SAYA kesengsem pada film seri Touched by an Angel yang diputar oleh salah
satu televisi kabel. Saya sering membayangkan, bahkan ketika
masih kecil, kehadiran malaikat penjaga (guardian
angel) yang menemani saya sepanjang perjalanan hidup saya. Saya membayangkan
malaikat itu bagaikan seorang sahabat yang berada di dekat saya dalam suka
maupun duka.
Dahulu, saya pikir malaikat penjaga hanyalah
khayalan belaka, fantasi kanak-kanak yang diangkat ke layar kaca untuk menghibur
pemirsa yang mungkin sedang menderita kesusahan. Tetapi pemikiran itu keliru,
sejak saya menerima Latihan Kejiwaan. Meskipun tak tampak, gaib, kehadiran “malaikat
penjaga” ini terasa nyata, dalam cara bagaimana ia senantiasa memberi saya
jalan keluar.
Saya ingat pada satu pengalaman baru-baru
ini.
Tanggal 22 Juni 2020 lalu, dalam perjalanan
kembali ke Wisma Subud Cilandak, Jakarta, dari Wisma Subud Bogor, bersama empat
saudara Subud dalam satu mobil, saya mendapat pesan WhatsApp dari klien saya,
Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal), yang menantikan artikel saya untuk
dimuat di majalah The Horizon edisi
ke-2 tahun 2020. Jauh hari sebelum hari itu, saya memang sudah diminta, namun
karena saya anggap becanda, maka saya santai saja, tidak membuat artikel
tersebut. Saya pikir, apalah saya dibandingkan penulis-penulis lainnya yang
rata-rata perwira menengah hingga tinggi di lingkungan TNI Angkatan Laut.
Namun, hari itu, klien—person in charge majalah The
Horizon, seorang anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) berpangkat
Letnan-Kolonel Laut—terus mendesak, dengan tekanan bahwa tenggat waktunya
adalah keesokan harinya. Saya membatin, “Ya, Tuhan, apa yang harus saya tulis?
Saya belum begitu memahami dunia angkatan laut.”
Meskipun mendalami kajian militer, fokus saya
selama ini hanya pada angkatan darat, sejarah dan strategi perang darat, belum
pernah pada angkatan laut.
Tiba-tiba, saya mendengar suara batin saya
berkata, “Tidak usah dipikirkan. Relakan saja.”
Saya (membatin): “Tapi aku capek sekali. Aku pengen istirahat hari ini.”
Suara batin: “Ya, istirahatlah secukupnya.
Sampai rumah nanti kamu tidur.”
Sampai rumah, saya menyantap makan siang, dan
beberapa lama kemudian saya tidur. Terbangun setelah magrib, saya mendesah,
terpikir kembali oleh saya bahwa saya harus membuat artikel untuk majalah The Horizon. Saya pun mendengar suara
batin—saya menganggapnya suara sang malaikat penjaga—berkata, “Tulislah tentang
sesuatu yang paling kamu pahami dan dikaitkan dengan angkatan laut.”
Saya membatin, “Sesuatu yang paling aku
pahami? Ya, kereta api dan kuliner. Ada relevansinya dengan angkatan laut?”
Suara batin: “Kamu ingat, apa yang menjadi
tema skripsimu?”
Saya (membatin): “Perang urat saraf. Studi
awal terhadap perang urat saraf dalam Perang Kemerdekaan RI.”
Suara batin: “Mengapa kamu menulis tentang
perang urat saraf?”
Saya (membatin): “Karena terinspirasi Bapak
(panggilan untuk ayah saya) yang pernah kursus perang urat saraf di Jerman
Barat.”
Saya terpaku. Mendadak, semua kenangan itu
mengisi benak saya. Ayah saya, pernah bercerita tentang pengalaman beliau
mengikuti kursus perang urat saraf di Jerman Barat, dikirim oleh kantor tempat
beliau bekerja, yaitu Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin; sekarang Badan
Intelijen Negara/BIN). Beliau menuturkan tentang cara kerja intelijen, yang
menaklukkan musuh dengan perang urat saraf. Dalam perang urat saraf (psychological warfare), tindakan yang
dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi
psikologis yang telah dirancang terhadap orang lain.
