MAKAN
merupakan kegiatan yang menyenangkan. Terlebih bila suasana hati kita sedang
senang. Bagi saya, yang membuat suasana hati jadi senang adalah pengalaman
dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, dalam situasi yang tidak menyenangkan
sekalipun. Seperti kemarin siang (Jumat, 24 Juli 2020).
Kemarin
siang, tiba-tiba rumah saya disantroni seorang freelancer yang, lantaran termakan nafsu daya rendahnya sendiri,
menuntut bayaran yang melampaui seharusnya. Dengan tampang beringas, dia siap
meledakkan amarahnya dan menghantam saya dan istri. Saya terkejut melihat
matanya merah seperti orang baru mengisap ganja dan wajahnya lebih gelap
daripada biasanya.
Si freelancer sudah saya bayar honornya beberapa
bulan lewat, dengan potongan yang tidak signifikan, karena secara sepihak dia telah
membatalkan tanggung jawabnya atas dua pekerjaan yang sedang berlangsung,
sementara saya dikejar tenggat waktu dari klien-klien. Akibat perbuatan tidak
profesionalnya, saya dirugikan secara moril dan materi: Saya mendapat keluhan
dari klien dan saya harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan
pengganti si freelancer—yang merupakan
pekerjaan tidak mudah, karena selain aspek teknis, chemistry juga penting.
Saya
dan istri hanya menenangkan diri saat si freelancer yang sedang “spaneng” menyemprot kami dengan
kata-kata tak pantas, yang menunjukkan ketidakdewasaannya (usia sekitar empat
puluhan awal, sudah menikah dan memiliki anak usia 2,5 tahun). Di balik dada saya
hanya menggema suara diri: “Tuhan, Tuhan, Tuhan” terus-terusan, dan “Ayo,
praktikkan sabar, tawakal, ikhlasnya”—yang dapat saya jangkau tanpa usaha sama
sekali. Dia nyerocos terus, dengan
suara keras, yang saya rasakan merupakan cara spontan dia untuk menutupi
kesalahannya, serta kualitas pribadinya yang rendah untuk mendapatkan apa yang
dia kehendaki: Uang lebih banyak!
Sebaliknya,
dia berbicara seolah saya dan istri yang salah sehingga dia menuntut uang dari
kami. Dia bilang bahwa uang tidak ia pentingkan, hanya jawaban pasti bahwa dia
akan dibayar atau tidak; kalau tidak pun, dia tidak apa-apa. “Tapi karena Mas
dan Mbak tidak menjawab telpon dan pesan-pesan WhatsApp saya, saya kan jadi spaneng. Akhirnya, ya saya minta uang!”
Saya
setuju untuk memberi yang dia mau, meski dia sudah merugikan saya secara moril dan
materi. Karena saya yakin, “Gusti Allah
ora sare” (Tuhan tidak tidur). Ajaibnya, sejak dia datang dengan tiba-tiba
ke rumah saya hingga dia pergi (tanpa minta maaf dan tidak pula bilang terima
kasih), saya hanya merasakan kedamaian luar biasa, lerem luar-dalam, setelah saya berkoneksi dengan Inti Terdalam.
Istri pun mengalami hal yang sama. Mengiringi kepergiannya, saya hanya berucap
pelan, “Hati-hati di jalan, ya.”
Dengan
ke-lerem-an kami, baik saya maupun
istri dapat dengan cepat melupakan kejadian itu. Terlebih setelah satu saudara
Subud yang melakoni usaha kuliner meminta saya menjadi tester atas rasa baru dari sajiannya. Kiriman makanan darinya (yang
berkesanrasa Jepang) via ojek daring melengkapi rasa syukur saya dan istri atas
apa yang telah kami lalui kemarin. Puji Tuhan!©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juli 2020
No comments:
Post a Comment