(Versi bahasa Inggris dari tulisan ini saya emailkan ke Harris Smart, Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice.)
“NO, not ‘wage’ as in payment for work. It’s pronounced ‘wah-gay’,” jelas saya kepada seorang anggota baru, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia tetapi belum fasih berbahasa Indonesia. Pembicaraan kami mengacu pada informasi yang diberikan pembantu pelatih Ranting Pamulang kepadanya terkait suatu hari Sabtu pada suatu bulan yang disebut “Sabtu Wage”.
Poster
semacam ini didistribusikan secara daring dan reguler kepada para anggota Subud
di Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta. |
Sabtu Wage adalah salah satu hari pasaran dalam kalender Jawa yang merupakan hari kelahiran Bapak, yang dipandang istimewa. Kongres Nasional ke-31 Subud Indonesia pada 31 Januari hingga 2 Februari 2025 menjadi event yang sungguh istimewa, bukan hanya karena bersamaan dengan perayaan satu abad Latihan Kejiwaan (Centennial) tetapi juga karena ulang tahun ke-78 PPK Subud Indonesia jatuh pada Sabtu Wage, 1 Februari 2025!
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari dua sampai sepuluh hari. Siklus yang masih dipakai sampai saat ini di Jawa adalah saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari). Karena tulisan ini tentang Sabtu Wage, saya hanya akan bahas Pancawara. Pancawara terdiri atas Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar/Terang), Pon (Palguna/Tidur) dan Wage (Cemengan/Duduk).
Siklus Pancawara biasa disebut sebagai “pasaran”, dan dahulu digunakan oleh para pedagang untuk berjualan di pasar sesuai hari pasaran yang ada. Inilah yang menyebabkan banyak daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menyandang nama-nama pasaran tersebut, yaitu tempat-tempat yang secara historis pernah atau masih merupakan pasar, seperti Pasar Kliwon (sebuah kecamatan di Kota Surakarta), Pasar Legi (pasar tradisional di Surakarta dan Yogyakarta), Pasar Pahing (pasar tradisional di Kediri dan Sleman), Pasar Pon (pasar tradisional di Purwokerto), dan Pasar Wage (pasar tradisional di Purwokerto).
Dalam tradisi kepercayaan Jawa, hari pasaran memiliki nilai sakral dalam kaitan dengan kehidupan manusia. Hari kelahiran misalnya melambangkan sifat atau karakter orang yang dilahirkan pada hari tersebut, tak ubahnya konsep horoskop dengan zodiak. Makanya, hari lahir Bapak, Sabtu Wage, diperingati sebagai hari yang istimewa di kalangan keluarganya. Peringatan khas hari lahir berdasarkan kalender Jawa biasanya terdiri dari puasa satu hari sebelumnya (pergantian hari dimulai setelah jam dua siang) atau semadi, selamatan dengan berdoa bersama atau pembacaan Surah Yasin (bab ke-36 dari Qur’an), dan makan malam bersama.
Masyarakat Jawa modern sudah sangat jarang memperingati hari lahir berdasarkan kalender Jawa setiap 35 hari sekali, dan beralih ke tanggal Masehi dengan perayaan ulang tahun setahun sekali. Di Subud Indonesia sendiri, awalnya peringatan hari lahir Bapak, Sabtu Wage, tidak menjadi tradisi. Seorang pembantu pelatih sepuh dari Subud Cilengkrang di Bandung, Jawa Barat, pernah bercerita ke saya bahwa tradisi Sabtu Wage atau “Wagean” (berarti “pelaksanaan Wage”) awalnya hanya diperingati di lingkaran keluarga Bapak saja. Menurut beliau, adalah Mas Adji, yang pergaulannya amat luas dan dikenal merakyat di kalangan anggota Subud Indonesia, yang “membocorkan” perihal Wagean keluarga pada tiap hari Sabtu Wage di Wisma Barata, rumah Bapak di Pamulang setelah pindah dari Wisma Subud Cilandak, kepada anggota, sehingga kini Wagean pun menjadi tradisi Subud Indonesia.