Rangkaian dialog-dalam-kenangan dengan ayah
saya itu mengerucut pada satu tema: Intelijen. Nah, suara batin saya, berteriak,
seolah menggoyang badan saya seperti guru terhadap muridnya yang bodoh: “Tidakkah
kamu paham, intelijen relevan dengan angkatan laut. Intelijen adalah mata dan
telinga dari angkatan laut maupun angkatan-angkatan lainnya.”
Saya ingin
berteriak “Eureka!” (bahasa Yunani
yang berarti “Saya telah menemukannya”, yang diteriakkan Archimedes ketika ia
menemukan hukum gaya tarik), tetapi hari sudah malam; saya khawatir akan
mengejutkan keluarga saya. Saya pun bergegas turun dari tempat tidur dan pergi
ke ruang kerja saya, menyalakan komputer, lalu duduk diam menatap layarnya yang
telah menyajikan halaman putih pertama dari Microsoft Word. Satu kalimat judul
telah tercantum: The Future of Naval
Intelligence (Masa Depan Intelijen Angkatan Laut)
Saya
(membatin): “Saya harus mulai dari mana?”
Suara batin: “Coba
diingat-ingat apa yang pernah Bapak katakan ke kamu.”
Saya memohon
kepada Tuhan agar Dia “mengembalikan” saya ke masa lampau, ke momen saya
mengobrol dengan ayah saya, lalu saya menenangkan diri dengan perasaan sabar,
tawakal, dan ikhlas. Laksana potongan-potongan jigsaw puzzle, satu per satu kenangan-kenangan bersama ayah saya menyatu
menjadi satu rangkaian pita seluloid film yang ditayangkan di layar pikiran
saya. Saya teringat pada satu episode di mana ayah saya mengatakan betapa
lemahnya intelijen militer yang mengabaikan pengkajian sejarah, budaya, dan
sosiologi suatu bangsa atau masyarakat, yang akibatnya memberi mereka pondasi
analitik yang melenceng.
Dengan ingatan
itu, saya pun mulai merancang bangun artikel saya tentang masa depan intelijen
yang dihadapkan pada tantangan dalam memperoleh data yang valid. Saya berangkat
dari kecenderungan para perwira intelijen yang malas dalam menggali data sehingga
berpotensi mengacaukan operasi militer. Saya menyarankan dalam artikel tersebut
agar proses pengumpulan data disandarkan pada cara sejarawan, dengan
mengklasifikasi data menurut asalnya: data primer (sumber data penelitian yang
diperoleh secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak
pendapat dari individu atau kelompok, maupun hasil observasi dari suatu obyek,
kejadian atau hasil pengujian terhadap benda), data sekunder (sumber data
penelitian yang diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung
yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip, baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum), dan sumber
tersier (kumpulan data primer dan sekunder, seperti ensiklopedia atau buku
teks). Saya tegaskan dalam artikel saya yang sepanjang empat setengah halaman
A4 itu bahwa sebisa mungkin perwira intelijen angkatan laut harus mendapatkan
data primer.
Saya juga
mengkritisi, bahwa sebagai akibat dari kemalasan mereka, para perwira intelijen dewasa
ini cepat percaya pada data sekunder yang mereka peroleh dari internet, bahwa
ketergantungan pada teknologi harus diimbangi dengan kemampuan “manual”,
sehingga ketika teknologi tidak berfungsi mereka tetap dapat menjalankan
tugasnya.
Pada malam itu
juga, sejak saya mulai mengerjakannya, saya mengirimkan artikel tersebut ke klien
saya.
Keesokan
malamnya, dalam bincang-bincang saya dengan senior saya dari Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang berdinas di TNI Angkatan Laut,
terungkap dari pihaknya bahwa intelijen TNI AL khususnya memang malas menggali
data, dan cenderung mudah mempercayai informasi yang diperoleh dari internet.
Menurutnya, artikel saya layak dibaca oleh Asisten Pengamanan dari Kepala Staf
Angkatan Laut (Aspam KASAL), karena menyajikan informasi valid dan aktual. Saya
sulit mempercayai bahwa dialog batin saya menghasilkan karya sedemikian rupa.
Puji Tuhan!
Saya berterima
kasih pada malaikat penjaga saya dan kepada Tuhan yang telah menugaskan
malaikat penjaga yang cerdas untuk mendampingi saya terus-menerus.©2020
GPR
3, Tangerang Selatan, 1 Juli 2020