BAYANGKAN situasi ini: Permusuhan Anda dengan seorang teman telah berakhir, tidak dengan baik-baik saja, melainkan dengan perjanjian agar ke depannya Anda dan teman Anda tidak lagi saling menyerang, meskipun masih menyimpan dendam. Nah, setahun kemudian Anda merasa harus mempelajari sesuatu untuk menunjang keahlian Anda terkait pekerjaan Anda dan satu-satunya yang bisa mengajari Anda adalah teman yang dengannya Anda pernah bermusuhan.
Itulah kenyataan yang dihadapi oleh para pejuang Perang Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949 ketika mereka terpilih untuk mengikuti pendidikan perwira Angkatan Laut di Negeri Belanda. Hanya kurang dari setahun setelah Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pasca digempur enam jam oleh gerilyawan Republik di ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta.
Para mantan pejuang itu terdapat di antara 23 pemuda Indonesia yang dinyatakan lulus seleksi untuk menjadi adelborst (sebutan untuk kadet Akademi Angkatan Laut Belanda). Lolos dari serangkaian tes di Jakarta dan Surabaya, ke-23 pemuda itu diangkut ke Den Helder, Negeri Belanda, yang merupakan kawah candradimuka Koninklijk Instituut voor de Marine (Institut Angkatan Laut Kerajaan) yang disingkat KIM. Sebagai Angkatan 1950, mereka pun tak luput dari cercaan sebagian publik Indonesia, baik sipil maupun ALRI sendiri, yang memandang mereka sebagai produk penjajah.
Di Belanda sendiri, bahkan di KIM, mereka menghadapi situasi tak mengenakkan, walaupun hanya berlangsung sebentar. Karena KIM Den Helder menerapkan secara ketat dan tegas nilai-nilai kebersamaan (comradeship) sebagai anggota militer, tanpa pandang bulu. Di medan perang, bertindak sebagai tim adalah suatu keharusan. Untuk itulah para kadet harus menanamkan pada diri masing-masing kemauan untuk menyingkirkan segala bentuk permusuhan atau dendam. Meskipun baru lewat kurang dari setahun, permusuhan Indonesia-Belanda adalah cerita masa lalu!
Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2009 ini bercerita tentang para adelborst Indonesia generasi pertama dan kedua, tentang suka-duka belajar dan berlatih menjadi perwira angkatan laut di negara yang pernah menjajah Indonesia dan terhadapnya sebagian dari para adelborst Angkatan 1949 dan 1950 pernah menghunuskan senjata. Mereka adalah generasi yang membangun fondasi Angkatan Laut Republik Indonesia, yang kini dikenal sebagai TNI Angkatan Laut.
Mereka bertahan melalui masa-masa sulit beradaptasi dengan kehidupan di negeri Eropa yang masyarakatnya memandang orang Asia sebagai bangsa yang terjajah. Mereka bertahan berkat semangat yang ditanamkan pada diri mereka, yang ekspresinya menjadi judul utama buku ini: Dan Toch Maar (Apa Boleh Buat. Maju Terus!)
Karakter sebagai perwira terbentuk selama proses pendidikan di KIM Den Helder. Karakter dijunjung tinggi di KIM. Meskipun Anda berilmu tinggi, tetapi tanpa karakter yang kuat eksistensi Anda tidak ada nilainya. Hal itu terwakilkan dalam peribahasa bahasa Belanda yang berlaku di akademi angkatan laut yang didirikan pada 28 Agustus 1829 itu: “Kennis Is Macht, Karakter Is Meer” (pengetahuan adalah kekuatan, terlebih lagi karakter). Awal tiap kata pada peribahasa itu jika digabungkan akan membentuk singkatan KIM, sesuai nama institusi yang memiliki peribahasa itu sebagai prinsip hidupnya.
Bacaan yang tergolong santai
dengan kumpulan kisah yang diceritakan oleh mereka yang mengalaminya sendiri.
Santai dan seru, yang membuat Anda sulit berhenti membacanya.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 16 Desember 2024
No comments:
Post a Comment