Wednesday, December 25, 2024

Sabtu Wage

(Versi bahasa Inggris dari tulisan ini saya emailkan ke Harris Smart, Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice.)

NO, notwageas in payment for work. It’s pronouncedwah-gay’,” jelas saya kepada seorang anggota baru, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia tetapi belum fasih berbahasa Indonesia. Pembicaraan kami mengacu pada informasi yang diberikan pembantu pelatih Ranting Pamulang kepadanya terkait suatu hari Sabtu pada suatu bulan yang disebut “Sabtu Wage”.

Poster semacam ini didistribusikan secara daring dan reguler kepada para anggota Subud di Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta.

Sabtu Wage adalah salah satu hari pasaran dalam kalender Jawa yang merupakan hari kelahiran Bapak, yang dipandang istimewa. Kongres Nasional ke-31 Subud Indonesia pada 31 Januari hingga 2 Februari 2025 menjadi event yang sungguh istimewa, bukan hanya karena bersamaan dengan perayaan satu abad Latihan Kejiwaan (Centennial) tetapi juga karena ulang tahun ke-78 PPK Subud Indonesia jatuh pada Sabtu Wage, 1 Februari 2025!

Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari dua sampai sepuluh hari. Siklus yang masih dipakai sampai saat ini di Jawa adalah saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari). Karena tulisan ini tentang Sabtu Wage, saya hanya akan bahas Pancawara. Pancawara terdiri atas Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar/Terang), Pon (Palguna/Tidur) dan Wage (Cemengan/Duduk).

Siklus Pancawara biasa disebut  sebagai “pasaran”, dan dahulu digunakan oleh para pedagang untuk berjualan di pasar sesuai hari pasaran yang ada. Inilah yang menyebabkan banyak daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menyandang nama-nama pasaran tersebut, yaitu tempat-tempat yang secara historis pernah atau masih merupakan pasar, seperti Pasar Kliwon (sebuah kecamatan di Kota Surakarta), Pasar Legi (pasar tradisional di Surakarta dan Yogyakarta), Pasar Pahing (pasar tradisional di Kediri dan Sleman), Pasar Pon (pasar tradisional di Purwokerto), dan Pasar Wage (pasar tradisional di Purwokerto).

Dalam tradisi kepercayaan Jawa, hari pasaran memiliki nilai sakral dalam kaitan dengan kehidupan manusia. Hari kelahiran misalnya melambangkan sifat atau karakter orang yang dilahirkan pada hari tersebut, tak ubahnya konsep horoskop dengan zodiak. Makanya, hari lahir Bapak, Sabtu Wage, diperingati sebagai hari yang istimewa di kalangan keluarganya. Peringatan khas hari lahir berdasarkan kalender Jawa biasanya terdiri dari puasa satu hari sebelumnya (pergantian hari dimulai setelah jam dua siang) atau semadi, selamatan dengan berdoa bersama atau pembacaan Surah Yasin (bab ke-36 dari Qur’an), dan makan malam bersama.

Masyarakat Jawa modern sudah sangat jarang memperingati hari lahir berdasarkan kalender Jawa setiap 35 hari sekali, dan beralih ke tanggal Masehi dengan perayaan ulang tahun setahun sekali. Di Subud Indonesia sendiri, awalnya peringatan hari lahir Bapak, Sabtu Wage, tidak menjadi tradisi. Seorang pembantu pelatih sepuh dari Subud Cilengkrang di Bandung, Jawa Barat, pernah bercerita ke saya bahwa tradisi Sabtu Wage atau “Wagean” (berarti “pelaksanaan Wage”) awalnya hanya diperingati di lingkaran keluarga Bapak saja. Menurut beliau, adalah Mas Adji, yang pergaulannya amat luas dan dikenal merakyat di kalangan anggota Subud Indonesia, yang “membocorkan” perihal Wagean keluarga pada tiap hari Sabtu Wage di Wisma Barata, rumah Bapak di Pamulang setelah pindah dari Wisma Subud Cilandak, kepada anggota, sehingga kini Wagean pun menjadi tradisi Subud Indonesia.

Fleksibilitas

WAGEAN di Subud Indonesia diperingati secara beragam, namun biasanya terdiri dari mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak, dilanjutkan dengan Latihan bersama, dan setelah Latihan para anggota menikmati suguhan makan malam yang ragamnya tercipta berkat kontribusi dari anggota yang menghadiri Wagean.

Secara tradisi Jawa yang asli, hari lahir seseorang mulai berlaku setelah tengah hari, sehingga Sabtu Wage diperingati anggota Subud di Jawa Tengah. Yogyakarta dan Jawa Timur pada Jumat malam. Sedangkan di Jakarta dan sekitarnya, karena alasan praktis—mengingat bahwa banyak anggota yang pulang kerja rata-rata setelah jam lima atau enam sore, ditambah kemacetan yang parah—Wagean diadakan pada hari Sabtu pagi hingga siang, seperti Subud Bogor di Jawa Barat.

Wagean Kelompok Jatiwaringin Bekasi pada Jumat malam, 3 Maret 2023.

Wagean di Jakarta dan Jawa Barat serta daerah-daerah di luar provinsi-provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur lebih fleksibel, karena kalender Jawa memang eksklusif bagi masyarakat Jawa asli (yang berasal dari ketiga provinsi tersebut). Masyarakat Sunda, yang mendominasi populasi di provinsi Jawa Barat, memiliki budaya dan bahasa yang sama sekali berbeda dari masyarakat Jawa, meskipun sama-sama menghuni Pulau Jawa. Meskipun provinsi yang berpopulasi mayoritas orang Sunda bernama Jawa Barat, masyarakat Sunda sendiri lebih suka menyebut daerah mereka “Tatar Sunda” atau “Tatar Pasundan”, dengan “tatar” berarti “tanah”. Bagaimanapun, sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak, para anggota Subud yang bersuku Sunda tidak keberatan untuk melaksanakan Wagean.

Khidmat

SEBAGIAN cabang Subud yang ada di Pulau Jawa kadang Wagean di situs makam Bapak di Sukamulya, Cipanas, Jawa Barat. Mereka biasanya bermalam di Hall Sukamulya pada hari Jumat, tidak tidur hingga Sabtu pagi, mengisi malam yang diramaikan bunyi jangkrik dengan gathering semalam suntuk, didahului Latihan bersama dan kemudian makan malam. Tidak semua anggota wajib mengikuti gathering; bila Anda mau tidur silakan. Menyambut Sabtu pagi, para anggota melakukan Latihan bersama pada jam lima, sesuai jam kelahiran Bapak. Usai Latihan, para anggota pergi menziarahi makam Bapak. Meskipun diperbolehkan membawa kendaraan hingga ke bagian belakang paviliun makam, kebanyakan anggota, tua dan muda, merasakan kekhidmatan dalam menempuh perjalanan dari hall ke makam Bapak di pucuk bukit dengan berjalan kaki dalam keadaan Latihan.

Wagean para anggota Subud di Gang Margodadi III, Surabaya, pada 22 Juni 2018 yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-117 Bapak Muhammad Subuh menurut kalender Masehi.

Wagean di rumah Bapak, di Wisma Barata Pamulang, diadakan Sabtu malam, dan dihadiri bukan saja oleh anggota Ranting Pamulang tetapi juga oleh mereka yang tinggal di Wisma Subud Cilandak yang berjarak sekitar 13 km, dan dari cabang-cabang lainnya di sekitaran Jakarta. Telah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, Wagean di Pamulang dimulai dengan para anggota berkumpul di Pendopo Wisma Barata untuk mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak. Setelah itu, para anggota melakukan Latihan bersama.

Yang sudah selesai Latihan dapat mengambil makanan yang dihidangkan di teras rumah Bapak, tanpa perlu menunggu anggota yang masih Latihan. Berbeda dengan perayaan ulang tahun Bapak pada 22 Juni, yang biasanya formal dengan pidato sambutan dari ketua Komite Nasional dan/atau wakil dari keluarga Bapak, Wagean berlangsung santai serta tidak formal. Sebuah ciri khas yang biasanya ada pada komunitas Jawa yang rileks namun khidmat.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Desember 2024

Hubungan Latihan Kejiwaan Dengan Gempa Aceh 2024

SETIAP tanggal 26 Desember saya selalu teringat pada kisah berikut ini.

