan kenyataan diri kita sendiri. Dan takut hanya menghalangi kita dari bimbingan dalam berkata dan berbuat, berpikir dan berperasaan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Desember 2024

No comments: