KISAH berikut kembali ke ingatan saya saat menemukan foto di atas di akun Facebooknya Fakta Sejarah Indonesia, disertai tulisan bertajuk “Loekas Koestaryo ‘Begundal van Karawang’: Perwira Siliwangi Asal Magetan yang Sangat Diburu Belanda”.
Alkisah, saya pernah mewawancarai Brigadir Jenderal Purn. Lukas Kustaryo di rumah beliau di Gadog, Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tahun 1991. Beliau adalah mantan komandan pasukan Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pasca Perjanjian Renville, 17 Januari 1948. Isi perjanjian itu: Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia dan menyetujui sebuah garis demarkasi (Van Mook) yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Karena perjanjian itulah, semua pasukan TNI yang masih berada di wilayah-wilayah kekuasaan Belanda harus hijrah ke wilayah Republik Indonesia.
Saya waktu itu bersama senior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (sejak tahun 2002 berganti namanya menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) untuk pengumpulan data buat seminar sejarah “Strategi Militer Dalam Perang Kemerdekaan RI” di kampus FSUI Depok pada tahun itu, penulisan buku (oleh senior saya) dan buat skripsi saya yang bertema perang gerilya selama Agresi Militer Belanda II, 1948-1949.
Senior saya (paling kanan) saat mewawancarai Pak Lukas (tengah, berbaju putih). Ini bukan pada saat saya mewawancarai beliau. (Foto koleksi pribadi Ali Anwar, S.S.) |
Ada kisah menarik yang Pak Lukas ceritakan tetapi beliau waktu itu minta jangan direkam, off the record, namun diam-diam direkam oleh senior saya dengan tape recorder kecil yang ia sembunyikan di tas pinggangnya. Ketahuan juga oleh Pak Lukas lantaran pita kasetnya habis sehingga tombol Play-nya berbunyi “ceklik” yang cukup keras.
Kisah itu menyangkut Letnan Kolonel Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI kedua. Untuk membungkam Pak Lukas, Soeharto pada tahun 1974 mengundang beliau ke Istana Negara untuk ditawari jabatan Menteri Perindustrian. Namun Pak Lukas menolak tawaran itu.
Kisah itu saya kutip di skripsi saya yang diujikan pada 7 Juli 1993, dan saya ditegur keras oleh satu dosen penguji karena beliau tenaga ahli di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), sebuah instansi negara yang tentu saja harus pro pada pemerintahan Orde Baru yang sedang berkuasa kala itu. Saya harus menghapus kisah itu dari skripsi saya kalau saya ingin lulus.
Saya tetap diluluskan dalam sidang skripsi saya dengan nilai B. Lantaran dendam karena diberi nilai B, dalam perbaikan skripsi (sebagai syarat untuk mendapat ijazah Sarjana Sastra), kisah itu tidak saya hapus; saya hanya pindahkan dari alinea pembahasan ke catatan kaki.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 17 Desember 2024
No comments:
Post a Comment