Tanggal 6 Maret 2005, ketika saya masih aktif sebagai anggota Cabang Surabaya, saya ikut dalam rombongan Pembantu Pelatih Nasional (PPN) Pria Komisariat Wilayah (Komwil) VI saat itu, Pak Soenardi Soesasmito, berkunjung ke rumah Pak dr. Hoediarto di kota Kediri, Jawa Timur. Beliau pembantu pelatih Subud Cabang Kediri yang saat itu saja sudah punah, kabarnya karena beliau krisis hingga bahkan berhenti praktik dokter umumnya, meskipun papan yang menunjukkan beliau seorang dokter masih berdiri di pekarangan depan rumahnya.

Perjalanan Surabaya-Kediri pp ditempuh dengan bermobil; ada tiga mobil, saya di mobil Daihatsu Taruna-nya Pak Yanto Luwiharjo bersama Pak dan Bu Yanto dan disopiri Bagiyon (saat ini menjabat Konsilor Organisasi PPK Subud Indonesia).

Dari situ, perjalanan dilanjutkan ke Desa Sumberjo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah selatan pusat kota Kediri. Di desa sunyi nan sejuk ini, kami berkunjung ke rumahnya Pak Estu, ayah dari alm. Agus Basuki, anggota Jakarta Selatan yang meninggal saat pandemi Covid-19, tahun 2021 lalu.

Pak Estu, seorang pensiunan wartawan, dibuka di rumah beliau pada 26 Desember 2004. Agus sengaja pulang kampung saat itu untuk berkoordinasi dengan Pak Soenardi agar ayahnya dapat dibuka di rumah beliau di Sumberjo.

Pak Estu menuturkan bahwa setelah dibuka, beliau menonton televisi yang memberitakan bahwa pada waktu yang bersamaan dengan pembukaan beliau Aceh dilanda gempa bumi berskala magnitudo 9,1-9,3 Mw, disusul dengan tsunami.

Apakah ada hubungannya antara gempa dan tsunami Aceh dengan pembukaan itu? Entahlah.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Desember 2024

Monday, December 23, 2024

Membuat Nasi Goreng Tidak Semudah yang Dikatakan

 


TAHUN 1992, saya mendekati cewek cantik yang berstatus mahasiswi baru Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan tahun itu. Kami berkenalan ketika saya menjadi Pengawas Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di SMA Negeri 45 Kelapagading, Jakarta Utara, sementara dia salah satu peserta di kelas yang saya awasi. Nomor telepon rumahnya saya dapat dari kartu peserta UMPTN yang dikumpulkan di Pengawas.

Dalam obrolan intens via telepon—seminggu bisa dua kali, terungkap bahwa dia menyukai cowok yang bisa masak. Saya bercerita ke dia bahwa saya bisa dan suka masak.

“Masak apa? Air? Semua orang juga bisa!” katanya dengan nada bercanda diiringi tawa renyah yang membuat jantung saya berdebar.

“Nasi goreng,” jawab saya.

“Halah, nasi goreng. Itu mah gampang, anak TK juga bisa!” kata dia lagi, dibarengi tawa renyah lagi.

Saya tidak mampu meneruskan dengan alasan-alasan lain untuk membantah pendapatnya bahwa semua orang bisa masak nasi goreng. Dulu, saya masih dungu, dengan otak penat dan perasaan yang terbelenggu rasa malu yang terlalu.

Kalau kini saya bertemu dia lagi, akan saya katakan padanya, “Eh, bikin nasi goreng memang semua orang bisa, tapi nggak semua orang bisa bikin nasi goreng lezat yang disuka banyak orang.”©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Desember 2024

Oknum IH di Antara Kita

DI Wisma Subud Cilandak, tempat bagi para kandidat adalah di Wisma Indonesia, sebuah bangunan di sudut paling belakang kompleks. Di sana mereka dilayani secara eksklusif oleh pembantu pelatih. Bahkan setelah dibuka, selama tiga bulan mereka para anggota baru melakukan Latihan seminggu dua kali mereka di salah satu ruangan di Wisma Indonesia. Tampaknya mereka dipersiapkan untuk dapat menghadapi atau membiasakan diri dengan “kejutan-kejutan yang mungkin tidak menyenangkan” bila telah berbaur dengan anggota-anggota lama.

Berbeda halnya dengan di cabang asal saya di Surabaya, Jawa Timur, di mana para kandidat duduk berbaur dengan anggota-anggota lama, lesehan dalam suasana kebersamaan yang hangat di teras Hall Latihan. Seringnya kandidat tidak bisa membedakan mana yang anggota biasa dan mana yang pembantu pelatih, sehingga tak jarang mereka bertanya atau curhat ke yang bukan pembantu pelatih. Bila kejadiannya demikian, si anggota dipersilakan oleh pembantu pelatih resmi untuk menjawab atau menjelaskan kepada si kandidat. Namun kebanyakan anggota tidak percaya diri untuk memberi penjelasan dengan disaksikan oleh pembantu pelatih resmi.

Pernah satu kandidat menanyakan soal kejiwaan kepada saya, yang waktu itu baru dua minggu dibuka. Karena merasa bukan tugas saya, apalagi saya belum memiliki wawasan apapun tentang kejiwaan, saya meresponsnya, “Maaf, saya bukan PP. Tanyakan saja pada PP.”

Pembantu Pelatih Daerah (PPD) Pria Cabang Surabaya yang mendengar pembicaraan saya dengan si kandidat, berkomentar, “Jelaskan saja, jangan takut salah. Suatu saat nanti kamu juga akan jadi PP. Pesan saya, jangan langsung menjawab, tapi rasakan diri dulu, ikuti bimbingan jiwamu.” Setelah saya, akhirnya, menjawab pertanyaan si kandidat, barulah si PPD menambahkan. Saya rasa beliau tahu ada kekeliruan dalam penjelasan saya tetapi alih-alih mengoreksi saya, yang dapat mempermalukan saya di depan umum, beliau memuji penjelasan saya. Pengalaman semacam ini meningkatkan kepercayaan diri saya, dan terutama mengajarkan saya agar tidak terhalang kekhawatiran terhadap kesalahan dalam penyampaian.

Pernah tiga tahun lalu di sebuah kelompok kecil di Surabaya, saya diminta pembantu pelatihnya untuk menceritakan pengalaman Latihan saya kepada seorang anak muda yang berminat masuk Subud. Saya bercerita saja apa adanya, pengalaman yang enak maupun tak enak. Setelah itu, si pembantu pelatih berkata kepada si anak muda, “Asyik ya cerita Mas Arifin? Untuk bisa sampai ke tahap itu prosesnya berat... kalau Anda serap dengan pikiran. Sekarang, terserah Anda mau atau tidak masuk Subud.”

Setelah pindah ke Jakarta sejak tahun 2005, terutama setelah mengalami ujian berat dalam hidup yang memaksa saya mendalami ceramah-ceramah Bapak yang menginspirasi kesintasan saya di jalan spiritual, saya tak pernah lagi menolak permintaan kandidat atau anggota baru untuk pendampingan Latihan atau penjelasan terkait aspek kejiwaan—intinya, segala hal yang merupakan tugasnya pembantu pelatih resmi. Sampai saya mendapat julukan “IH” alias “illegal helper” (pembantu pelatih tidak resmi).

Oknum IH terus bertambah khususnya di Jakarta, dengan meluasnya anggapan bahwa pembantu pelatih resmi tidak mampu mengakomodasi kebutuhan anggota akan jawaban yang memuaskan mereka. Saya pernah tak sengaja mendapat konfirmasi atas kenyataan ini ketika saya duduk di sebelah seorang pembantu pelatih pria di Cilandak, yang sedang menghadapi tiga anggota baru, masing-masing dengan masalah yang berbeda. Saya dengar si pembantu pelatih memberi penjelasan yang nornatif, bergaya buku teks, tanpa studi kasus atau contoh yang dia ambil dari pengalamannya sendiri. Saya rasakan ketiga anggota baru itu bukannya puas tetapi malah semakin bingung. Saya ingin melibatkan diri dalam gathering kecil mereka, tapi saya mencegah diri saya dari mempermalukan si pembantu pelatih.

