Friday, December 13, 2024

Melacak Aneka Subud


BARU-baru ini, saya terlibat dalam misi pelacakan edisi-edisi pertama majalah Aneka Subud untuk dikirimkan ke koleksi WSA Archives. Majalah yang diterbitkan oleh Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia ini terakhir terbit pada tahun 2014. Saya tidak begitu mengerti mengapa penerbitannya dihentikan, sementara banyak sekali anggota yang menantikannya karena majalah ini dibuat untuk menyebarkan ceramah-ceramah Bapak.

Terkait pelacakan edisi-edisi pertama majalah Aneka Subud itu, saya menjangkau sejumlah cabang, anggota maupun pembantu pelatih individu, untuk menanyakan apakah mereka memiliki edisi-edisi yang dimaksud. Penjelasan berikut saya peroleh dari seorang pembantu pelatih senior dari Subud Cabang Rungan Sari, Kalimantan Tengah, yang menjawab pertanyaan saya mengenai sejarah Aneka Subud, melalui pesan WhatsApp yang saya kirim pada 12 Desember 2024.

“Keempat orang anggota Dewan Redaksi Aneka Subud pertama semuanya adalah anggota Subud Malang, Jawa Timur. Hanya anggota kelima, Dr. Anwar Zakir, yang anggota Subud Bogor, Jawa Barat.

Ruspana dan Prio Hartono saat itu mengajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang. Kusumo Sutanto karena seorang perwira tinggi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) berbasis di Surabaya, yang saat itu merupakan pangkalan Armada Republik Indonesia. Komodor Sutanto pernah menjadi komandan RI Irian-201, kapal penjelajah bekas Angkatan Laut Soviet yang ia bawa dari galangan kapal di Uni Soviet ke Indonesia dan ikut Operasi Mandala di bawah Jenderal Soeharto (Trikora tahun 1963, yaitu perebutan Irian Barat dari tangan Belanda).

Mereka itu sejak masih di Malang diperintahkan oleh Bapak untuk menerbitkan Aneka Subud, untuk menyebarkan ceramah-ceramah Bapak.

Setelah naik pangkat menjadi Laksamana Muda, Sutanto dimutasi ke Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jakarta, dan ditunjuk oleh Bapak menjadi Ketua Umum Pengurus Nasional Subud Indonesia untuk masa jabatan 1969-1970, untuk kemudian mempersiapkan Kongres Dunia 1971 di Cilandak.

Bapak masuk Jakarta tahun 1960an dan langsung mengembangkan Subud di Jalan Jawa, Menteng, Jakarta Pusat. Prio Hartono dan Ruspana sudah lebih dahulu pindah ke Jakarta, sehingga kantor redaksi dan penerbitan Aneka Subud dipindah dari Surabaya dan Malang ke Cilandak.                                

Mengapa diambil alih Pengurus Pusat? Oleh karena ketua Pengurus Pusatnya, Kusumo Sutanto, berada di Jakarta. Ruspana dan Prio Hartono kemudian juga bergabung di Sekretariat Kejiwaan (Sekretariat Bapak) bersama Sudarto, Rusli Alif, dan Sunarto Brodjolukito.

Saat itu, di Jakarta belum ada kepengurusan yang solid. Sejak Bapak masih tinggal menumpang di Paku Alaman, Yogyakarta, beliau suka wara-wiri ke Malang naik mobil beliau saat itu, yaitu sebuah VW Transporter, yang di Indonesia dikenal sebagai VW Combi.

Saat itu, Malang dijadikan basis Subud karena banyak donatur kaya-raya yang membiayai perkembangan Subud. Selain Hadiono (redaksi Aneka Subud No. 4), ada Hanz, seorang Tionghoa-Belanda yang memiliki pabrik gula.

VW Combi milik Bapak itu, kabarnya, juga merupakan sumbangan dari Hanz. Rumah besar Hanz yang berada di kawasan pabrik gula Malang itupun dahulu dihibahkan kepada Subud untuk hall Latihan.

Dalam periode 1965-1966, Bapak tidak melakukan lawatan ke luar negeri. Saat itu Indonesia sedang mengalami keadaan genting akibat kudeta yang dilancarkan oleh Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang digawangi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Presiden Soekarno, dengan mengambinghitamkan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Saat itu, sedang pula dilakukan pembangunan kompleks perumahan di Wisma Subud Cilandak. Saat itu pula, semua perkumpulan spiritual sedang dicurigai dan diawasi oleh militer sebagai tempat persembunyian kader PKI.

Pada masa krisis itu ada sebuah perkumpulan spiritual bernama Paguyuban Mbah Suro di perbatasan Jawa Tengah dan Timur yang dihancurkan oleh pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD; kelak dinamai Komando Pasukan Khusus atau Kopassus) di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, karena dicurigai sebagai tempat penampungan para kader PKI yang melarikan diri pasca gagalnya kudeta G30S.

Jadi, para agen intelijen militer saat itu memata-matai semua kompleks perkumpulan spiritual dan lain-lain, termasuk Subud. Karena itu, para anggota Subud (orang tua kita) saat itu mendapat giliran jaga malam yang dipimpin oleh Bintoro Sukarno Padmodiredjo (ayah dari Iwan Muriawan, anggota Jakarta Selatan), seorang perwira Angkatan Darat dari markas polisi militer di Guntur, Jakarta Selatan.

Pada saat itu, banyak anggota Subud Jakarta yang merupakan perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dari Angkatan Darat (ADRI), ALRI dan Angkatan Udara (AURI) serta Kepolisian. Tapi yang paling aktif ikut menjaga Wisma Subud justru yang dari AURI, padahal saat itu ADRI dan AURI sedang bersitegang sebagai akibat adu domba oleh PKI. Tapi dalam menjaga Wisma Subud mereka kompak. Dan mereka bersenjata. Bapak pun membawa pistol. Ketua Subud Indonesia saat itu adalah Hardiman, seorang kolonel Angkatan Darat. 

Bapak kembali melakukan perjalanan ke luar negeri setelah situasi aman, setelah Soeharto menjadi Presiden. Pada tahun 1967 Bapak pergi ke Jepang untuk menghadiri Kongres Dunia ke-3. Kongres Dunia di Jepang itu yang kemudian menunjuk Cilandak yang harus menyelenggarakan Kongres Dunia ke-4, empat tahun berikutnya, yaitu 1971.” ©2024

 

Tempat Latihan Jatiwaringin, Pondokgede, Kota Bekasi, 14 Desember 2024


No comments: