SEMASA sekolah
menengah pertama (SMP), saya bersama Aprilsyah, anak asuh orang tua saya,
diikutkan pengajian mingguan di rumah warga satu kompleks tempat tinggal kami.
Saya sejak pertama kali mengenal yang namanya pengajian sebenarnya sudah emoh—saya
paling malas belajar agama yang kebanyakan teori, tanpa aplikasi. Tapi
pengajian semasa SMP itu menggugah saya, yang mengubah pandangan saya terhadap
agama, dan mengarahkan saya ke perjalanan ruhani dengan tanya-jawab batin yang
tak berkesudahan, namun asik.
Pengajian
itu diikuti sepuluh anak sebaya saya, diajar seorang ustad yang sudah sepuh dan
mumpuni ilmu agamanya. Namanya anak SMP, tentu sukanya bercanda dan bermain,
tidak sepenuhnya menaruh perhatian pada pelajaran. Namun, adakalanya, saya
memperhatikan dan tergugah. Yang paling saya ingat adalah pelajaran di mana
sang ustad menyampaikan: “Belajar agama tidak cukup hanya ilmu yakin, hanya yakin dengan apa yang diajarkan tanpa kenyataan.
Kamu juga harus ainul yakin, yaitu
dengan mengalaminya. Dan, yang paling penting adalah haqul yakin, keyakinan yang diperkokoh oleh kesaksian akan
kebenaran Allah.”
Di
pengajian semasa SMP saya, ustadnya membacakan satu surah Alquran, ayat demi
ayat, dan kami, para murid, mengikuti bacaan beliau dengan mengulanginya. Lalu,
ustad menjelaskan korelasi suatu ayat dengan keteladanan Nabi Muhammad dan para
sahabat dan/atau kisah-kisah sehari-hari sebagai contoh. Ada suatu kesegaran
baru di pikiran dan hati saya tiap kali menghadiri pengajian tersebut. Apakah hari
gini masih ada ustad yang seperti
ustad pengajian semasa SMP saya? Saya belum menemukan.
Sebelum
memulai pengajian, para peserta yang hadir menjelang asar lantas salat Asar
berjamaah, yang diimami sang ustad. Pada satu kesempatan salat Asar berjamaah,
saya dan Aprilsyah, karena badan kami lebih tinggi daripada rekan-rekan kami di
pengajian itu, berada di saf paling belakang. Hal itu membuat kami sering iseng
menggoda rekan-rekan kami di saf di depan kami dan bercanda di antara kami
sendiri.
Usai
salat, dengan nada halus tak mengandung amarah, ustad berkata kepada saya dan
Aprilsyah, “Jangan mencampuradukkan salat dengan main-main, ya. Kalau mau salat
ya salat saja, kalau mau main main saja. Pilih salah satu.”
Giliran
salat Magrib berjamaah, saya dan Aprilsyah bersantai saja di teras rumah tempat
pengajian diselenggarakan, sementara rekan-rekan kami mempersiapkan diri mereka
untuk salat. Selama salat Magrib berlangsung, saya dan Aprilsyah tetap bercanda
di teras. Ustad kemudian menegur kami, “Mau main-main saja?”
“Iya,
Pak Ustad. Enak main aja,” kata saya,
cuek. Ustad tersenyum, dan meninggalkan kami, tanpa memberi petuah panjang
lebar, apalagi memperingatkan tentang surga dan neraka.
Ketika
sudah di perguruan tinggi, saya berpapasan dengan sang ustad di jalan di dekat
rumah orang tua saya. Terjadilah obrolan yang hangat, diisi kenangan akan
pengajian semasa sekolah menengah pertama. Ustad mengatakan ke saya, “Saya
sudah tahu dulu itu, kalau kamu tipe pencari kebenaran, nggak mau brenti di ilmu yakin saja. Makanya, saya biarkan kamu dan
saudaramu bermain, waktu teman-temanmu salat Magrib.”
Ah,
saya jadi kangen pengajian semasa SMP, dengan ustad yang arif dan bijaksana
seperti KH Chaeruddin Bakri, Lc.©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020
No comments:
Post a Comment