Eksklusivitas dalam tugas pembantu pelatih terhadap kandidat seperti yang terjadi di Cilandak membuat banyak sekali anggota takut dalam menjelaskan soal Subud, termasuk kepada masyarakat umum. Dalam rapat Pengurus Nasional Subud Indonesia dengan para Koordinator Pembantu Pelatih Nasional dan para perwakilan dari lembaga-lembaga (wing bodies), 19 Oktober 2024 lalu, di Guesthouse Wisma Subud, satu peserta rapat mengungkapkan keprihatinannya karena sangat sedikitnya informasi mengenai apa itu Subud di dunia maya.

Ketika saya diminta untuk memberi masukan, saya tanggapi pernyataan si peserta rapat itu bahwa kebanyakan anggota enggan menjelaskan lantaran takut, atau adanya pra konsepsi bahwa publik akan merespons secara negatif. Saya sampaikan ke forum bahwa selama kita tidak mengomunikasikan ceramah Bapak, utuh atau cuplikan darinya, dan hanya menceritakan pengalaman dengan bimbingan Latihan dalam kehidupan sehari-hari kita maka kita tidak perlu khawatir. Soal nanti ditanggapi positif atau negatif itu tidak perlu dipikirkan. Just let go, jadi diri sendiri saja. Seperti kata Bapak, “Subud adalah saudara, saudara adalah Subud”; maka kalau kita malu mengakui bahwa kita anggota Subud itu artinya kita sejatinya malu dengan kenyataan diri kita sendiri. Dan takut hanya menghalangi kita dari bimbingan dalam berkata dan berbuat, berpikir dan berperasaan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 Desember 2024

Friday, December 20, 2024

Jawaban Siap Pakai

SIANG ini saya ditelepon oleh pembantu pelatih sepuh Subud Surabaya, salah satu dari empat pembantu pelatih yang menjadi saksi pembukaan saya bertahun-tahun lalu. Normalnya, anggota di Indonesia mendapat pendampingan dari pembantu pelatih yang mengasuhnya selama masa tunggunya hingga maksimal dua tahun. Saya saja yang “manja”, sudah lebih dari 20 tahun masih saja minta pendampingan pembantu pelatih. Pendampingan itu bukan hanya saat Latihan tapi pembantu pelatih dengan telaten (bahasa Jawa yang mengacu pada sikap sabar mengikuti terus perkembangan sesuatu atau seseorang) terlibat dalam keseharian anggota selama masa pendampingan itu.

Menelepon kali ini, beliau berbagi cerita tentang keadaan pembantu pelatih dewasa ini, yang sekarang sudah mengalami alih generasi dengan hadirnya pembantu pelatih-pembantu pelatih muda usia yang miskin pengalaman dengan bimbingan Latihan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akibatnya, mereka tak jarang memberi jawaban-jawaban siap pakai tanpa dibarengi pengertian yang mendalam. Mereka asal comot ceramah Bapak tanpa pengertian pribadi yang biasanya didapat melalui pembuktian dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Si pembantu pelatih sepuh itu menjuluki mereka “pembantu pelatih AI”. Sebagaimana jawaban Meta AI atau Gemini atau ChatGPT ketika ditanyakan sesuatu yang melibatkan emosi atau perasaan, semua platform itu menjawab bahwa mereka tidak diprogram untuk memiliki emosi atau rasa. Jawaban artificial intelligence (AI) terkesan tidak luwes, tanpa isi yang dapat membangkitkan kritisisme pemakainya.

Saya ingat pada nasihat Ibu Rahayu agar pembantu pelatih dalam melayani kandidat jangan menggunakan Skype atau alat-alat komunikasi elektronik lainnya karena rasa si pembantu pelatih tidak bisa sampai ke si kandidat. Nah, kenyataan yang ada sekarang, para pembantu pelatih muda hadir sepenuhnya, secara fisik, tapi tidak terisi rasa, melainkan mengedepankan akal pikir—yang tak jarang membuat kandidat sakit kepala dan semakin bingung.

Mereka memang membaca/mendengarkan ceramah Bapak tapi tidak diresapi dengan rasa, melainkan diolah dengan akal pikir, ditambah mereka juga tidak mempraktikkan nasihat dan petunjuk Bapak dalam kehidupan mereka. Contohnya, beberapa waktu lalu seorang anggota bercerita ke saya bahwa ia ditegur oleh seorang pembantu pelatih wanita bahwa ia tak boleh Latihan jika mengenakan celana panjang—dia harus pakai rok panjang atau kain. Si anggota bertanya mengapa. Si pembantu pelatih menjawab dengan ketus, “Bapak bilang tidak boleh ya tidak boleh. Ikuti saja aturannya!”

Si anggota tidak mempedulikan si pembantu pelatih dan tetap melakukan Latihan dengan bercelana panjang. Ia mengalami suatu keadaan tidak enak dalam Latihannya yang membenarkan anjuran Bapak agar wanita tidak bercelana panjang. Dia memang belum pernah membaca ceramah Bapak terkait busana wanita untuk Latihan, sedangkan si pembantu pelatih pernah membacanya namun mungkin mengabaikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasannya atau tidak mencari tahu sendiri dengan melanggar petunjuk itu, sebagaimana yang dilakukan si anggota.

Hingga beberapa tahun lalu saya masih suka menyambangi gathering Tatap Muka di teras selatan Hall Cilandak setiap Minggu pagi sebelum Latihan. Gathering ini dibagi dua grup, untuk yang belum lima tahun di Subud dan untuk yang sudah lima tahun. Lama kelamaan, saya amati bahwa para pembantu pelatih mengandalkan jawaban-jawaban siap pakai, seperti guru di kelas yang menyampaikan teori-teori ke murid. Penjelasan “Bapak begini, Bapak begitu”, tanpa ditambahi penceritaan mengenai pengalaman pribadi para pembantu pelatih sendiri.

Pembantu pelatih sepuh di Surabaya itu rupanya memiliki pemahaman yang sama dengan saya, bahwa cerita mengenai pengalaman pribadi dengan bimbingan Latihan lebih didengar anggota daripada “mencomot pengalaman orang lain untuk diceritakan ulang”, karena pendekatan pertama itu terisi rasa—anggota akan lebih merasakan gregetnya, seolah ia masuk ke dalam cerita itu.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Desember 2024

Wednesday, December 18, 2024

Kembali ke Masa Lalu di Saat Ini

SAYA tidak tahu apa rencana Tuhan untuk saya saat ini, tapi saya menandai bahwa sejak tiga atau empat tahun lalu saya menjadi acuan bagi para anggota Subud Indonesia untuk menyerahkan arsip atau literatur Subud yang mereka miliki ke saya. Ada yang memposkannya ke saya, ada pula yang menyerahkannya secara langsung.

Saya juga “dijadikan” rujukan bagi anggota dan pembantu pelatih untuk mendapatkan ceramah Bapak tentang apa saja sesuai kebutuhan mereka. Pembantu pelatih yang membuka saya, di Surabaya, Jawa Timur, pernah mengkopi ratusan rekaman audio dan video serta transkripsi ceramah Bapak dalam satu folder berukuran 60,4 GB ke external harddisk saya, pada tahun 2013. Pada saat itu saya tengah mengalami ujian hidup yang sangat berat (menurut kapasitas saya pribadi) akibat pecah kongsi dalam perusahaan bisnis yang saya dirikan bersama empat saudara-saudari Subud (dua di antaranya pembantu pelatih) yang telah membuat saya rugi hingga Rp1,5 miliar. Pembantu pelatih di Surabaya itu memberi saya ceramah-ceramah Bapak agar saya baca atau dengarkan untuk menemukan rahasia Subud, yang bila telah saya temukan akan mengurangi derita psikologis saya akibat kejadian itu dan beliau pastikan akan mampu membuat saya bangkit kembali untuk memulai dari nol lagi.