Fleksibilitas
WAGEAN di Subud Indonesia diperingati secara beragam, namun biasanya terdiri dari mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak, dilanjutkan dengan Latihan bersama, dan setelah Latihan para anggota menikmati suguhan makan malam yang ragamnya tercipta berkat kontribusi dari anggota yang menghadiri Wagean.
Secara tradisi Jawa yang asli, hari lahir seseorang mulai berlaku setelah tengah hari, sehingga Sabtu Wage diperingati anggota Subud di Jawa Tengah. Yogyakarta dan Jawa Timur pada Jumat malam. Sedangkan di Jakarta dan sekitarnya, karena alasan praktis—mengingat bahwa banyak anggota yang pulang kerja rata-rata setelah jam lima atau enam sore, ditambah kemacetan yang parah—Wagean diadakan pada hari Sabtu pagi hingga siang, seperti Subud Bogor di Jawa Barat.
Wagean Kelompok Jatiwaringin Bekasi pada Jumat malam, 3 Maret 2023. |
Wagean di Jakarta dan Jawa Barat serta daerah-daerah di luar provinsi-provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur lebih fleksibel, karena kalender Jawa memang eksklusif bagi masyarakat Jawa asli (yang berasal dari ketiga provinsi tersebut). Masyarakat Sunda, yang mendominasi populasi di provinsi Jawa Barat, memiliki budaya dan bahasa yang sama sekali berbeda dari masyarakat Jawa, meskipun sama-sama menghuni Pulau Jawa. Meskipun provinsi yang berpopulasi mayoritas orang Sunda bernama Jawa Barat, masyarakat Sunda sendiri lebih suka menyebut daerah mereka “Tatar Sunda” atau “Tatar Pasundan”, dengan “tatar” berarti “tanah”. Bagaimanapun, sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak, para anggota Subud yang bersuku Sunda tidak keberatan untuk melaksanakan Wagean.
Khidmat
SEBAGIAN cabang Subud yang ada di Pulau Jawa kadang Wagean di situs makam Bapak di Sukamulya, Cipanas, Jawa Barat. Mereka biasanya bermalam di Hall Sukamulya pada hari Jumat, tidak tidur hingga Sabtu pagi, mengisi malam yang diramaikan bunyi jangkrik dengan gathering semalam suntuk, didahului Latihan bersama dan kemudian makan malam. Tidak semua anggota wajib mengikuti gathering; bila Anda mau tidur silakan. Menyambut Sabtu pagi, para anggota melakukan Latihan bersama pada jam lima, sesuai jam kelahiran Bapak. Usai Latihan, para anggota pergi menziarahi makam Bapak. Meskipun diperbolehkan membawa kendaraan hingga ke bagian belakang paviliun makam, kebanyakan anggota, tua dan muda, merasakan kekhidmatan dalam menempuh perjalanan dari hall ke makam Bapak di pucuk bukit dengan berjalan kaki dalam keadaan Latihan.
Wagean para anggota Subud di Gang Margodadi III, Surabaya, pada 22 Juni 2018 yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-117 Bapak Muhammad Subuh menurut kalender Masehi. |
Wagean di rumah Bapak, di Wisma Barata Pamulang, diadakan Sabtu malam, dan dihadiri bukan saja oleh anggota Ranting Pamulang tetapi juga oleh mereka yang tinggal di Wisma Subud Cilandak yang berjarak sekitar 13 km, dan dari cabang-cabang lainnya di sekitaran Jakarta. Telah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, Wagean di Pamulang dimulai dengan para anggota berkumpul di Pendopo Wisma Barata untuk mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak. Setelah itu, para anggota melakukan Latihan bersama.
Yang sudah selesai Latihan dapat mengambil makanan yang dihidangkan di teras rumah Bapak, tanpa perlu menunggu anggota yang masih Latihan. Berbeda dengan perayaan ulang tahun Bapak pada 22 Juni, yang biasanya formal dengan pidato sambutan dari ketua Komite Nasional dan/atau wakil dari keluarga Bapak, Wagean berlangsung santai serta tidak formal. Sebuah ciri khas yang biasanya ada pada komunitas Jawa yang rileks namun khidmat.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 26 Desember 2024