Terkait fenomena yang saya lalui dalam tiga atau empat tahun belakangan ini, saya teringat pada kisah yang diceritakan satu saudari Subud di Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. Dia mengisahkan perjalanan hidup seorang anggota wanita yang namanya terangkat berkat sejumlah produk alami yang dapat mengatasi berbagai penyakit, yang ia ciptakan dengan bimbingan Latihan. Anggota yang menceritakan kisahnya ke saya adalah seorang dokter yang berhenti praktik lantaran ingin meneruskan cita-cita anggota yang menciptakan produk kesehatan itu.

Ia bercerita bahwa si pencipta produk kesehatan itu tidak berlatar belakang akademis di bidang kedokteran, melainkan fisika dan kimia nuklir. Karena mungkin ilmu-ilmu itu terlalu melampaui zaman di Indonesia, ia tidak mendapat pekerjaan sesuai ilmu kesarjanaannya, sehingga akhirnya ia beralih ke fotografi dan desain. Ia kembali menekuni bidang kesarjanaannya—fisika dan kimia nuklir—setelah masuk Subud. Latihan membimbingnya untuk memanfaatkan kesarjanaannya buat menciptakan produk kesehatan yang berguna bagi banyak orang.

Mendengar kisah itu, saya melihat kepada diri saya. Saya merasa berrelasi dengan kisahnya. Sebagai sarjana strata satu dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI), sejak meninggalkan bangku kuliah saya tidak pernah menekuni bidang keilmuan saya. Setidaknya bukan sebagai sejarawan akademik, melainkan kadang saya menulis literatur kesejarahan berdasarkan pesanan dari perusahaan-perusahaan untuk materi perayaan ulang tahun mereka dalam kapasitas saya sebagai copywriter di biro-biro iklan.

Saya tetap melakukan pekerjaan saya sebagai copywriter periklanan dan perencana strategis merek setelah saya dibuka di Subud. Latihan berperan vital dalam saya melakukan pekerjaan itu, yang membuat baik klien maupun konsumen terbelalak kagum dengan pendekatan kreatif saya. “Mengapa kita tak terpikir hal itu ya,” komentar sejumlah klien saya. Mereka tidak tahu bahwa saya pun tidak berpikir; ide-ide brilian itu datang justru ketika saya berserah diri di hall Latihan.

Kira-kira empat tahun lalu, mulailah beberapa saudara Subud di Indonesia mempercayakan artefak-artefak kesejarahan Subud dalam kepemilikan mereka kepada saya. Juga ada permintaan agar saya membantu menuliskan kisah-kisah orang tua atau kakek-nenek mereka yang menjadi pemicu pertama keberadaan Subud dalam keluarga mereka. Semua ini memaksa saya kembali menekuni latar belakang akademik saya, yaitu ilmu sejarah. Meski saya melawan kenyataan ini, dengan memburu proyek-proyek komersial berbasis komunikasi pemasaran atau korporat, tetap saja saya dihadapkan pada permintaan untuk menangani aspek-aspek terkait sejarah Subud. Akhirnya, ya, saya ikuti saja ke mana bimbingan ini membawa saya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 Desember 2024

Tuesday, December 17, 2024

Pembelajaran Berkelanjutan: Menyongsong Tahun 2025

SAYA telah berada di Bumi selama lebih dari lima dekade. Tinggal di kota seperti Jakarta, di mana ada bangunan-bangunan yang berusia ratusan tahun, memberi kita perspektif. Tapi tetap saja, saya terkesan karena saya sudah ada di sini sekian lama—saya merasa saya belum memulai sesuatu.

Saya bukanlah orang yang terlalu memikirkan usia, tetapi seperti yang selalu terjadi, usia memberi saya kesempatan untuk refleksi diri. Saya kira saya harus membagi segenggam pelajaran yang sudah saya peroleh—sebagai tuntunan untuk diri saya sendiri maupun untuk mereka yang baru saja mulai melangkah.

Pelajaran-pelajaran ini menerangi jalan di muka yang harus saya jelajahi, meski saya tahu saya masih suka tersandung seperti sebelum-sebelumnya.

1. Saya selalu menelan keengganan saya untuk meminta maaf. Terlalu angkuh untuk minta maaf tidak ada artinya—hubungan saya dengan orang lain rusak karena sesuatu yang tidak bermanfaat.

2. Pelan-pelan saja. Terburu-buru tidak ada gunanya. Hidup lebih asyik dinikmati dengan santai.

3. Target tidaklah sepenting yang kita kira. Saya mencoba bekerja tanpa target selama seminggu. Ternyata, saya bisa melakukan hal-hal hebat tanpa target. Dan saya tidak harus mengelola target, memotong sebagian birokrasi dari hidup saya. Stres saya berkurang tanpa target-target, dan saya lebih bebas untuk memilih jalan yang tanpanya saya tidak bisa menikmati hidup saya.

4. Momen saat inilah yang penting. Semua kekhawatiran tentang dan rencana-rencana masa depan saya, semua hal di masa lalu yang saya putar ulang—semua itu hanya ada di kepala saya, dan mereka mengalihkan perhatian saya dari menjalani hidup sebaik-baiknya di saat ini. Saya relakan semua itu, dan hanya berfokus pada apa yang sedang saya lakukan, saat ini. Dengan begitu, bagi saya setiap kegiatan merupakan Latihan Kejiwaan.

5. Saya tidak keren, dan saya baik-baik saja dengan itu. Saya buang-buang banyak energi dengan berusaha menjadi keren. Adalah lebih menyenangkan untuk melupakan hal itu, dan hanya menjadi diri sendiri saja.

6. Ketika saya menyadari bahwa saya sedang berenang dengan ikan-ikan yang lain di arus yang sama, saya akan berenang melawan arus. Mereka toh juga tidak tahu mau pergi ke arah mana.

7. Saya sadar, saya tidak bisa membaca semua buku bagus, menonton semua film bagus, pergi ke semua kota terbaik, mencicipi semua restoran terbaik, bertemu dengan semua orang hebat. Tapi rahasianya adalah: Hidup menjadi lebih baik ketika saya tidak berusaha melakukan segala hal. Saya belajar untuk menikmati sepotong kehidupan yang saya alami, dan hidup rupanya menjadi luar biasa.

8. Kesalahan adalah cara terbaik untuk belajar. Saya tidak takut untuk melakukan kesalahan. Saya hanya mencoba agar tidak terlalu sering mengulang kesalahan yang sama.

9. Masih banyak yang harus saya pelajari. Jika saya telah mempelajari sesuatu, itu karena saya hampir tidak tahu apa-apa, dan bahwa saya sering keliru tentang apa yang saya kira saya tahu. Hidup memiliki banyak pelajaran yang mesti disampaikan ke saya, dan saya berharap mendapat semua pelajaran itu.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Desember 2024

Monday, December 16, 2024

Pak Lukas

 


KISAH berikut kembali ke ingatan saya saat menemukan foto di atas di akun Facebooknya Fakta Sejarah Indonesia, disertai tulisan bertajuk “Loekas Koestaryo ‘Begundal van Karawang’: Perwira Siliwangi Asal Magetan yang Sangat Diburu Belanda”.

Alkisah, saya pernah mewawancarai Brigadir Jenderal Purn. Lukas Kustaryo di rumah beliau di Gadog, Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tahun 1991. Beliau adalah mantan komandan pasukan Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pasca Perjanjian Renville, 17 Januari 1948. Isi perjanjian itu: Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia dan menyetujui sebuah garis demarkasi (Van Mook) yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Karena perjanjian itulah, semua pasukan TNI yang masih berada di wilayah-wilayah kekuasaan Belanda harus hijrah ke wilayah Republik Indonesia.

Saya waktu itu bersama senior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (sejak tahun 2002 berganti namanya menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) untuk pengumpulan data buat seminar sejarah “Strategi Militer Dalam Perang Kemerdekaan RI” di kampus FSUI Depok pada tahun itu, penulisan buku (oleh senior saya) dan buat skripsi saya yang bertema perang gerilya selama Agresi Militer Belanda II, 1948-1949.

Senior saya (paling kanan) saat mewawancarai Pak Lukas (tengah, berbaju putih). Ini bukan pada saat saya mewawancarai beliau. (Foto koleksi pribadi Ali Anwar, S.S.)


Ada kisah menarik yang Pak Lukas ceritakan tetapi beliau waktu itu minta jangan direkam, off the record, namun diam-diam direkam oleh senior saya dengan tape recorder kecil yang ia sembunyikan di tas pinggangnya. Ketahuan juga oleh Pak Lukas lantaran pita kasetnya habis sehingga tombol Play-nya berbunyi “ceklik” yang cukup keras.

Kisah itu menyangkut Letnan Kolonel Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI kedua. Untuk membungkam Pak Lukas, Soeharto pada tahun 1974 mengundang beliau ke Istana Negara untuk ditawari jabatan Menteri Perindustrian. Namun Pak Lukas menolak tawaran itu.

Kisah itu saya kutip di skripsi saya yang diujikan pada 7 Juli 1993, dan saya ditegur keras oleh satu dosen penguji karena beliau tenaga ahli di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), sebuah instansi negara yang tentu saja harus pro pada pemerintahan Orde Baru yang sedang berkuasa kala itu. Saya harus menghapus kisah itu dari skripsi saya kalau saya ingin lulus.

Saya tetap diluluskan dalam sidang skripsi saya dengan nilai B. Lantaran dendam karena diberi nilai B, dalam perbaikan skripsi (sebagai syarat untuk mendapat ijazah Sarjana Sastra), kisah itu tidak saya hapus; saya hanya pindahkan dari alinea pembahasan ke catatan kaki.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Desember 2024

Sejalan (Atau Tidak)

 


PADA 15 Desember 2024 lalu di Rumah Wing Bodies, kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C, digelar lokakarya psikologi bertema “Mindfulness”, yang dibawakan oleh seorang psikolog yang juga anggota Subud. Penyelenggaranya adalah Komunitas Bunga Bangsa di bawah naungan Subud International Cultural Association (SICA) Indonesia.

Sejak menerima kiriman poster lokakarya tersebut melalui WhatsApp, saya sudah merasa tidak berkenan untuk menghadirinya, karena mindfulness merupakan salah satu cabang meditasi yang tentu saja bertentangan dengan Latihan Kejiwaan Subud. Melakukannya sama saja dengan yang oleh Bapak disebut mixing. Pembantu pelatih, utamanya, dilarang keras mempraktikkan meditasi, yoga, okultisme dan sejenisnya.

Tetapi ternyata ada dua pembantu pelatih, pria dan wanita, dari Cabang Jakarta Selatan, yang tidak saja menghadiri lokakarya tersebut namun turut pula melakukan “praktik terlarang” itu. Itulah pemicu kegegeran di lingkungan Subud Indonesia. Keterlibatan para pembantu pelatih itu diketahui dari viralnya video acara tersebut yang dibuat oleh ketua Komunitas Bunga Bangsa, yang dengan kepolosannya (karena anggota baru; baru beberapa bulan di Subud) merekam kegiatan lokakarya dengan kamera video di ponselnya serta mempostingnya di grup WhatsApp komunitas.

Apakah mindfulness atau kewawasan itu, dan di mana letak perbedaannya dengan Latihan Kejiwaan, serta mengapa sebaiknya tidak mencampurkan meditasi—dan praktik-praktik lainnya—dengan Latihan?

Menurut Wikipedia, kewawasan atau perhatian penuh (bahasa Inggris: mindfulness) adalah suatu praktik atau terapi yang dilakukan untuk mengobati pikiran dan tubuh berdasarkan teknik meditasi Buddha yang kemudian dipopulerkan oleh Jon Kabat Zinn, seorang peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts, Amerika Serikat. Kewawasan ini telah terbukti secara ilmiah dapat mengobati depresi, kecemasan, penyakit dalam, penyalahgunaan obat, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan saat sedang melakukan meditasi kewawasan, pasien akan lebih menyadari siklus tubuhnya dan fokus pada pikirannya.

Kewawasan menggunakan teknik meditasi, yaitu kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.

Dari penjelasan mengenai meditasi saja sudah terasa tajamnya perbedaan antara praktik kewawasan dengan Latihan Kejiwaan, terutama pada aspek fokus atau konsentrasi dan pengaturan posisi tubuh.

Latihan Kejiwaan tidak melibatkan fokus atau konsentrasi—seorang pelatih kejiwaan harus benar-benar bebas. Latihan Kejiwaan juga tidak dapat dipikirkan, dipelajari atau dilatih; sifatnya unik untuk setiap orang dan kemampuan untuk “menerima” Latihan Kejiwaan diteruskan dengan berada di hadapan orang lain yang sudah mempraktikkannya, pada suatu keadaan yang disebut “pembukaan”. Pelatih disarankan untuk pasrah pada “apa yang muncul dari dalam”, tidak mengharapkan apapun terlebih dahulu. Anda disarankan untuk tidak fokus pada gambar apa pun atau melafalkan mantra apa pun, atau mencampurkan Latihan Kejiwaan dengan aktivitas lain seperti meditasi atau penggunaan obat-obatan, namun hanya berniat untuk berserah diri kepada Tuhan atau kehendak Tuhan. (Istilah “Tuhan” digunakan di sini dengan maksud yang luas dan inklusif. Anda bebas untuk mengganti penafsiran yang Anda rasa lebih selaras.)

Salah satu caranya adalah dengan tidak memperhatikan orang lain di dalam ruangan, yang masing-masing sedang melakukan Latihannya sendiri-sendiri. Tidak ada keseragaman seperti halnya dalam meditasi, dan tidak dibutuhkan sarana dan prasarana khusus, seperti misalnya lokasi yang sunyi, jauh dari keramaian, bunyi-bunyian atau musik yang membantu relaksasi, dan perlengkapan khusus seperti matras atau bantal atau pakaian yang longgar.

Selama Latihan, Anda mungkin akan menemukan bahwa, dalam hal ekspresi fisik dan emosional, Anda tanpa sadar bergerak, mengeluarkan suara, berjalan-jalan, menari, melompat, meloncat, tertawa, menangis atau apa pun. Pengalamannya sangat bervariasi untuk setiap orang, namun Anda selalu dalam keadaan sadar sepenuhnya dan bebas untuk menghentikan Latihan kapan saja. Duduk diam seperti dalam meditasi, menurut Bapak, akan menghambat kebangkitan jiwa dan oleh karena itu melambatkan pertumbuhan Anda secara kejiwaan.

Secara lahiriah, Latihan Kejiwaan sering kali bermanifestasi sebagai gerakan fisik dan aktivitas vokal yang sangat bervariasi baik dari waktu ke waktu maupun antar individu. Ini berlangsung secara spontan, tidak melibatkan guru maupun metode, tidak terstruktur kecuali aturan-aturan dasar yang berkaitan dengan Latihan bersama (group Latihan).

Latihan Kejiwaan biasanya memerlukan sikap sabar, tawakal dan ikhlas, biasanya dengan persiapan penenangan pikiran dan rasa diri, dan melibatkan seluruh eksistensi Anda, bukan hanya tubuh, emosi, pikiran, atau aspek apa pun lainnya.

Tidak sedikit anggota Subud atau pelatih kejiwaan Subud yang mengira bahwa mixing (mencampurkan Latihan yang bersifat bebas dengan praktik-praktik yang mensyaratkan keteraturan dan konsentrasi pikiran) hanya berlaku pada saat Latihan Kejiwaan di ruangan, sendiri atau bersama-sama. Latihan Subud hakikatnya berlangsung terus-menerus, baik Anda menyadarinya atau tidak, sejak Anda dibuka. Sehingga jika Anda mencampurkannya dengan praktik lain yang tidak sejalan dengan Latihan Kejiwaan, yang sudah mengisi diri Anda, yang ditakutkan adalah bahaya kekacauan mental maupun fisik Anda. Seperti tarik menarik antara diri yang ingin bebas lepas dan diri yang terbelenggu ketat pada suatu keteraturan yang dianut dalam meditasi. Sekalinya Anda dibuka, tidak ada keterpisahan diri Anda dengan Latihan Kejiwaan. Makanya di Subud tidak ada istilah “penutupan” bagi mereka yang sudah dibuka tetapi ingin meninggalkan Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Desember 2024

Sunday, December 15, 2024

Belajar Pada Bekas Musuh


BAYANGKAN situasi ini: Permusuhan Anda dengan seorang teman telah berakhir, tidak dengan baik-baik saja, melainkan dengan perjanjian agar ke depannya Anda dan teman Anda tidak lagi saling menyerang, meskipun masih menyimpan dendam. Nah, setahun kemudian Anda merasa harus mempelajari sesuatu untuk menunjang keahlian Anda terkait pekerjaan Anda dan satu-satunya yang bisa mengajari Anda adalah teman yang dengannya Anda pernah bermusuhan.

Itulah kenyataan yang dihadapi oleh para pejuang Perang Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949 ketika mereka terpilih untuk mengikuti pendidikan perwira Angkatan Laut di Negeri Belanda. Hanya kurang dari setahun setelah Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pasca digempur enam jam oleh gerilyawan Republik di ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta.

Para mantan pejuang itu terdapat di antara 23 pemuda Indonesia yang dinyatakan lulus seleksi untuk menjadi adelborst (sebutan untuk kadet Akademi Angkatan Laut Belanda). Lolos dari serangkaian tes di Jakarta dan Surabaya, ke-23 pemuda itu diangkut ke Den Helder, Negeri Belanda, yang merupakan kawah candradimuka Koninklijk Instituut voor de Marine (Institut Angkatan Laut Kerajaan) yang disingkat KIM. Sebagai Angkatan 1950, mereka pun tak luput dari cercaan sebagian publik Indonesia, baik sipil maupun ALRI sendiri, yang memandang mereka sebagai produk penjajah.

Di Belanda sendiri, bahkan di KIM, mereka menghadapi situasi tak mengenakkan, walaupun hanya berlangsung sebentar. Karena KIM Den Helder menerapkan secara ketat dan tegas nilai-nilai kebersamaan (comradeship) sebagai anggota militer, tanpa pandang bulu. Di medan perang, bertindak sebagai tim adalah suatu keharusan. Untuk itulah para kadet harus menanamkan pada diri masing-masing kemauan untuk menyingkirkan segala bentuk permusuhan atau dendam. Meskipun baru lewat kurang dari setahun, permusuhan Indonesia-Belanda adalah cerita masa lalu!

Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2009 ini bercerita tentang para adelborst Indonesia generasi pertama dan kedua, tentang suka-duka belajar dan berlatih menjadi perwira angkatan laut di negara yang pernah menjajah Indonesia dan terhadapnya sebagian dari para adelborst Angkatan 1949 dan 1950 pernah menghunuskan senjata. Mereka adalah generasi yang membangun fondasi Angkatan Laut Republik Indonesia, yang kini dikenal sebagai TNI Angkatan Laut.

Mereka bertahan melalui masa-masa sulit beradaptasi dengan kehidupan di negeri Eropa yang masyarakatnya memandang orang Asia sebagai bangsa yang terjajah. Mereka bertahan berkat semangat yang ditanamkan pada diri mereka, yang ekspresinya menjadi judul utama buku ini: Dan Toch Maar (Apa Boleh Buat. Maju Terus!)

Karakter sebagai perwira terbentuk selama proses pendidikan di KIM Den Helder. Karakter dijunjung tinggi di KIM. Meskipun Anda berilmu tinggi, tetapi tanpa karakter yang kuat eksistensi Anda tidak ada nilainya. Hal itu terwakilkan dalam peribahasa bahasa Belanda yang berlaku di akademi angkatan laut yang didirikan pada 28 Agustus 1829 itu: “Kennis Is Macht, Karakter Is Meer” (pengetahuan adalah kekuatan, terlebih lagi karakter). Awal tiap kata pada peribahasa itu jika digabungkan akan membentuk singkatan KIM, sesuai nama institusi yang memiliki peribahasa itu sebagai prinsip hidupnya.

Bacaan yang tergolong santai dengan kumpulan kisah yang diceritakan oleh mereka yang mengalaminya sendiri. Santai dan seru, yang membuat Anda sulit berhenti membacanya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Desember 2024

Friday, December 13, 2024

Melacak Aneka Subud


BARU-baru ini, saya terlibat dalam misi pelacakan edisi-edisi pertama majalah Aneka Subud untuk dikirimkan ke koleksi WSA Archives. Majalah yang diterbitkan oleh Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia ini terakhir terbit pada tahun 2014. Saya tidak begitu mengerti mengapa penerbitannya dihentikan, sementara banyak sekali anggota yang menantikannya karena majalah ini dibuat untuk menyebarkan ceramah-ceramah Bapak.

Terkait pelacakan edisi-edisi pertama majalah Aneka Subud itu, saya menjangkau sejumlah cabang, anggota maupun pembantu pelatih individu, untuk menanyakan apakah mereka memiliki edisi-edisi yang dimaksud. Penjelasan berikut saya peroleh dari seorang pembantu pelatih senior dari Subud Cabang Rungan Sari, Kalimantan Tengah, yang menjawab pertanyaan saya mengenai sejarah Aneka Subud, melalui pesan WhatsApp yang saya kirim pada 12 Desember 2024.

“Keempat orang anggota Dewan Redaksi Aneka Subud pertama semuanya adalah anggota Subud Malang, Jawa Timur. Hanya anggota kelima, Dr. Anwar Zakir, yang anggota Subud Bogor, Jawa Barat.

Ruspana dan Prio Hartono saat itu mengajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang. Kusumo Sutanto karena seorang perwira tinggi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) berbasis di Surabaya, yang saat itu merupakan pangkalan Armada Republik Indonesia. Komodor Sutanto pernah menjadi komandan RI Irian-201, kapal penjelajah bekas Angkatan Laut Soviet yang ia bawa dari galangan kapal di Uni Soviet ke Indonesia dan ikut Operasi Mandala di bawah Jenderal Soeharto (Trikora tahun 1963, yaitu perebutan Irian Barat dari tangan Belanda).

Mereka itu sejak masih di Malang diperintahkan oleh Bapak untuk menerbitkan Aneka Subud, untuk menyebarkan ceramah-ceramah Bapak.

Setelah naik pangkat menjadi Laksamana Muda, Sutanto dimutasi ke Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jakarta, dan ditunjuk oleh Bapak menjadi Ketua Umum Pengurus Nasional Subud Indonesia untuk masa jabatan 1969-1970, untuk kemudian mempersiapkan Kongres Dunia 1971 di Cilandak.

Bapak masuk Jakarta tahun 1960an dan langsung mengembangkan Subud di Jalan Jawa, Menteng, Jakarta Pusat. Prio Hartono dan Ruspana sudah lebih dahulu pindah ke Jakarta, sehingga kantor redaksi dan penerbitan Aneka Subud dipindah dari Surabaya dan Malang ke Cilandak.                                

Mengapa diambil alih Pengurus Pusat? Oleh karena ketua Pengurus Pusatnya, Kusumo Sutanto, berada di Jakarta. Ruspana dan Prio Hartono kemudian juga bergabung di Sekretariat Kejiwaan (Sekretariat Bapak) bersama Sudarto, Rusli Alif, dan Sunarto Brodjolukito.

Saat itu, di Jakarta belum ada kepengurusan yang solid. Sejak Bapak masih tinggal menumpang di Paku Alaman, Yogyakarta, beliau suka wara-wiri ke Malang naik mobil beliau saat itu, yaitu sebuah VW Transporter, yang di Indonesia dikenal sebagai VW Combi.

Saat itu, Malang dijadikan basis Subud karena banyak donatur kaya-raya yang membiayai perkembangan Subud. Selain Hadiono (redaksi Aneka Subud No. 4), ada Hanz, seorang Tionghoa-Belanda yang memiliki pabrik gula.

VW Combi milik Bapak itu, kabarnya, juga merupakan sumbangan dari Hanz. Rumah besar Hanz yang berada di kawasan pabrik gula Malang itupun dahulu dihibahkan kepada Subud untuk hall Latihan.

Dalam periode 1965-1966, Bapak tidak melakukan lawatan ke luar negeri. Saat itu Indonesia sedang mengalami keadaan genting akibat kudeta yang dilancarkan oleh Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang digawangi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Presiden Soekarno, dengan mengambinghitamkan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Saat itu, sedang pula dilakukan pembangunan kompleks perumahan di Wisma Subud Cilandak. Saat itu pula, semua perkumpulan spiritual sedang dicurigai dan diawasi oleh militer sebagai tempat persembunyian kader PKI.

Pada masa krisis itu ada sebuah perkumpulan spiritual bernama Paguyuban Mbah Suro di perbatasan Jawa Tengah dan Timur yang dihancurkan oleh pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD; kelak dinamai Komando Pasukan Khusus atau Kopassus) di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, karena dicurigai sebagai tempat penampungan para kader PKI yang melarikan diri pasca gagalnya kudeta G30S.

Jadi, para agen intelijen militer saat itu memata-matai semua kompleks perkumpulan spiritual dan lain-lain, termasuk Subud. Karena itu, para anggota Subud (orang tua kita) saat itu mendapat giliran jaga malam yang dipimpin oleh Bintoro Sukarno Padmodiredjo (ayah dari Iwan Muriawan, anggota Jakarta Selatan), seorang perwira Angkatan Darat dari markas polisi militer di Guntur, Jakarta Selatan.

Pada saat itu, banyak anggota Subud Jakarta yang merupakan perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dari Angkatan Darat (ADRI), ALRI dan Angkatan Udara (AURI) serta Kepolisian. Tapi yang paling aktif ikut menjaga Wisma Subud justru yang dari AURI, padahal saat itu ADRI dan AURI sedang bersitegang sebagai akibat adu domba oleh PKI. Tapi dalam menjaga Wisma Subud mereka kompak. Dan mereka bersenjata. Bapak pun membawa pistol. Ketua Subud Indonesia saat itu adalah Hardiman, seorang kolonel Angkatan Darat. 

Bapak kembali melakukan perjalanan ke luar negeri setelah situasi aman, setelah Soeharto menjadi Presiden. Pada tahun 1967 Bapak pergi ke Jepang untuk menghadiri Kongres Dunia ke-3. Kongres Dunia di Jepang itu yang kemudian menunjuk Cilandak yang harus menyelenggarakan Kongres Dunia ke-4, empat tahun berikutnya, yaitu 1971.” ©2024

 

Tempat Latihan Jatiwaringin, Pondokgede, Kota Bekasi, 14 Desember 2024


Thursday, December 12, 2024

Menguji Keadaan yang Membingungkan

TADI ada pengalaman ajaib bin lucu. Saya WhatsAppan dengan Johan, seorang anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, mengenai tanggal 14 Desember 2024 yang membuat saya bingung karena saya menghadapi dua acara yang waktunya bersamaan. Satu Gathering Back to Bapak di Jatiwaringin, satunya lagi acara keluarga besar ayah saya di Griya Pamulang Estate. Saya bilang ke Johan bahwa saya mau melakukan testing (pengujian secara kejiwaan) dulu.

Saya pun melakukan testing, dengan duduk saja di belakang meja kerja saya. Hasilnya, perasaan saya tenang, tidak bingung lagi. Dalam hitungan detik setelah testing, di WhatsApp Group keluarga besar ayah saya muncul pengumuman bahwa acara keluarga 14 Desember di Griya Pamulang Estate diundur ke tanggal 31 Desember, sekalian malam tahun baruan.

Saya tulis pesan WhatsApp ke Johan, bahwa saya rasanya mau menangis... Gileee bener testing kejiwaan Subud!©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Desember 2024

Wednesday, December 4, 2024

Menghadapi Diri Sendiri

HARI Minggu, 1 Desember 2024, saat ke Wisma Subud Bogor, saya berjumpa dengan Stuart Cooke, orang Subud Amerika yang sudah lama bermukim di Indonesia, bahkan beristrikan wanita Indonesia. Ketika ia baru tiba di Wisma Subud Bogor dan saat bersalaman dengan saya, saya membisiki di telinganya bahwa saya sudah tidak tahan dengan kegilaan di Subud, dan berencana akan mundur dari semua kegiatan Subud, kecuali Latihan Kejiwaan.

Stuart berkata bahwa saya tidak akan bisa meninggalkan kegiatan di Subud, apalagi ia tahu bahwa perkataan saya itu didasari oleh nafsu, karena marah terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Semua yang saya lihat, baik langsung maupun tidak langsung (dari cerita anggota-anggota lainnya) membuat saya “sakit”—saya jadi mudah merasakan kekecewaan, kemarahan, kesedihan; semua itu melemahkan saya. Saya memang terlalu terlibat di Subud—hal itu boleh saja selama kita kuat menghadapi terjangan daya-daya yang bermain di dalamnya.

Banyak pengurus maupun pembantu pelatih yang telah keluar dari prinsip-prinsip yang telah digariskan Bapak, yang pada gilirannya merugikan anggota. Anggota seolah menjadi mainan dari ketidakbecusan pengurus dan pembantu pelatih dalam mengelola perkumpulan. Hal ini yang menjadi fokus saya belakangan ini; saya memasukkan emosi saya ke dalamnya dan ini berbahaya sebenarnya.

Dulu, ketika baru dibuka, saya memang pernah dinasihati oleh Pembantu Pelatih Daerah Cabang Surabaya saat itu, Pak RB Soejanto Luwihardjo, agar tidak mengkritik atau menanggapi dengan buruk apapun perilaku yang diperlihatkan anggota lain maupun pembantu pelatih, karena hal itu “mengotori diri” kita. Benar nasihat dari salah satu pembantu pelatih yang menyaksikan pembukaan saya itu. Saya merasakan “sakit” yang tidak jelas pada diri saya.

Dalam perenungan-perenungan saya belakangan ini, saya terbawa ke ingatan pada ceramah Ibu Rahayu saat likuran Ramadan tahun 2017, kalau saya tidak salah, bahwa diri kita ibarat botol yang bagian dalamnya sudah menampung begitu banyak kekotoran hingga berkerak-kerak. Pembersihannya membutuhkan waktu yang lama dan menyakitkan, karena untuk melepas kerak-kerak itu cara menyikat yang kencang dan keras serta membutuhkan sikat kawat yang menyakitkan jika digosokkan ke badan kita.

Mungkin itu yang sedang saya alami belakangan ini. Diri saya dibersihkan dengan sikat kawat dan dengan kencang nan keras, sehingga terasa diri saya kesakitan secara rasa perasaan. Namun, saya hanya bisa berserah diri saja, melalui prosesnya dengan sabar, tawakal dan ikhlas, walaupun kadang saya tidak tahan.

Saya tidak boleh merasa frustrasi dengan semua ini. Saya malah menyadari ini sebagai “latihan kebugaran” yang sangat baik untuk jiwa saya. Terkadang saya hanya ingin lari dari semua ini, tetapi bimbingan itu mencegah saya. Tetapi yang jelas, saya jadi tahu bahwa kekotoran di pribadi saya sudah berkerak-kerak, yang harus dibersihkan agar saya memiliki wadah yang luas dan bersih untuk menerima kemurahan Tuhan yang tiada batasnya.

Kemarin malam, saat menunggu jamnya Latihan bersama di Wisma Barata Pamulang, saya menerima bahwa seberat-beratnya menghadapi perilaku orang lain, lebih berat menghadapi diri sendiri. Jiwa saya membimbing saya kepada pengertian agar saya terpusat saja pada diri saya sendiri, tidak usah terlalu memperhatikan orang-orang atau kejadian-kejadian di perputaran hidup saya. Sehingga saya memiliki energi lebih banyak untuk menghadapi diri sendiri saat melalui proses pembersihan ini.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Desember 2024

Semua Terdengar Sama

 


SAAT ini di Indonesia sedang trending kata “goblok”, sebentuk kata kasar dalam berbahasa Indonesia, sehingga kerap dianggap sebagai penghinaan. Yang membuat kata ini trending belakangan ini adalah lantaran terucap dari mulut seorang kyai yang cukup kondang, yang ia lontarkan kepada seorang pedagang minuman teh yang berjualan di lokasi pengajian sang kyai. Si kyai dituding telah menghina “orang kecil”.

Saya tidak segera berreaksi negatif terhadap si kyai, melainkan menyelidiki akar budayanya. Kalau berasal dari Jawa Timur, di mana saya pernah tinggal selama lima tahun dan masih terus ke sana setiap tahun karena orang tua dan saudara-saudara kandung istri saya tinggal di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur, saya agak memakluminya. Dalam budaya Jawa Timur, kata-kata yang dianggap penghinaan atau ejekan kasar di budaya lain bisa mendapatkan reaksi atau respons yang berbeda, tergantung pemakaiannya berdasarkan situasi. Apabila diutarakan dengan ekspresi marah atau serius, kata-kata itu bisa mengundang reaksi atau respons negatif pula dari lawan bicara. Sebaliknya, bila disampaikan dengan niat untuk menciptakan keakraban, respons audiens akan baik-baik saja.

Bos di tempat kerja saya sebelumnya di Surabaya terkadang berkata ke saya dalam rapat, “Ah, kamu goblok!”, tetapi saya berreaksi dengan tertawa karena saya sangat tahu bahwa ia tidak sedang menghina saya, melainkan menunjukkan rasa sayangnya ke saya.

Meskipun kelahiran Lampung di Sumatera, si kyai adalah keturunan dari seorang ulama besar di Jawa Timur, pendiri salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia, yaitu Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1680 Masehi. Pantas saja, si kyai itu spontan berucap “goblok” untuk menunjukkan niatnya mengakrabkan diri dengan audiens. Kesalahan dia adalah tidak menyadari peribahasa “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. “Goblok” dari si kyai bernuansa keakraban ala Jawa Timur, tetapi menimbulkan salah sangka karena audiensnya bukan masyarakat Jawa Timur.

Trending topic saat ini mengingatkan saya pada sebuah kejadian remeh beberapa bulan lalu, yang mampu membangkitkan kesadaran diri.

Menceritakan pengalaman saya saat mempelajari memetika setelah berdiskusi mengenai meme dengan seorang saudara Subud tahun 2006 (menanggapi makalah yang beliau tulis, berjudul “Tuhan Bukan Meme”), kepada para anggota sebuah kelompok di Bandung, Jawa Barat, satu pembantu pelatih di sana mengajak para anggota lainnya ke dalam “permainan rasa diri”. Dia berkata, “Coba kalian rasakan diri kalian saat mendengar saya bilang ‘goblok’.”

Beberapa saat kemudian ia mendentingkan sendok ke sebuah gelas kaca, dan berkata, “Nah, sekalian bandingkan rasa kalian tadi dengan rasa saat mendengar denting ini. Bagaimana?”

“Sama saja!” jawab para anggota hampir serentak.

“Bagus! Memang tidak ada bedanya. Jadi, kalau sudah menerima Latihan tapi masih gampang tersinggung, pilih salah satu: Tinggalkan Subud atau rajinkan Latihanmu.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Desember 2024

Sunday, December 1, 2024

Harapan Mendahului Kekuasaan Tuhan

 


TANGGAL 1 Desember 2024, saya menemukan postingan ini di Story Instagramnya Youth Jakarta Selatan. Saya segera merasa heran: Sudah menerima Latihan Kejiwaan kok ya masih berkutat pada sesuatu yang tidak mencerminkan susila, budhi dan dharma.

Kalau saja mau bersusah payah sedikit, dengan melongok ke ceramah Bapak, akan ditemukan bahwa harapan itu hanyalah khayalan belaka. Seperti ditekankan dalam Buddhisme, untuk menjaga kesadaran kita kita harus hidup di saat ini, melupakan masa lalu dan tidak mengkhayalkan masa depan. Kesadaran adalah kunci utama dalam proses kejiwaan. Makanya, saat Latihan kita harus selalu sadar agar dapat menginsafi bimbingan Tuhan yang kita terima.

Beberapa minggu lalu, dalam perjalanan ke Kelompok Latihan Jatiwaringin, dalam mobil milik seorang pembantu pelatih Cabang Jakarta Selatan yang membawa kami ke sana, saya berdebat dengan Pak Harris Roberts perihal “harapan”. Menurut Pak Harris, harapan itu sejatinya tidak ada, karena kita hidup di saat ini dengan yang nyata-nyata saja. Harapan adalah khayalan, kata beliau. Saya sependapat dengan beliau tapi bersikukuh dengan pendapat bahwa orang-orang non Subud membutuhkan harapan utk sintas (survive) atau bertahan hidup meski kenyataannya mereka tidak bisa bertahan kalau hanya duduk berpangku tangan dan hanya berharap. Pak Harris mengiyakan pendapat saya tapi tetap pada pendirian bahwa orang Subud tidak pakai harapan-harapan. Bukankah ketika kandidat akan dibuka akan mendapatkan saran agar tidak berangan-angan dan mengharap-harap?

Dalam ceramah di Singapura pada 24 Februari 1963 (63 SIN 1), Bapak antara lain mengatakan:

Jika kita dalam Latihan atau sebelum Latihan banyak yang kita fikirkan, kita akan tidak dapat banyak menerima. Malahan dapat juga berhenti Latihan ini. Yang demikian itu berarti bahwa para saudara sekalian setiap akan melakukan Latihan, pun juga dalam menerima Latihan Kejiwaan, sedapat mungkin lebih menyerah dengan sabar dan ikhlas. Jangan banyak yang diharapkan, karena harapan saudara kepada Tuhandalam hakekatnyamendahului daripada kekuasaan Tuhan. Apa sebab Bapak katakan demikian? Karena harapan saudara menggambarkan bahwa Tuhan tidak tahu bagaimana keadaan saudara yang sebenarnya. Jadi, adanya saudara tidak lekas dapat menerima atau Latihannya tidak ada kemajuannya, bukan karena Tuhan tidak suka memberi, tetapi karena kemampuan saudara sendiri sampai pada saat itu belum ada dan belum cukup.

Memang bagi kita manusia sukar sekali untuk menghilangkan keinginan itu. Tetapi karena kita telah mengalami setiap kali di dalam Latihan, yang membuktikan demikian itu, maka sedapat mungkin saudara sekalian Bapak harapkan, Bapak anjurkan, agar jangan banyak harapan dan keinginan yang diajukan kepada Tuhan, melainkan menyerah bagaimana kehendak Tuhan atas dirinya masing-masing.”

Mengenai harapan, benar kata YM Bapak: Harapan mendahului kekuasaan Tuhan! Seolah Tuhan tidak tahu bagaimana keadaan kita.

Kemarin pagi, saya terbangun dengan perasaan enggan, mager (malas gerak) dan lelah, tapi saya berkewajiban untuk memenuhi janji saya ke Daniela Moneta, arsiparis Subud Archives Washington DC, bahwa saya akan memeriksa koleksi majalah Aneka Subud di Wisma Subud Bogor pada 1 Desember 2024 (sesuai permintaan Ketua Subud Cabang Bogor, Pak Wahyu Budi Susetyo). Saya pun berdoa penuh pengharapan akan kekuatan dan semangat. Tapi jiwa saya malah menegur saya, “Kalau kamu nggak jalanin, kamu nggak akan tau kamu kuat atau nggak. Kamu juga nggak akan mengalami mukjizatNya kalau cuma berdoa tapi kamu nggak gerak."                                

Saya pun segera bangkit dari atas kasur, keluar kamar saya dan pergi ke dapur untuk memasak nasi goreng buat sarapan (itu lebih baik daripada harapan) untuk semua penghuni rumah saya dan kemudian meluncur ke Bogor dengan sepeda motor. Wah iya, rasa enggan, malas dan capeknya hilang. Saya bahkan bernyanyi sepanjang jalan diselingi teriakan-teriakan yang menyatakan kegembiraan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Desember 2024